Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image IPM Jawa Barat

POLITIK IKATAN PELAJAR MUHAMMADIYAH DALAM CITA DAN REALITA

Eduaksi | Wednesday, 02 Mar 2022, 08:12 WIB

Ikatan Pelajar Muhammadiyah dalam proses menuju abad pertama, memiliki celah yang tidak sedikit untuk dilengkapi oleh nilai nilai kemapanan yang utuh seperti yang dimiliki organisasi induknya, yakni Persyarikatan Muhammadiyah. Hal tersebut menjadi lumrah, dikarena kan IPM dibentuk dan difungsi sebagai organisasi otonom di tingkat pelajar, sampai beberapa abad kedepan kedudukannya tidak akan berubah. Seperti hubungan Ayah dan Anak. bila diukur secara komposisi, basis masa IPM tergolong organisasi yang mewadahi sumber daya manusia yang masih belia. Yakni berkisar di jenjang menngah sampai dengan umur 24 tahun.

Hal yang tidak asing apabila ditemukan berbagai fenomena unik di tubuh IPM, di usia yang sangat belia, kader IPM dituntut mampu berorganisasi selayaknya organisasi di Indonesia pada umumnya. Tuntutan tersebut muncul, dikarenakan IPM hadir dengani struktur horizontal dari tingkat Ranting hingga Pimpinan Pusat.

Dengan demikian, proses pertukaran informasi serta pewarisan pemikiran di tubuh IPM membutuhkan penyesuaian yang sangat apik. Mengingat konsep struktur horizontal yang memiliki klasifikasi umur berdasarkan tingkat pimpinan, maka tidak menutup kemungkinan akan hadirnya kesenjangan pola pikir dan keutuhan nalar di setiap level pimpinan.

Dari sekian banyak dinamika kesenjangan pola pikir tersebut, hal yang paling tabu untuk menjadi buah bibir dalam percakapan sehari hari kader IPM adalh persoalan Siyasah. Dan proses siyasah tersebut bermuara kepada pemangku amanah yang dibuahi oleh proses Permusyawaratan. Khususnya di tingkat Cabang sampai dengan Pusat.

Sekilas memandang realitas, keterlibatan setiap kader IPM dalam proses pemilihan dalam permusyawaratan terkesan belum seutuhnya terlibat secara maksimal. Hal itu muncul disebabkan tidak ada pendidikan Politik/Siyasah yang dilakukan secara Formal oleh IPM, dan mereka yang lebih fasih dalam urusan Siyasah cenderung melibatkan diri secara ekslusif dan berkomunikasi dengan para simpul pemilik hak suara (hak pilih) – dalam hal ini pucuk pimpinan. Bagi yang tidak terlibat secara utuh, hanya mampu mengonsumsi informasi alakadarnya serta mengikuti secara taqlid kepada mereka yang dipercaya untuk melakukan proses Siyasah tersebut.

Tidak ada salah dan benar dalam kultur yang terjadi dalam salah satu fenomena tersebut. Namun, mencoba mengambil hikmah melalui realitas tersebut adalah keharusan. Selanjutnya, proses pencerdasan IPM tidak terhenti hanya dalam dimensi gerakan. Melainkan kesadaran dalam bersiasat. Yang dalam kesempatan ini penulis memilih kata ‘Siyasah”.

POLITIK IPM DALAM CITA DAN REALITA

Diksi ‘Politik’ sudah menjadi bentuk kata yang berceceran di alam ruang pikir Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Hal itu dapat dibuktikan dari berbagai arsip Formal Ikatan Pelajar Muhammadiyah, seperti Tanfidz Muktamar, Blueprint Materi Muktamar beserta arsip lainnya. Namun, arus percepatan informasi pada era disrupsi saat ini memberikan dampak multitafsir terhadap pemaknaan kata ‘politik’ tersebut. Alhasil, Pilihan kata ‘Politik’ selalu tercemar oleh stigma yang dibangun oleh media. Lebih – lebih pelajar, yang kesehariannya bergelut dengan media sosial.

Dengan realitas tersebut, penulis mencoba diksi baru yang mungkin asing di kalangan Ikatan Pelajar Muhammadiyah. ‘Siyasah’ sebagai diksi baru di Ikatan Pelajar Muhammadiyah diharapkan mampu menerjemahkan diksi ‘Politik’ yang dimaksudkan dalam setiap dokumen/perbincangan IPM. Faktanya, kedua kata ‘Siyasah’ dan ‘Politik’ memiliki pemaknaan yang tidak jauh berbeda. Sebagaimana ungkapan Abdul Wahab Khalaf ; “ Siyasah juga memiliki arti pemerintahan dan politik, atau menuntut kebijaksanaan.”[1] . Sehingga diksi siyasah dalam konteks tulisan ini hanya sebuah ikhtiar membedah pilihan kata yang berdasar kepada risalah pemikiran para intelektual muslim, dalam rangka meluruskan tercemarnya kata “Politik” di sudut ruang pemikiran beberapa kader IPM.

Persamaan makna Siyasah dan Politik diperkuat oleh ungkapan Fatmawati Hilal; yang menyimpulkan bahwa Siyasah juga biasa diistilahkan Politik berasal dari kata politic (Inggris) yang menunjukkan sifat pribadi atau perbuatan. Secara leksikal, kata politic berarti acting or judging wisely, well judged, prudent.[2] Politik kemudian terserap ke dalam bahasa Indonesia dengan pengertian segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai kebijakan negara atau terhadap negara lain, kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah).[3]

TELAAH ARTI SIYASAH

Secara etimologi, menurut Wahbah Al-Zuhayli Kata Siyasah berasal dari kata bahasa Arab –يسوس - ساس - سياسة yang berarti mengatur, mengurus, dan memerintah.[4] Sedangkan Secara terminologis, siyasah dalam Lisan al-Arab berarti mengatur atau memimpin sesuatu dengan cara membawa kepada kemaslahatan .

Terdapat berbagai definisi selain bentuk definisi yang dikemukakan diatas. Pada prinsipnya, definisi yang dikemukakan memiliki persamaan. Siyasah berkaitan dengan mengatur dan mengurus manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara dengan membimbing mereka kepada kemaslahatan dan menjauhkannya dari kemudharatan. Definisi-definisi tersebut menegaskan bahwa wewenang membuat segala hukum, peraturan dan kebijaksanaan yang berkaitan dengan pengaturan kepentingan negara dan urusan umat guna mewujudkan kemaslahatan umum terletak pada pemegang kekuasaan (pemerintah atau ulil amri). Bila dikerucutkan dalam lingkup IPM , dapat diartikan bagaimana mengatur, mengurus pelajar dengan cara membawa kepada kemaslahatan. Secara formal telah termaktub dalam AD/ART serta berbagai pedoman – pedoman IPM yang telah disahkan oleh IPM.

Makna siyasah dalam pengaplikasian di tubuh IPM akan menjadi sia sia apabila pemaknaan terseubut diambil nilai manfaatnya hanya sebagai pengetahuan semata. Tentunya untuk memagari segala tindak-tanduk dalam mengamalkan makna siyasah, pemahaman mengenai prinsip Siyasah menjadi hal yang tidak kalah penting untuk diketahui lebih mendalam.

Adapun beberapa prinsip dasar siyasah termaktub dalam Q.S Al – An’am ayat : 165

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ الْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۗ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

Yang artinya :

Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S Al-An’am : 165)

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا

Yang artinya :

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. AlNisa’/4:58)

INTEGRASI KELOMPOK SEBAGAI PROSES SIYASAH

Prinsip Kebutuhan akan Pemimpin.

إذا كانَ ثلاثةٌ في سفَرٍ فليؤمِّروا أحدَهُم

Apabila ada tiga orang bepergian keluar hendaklah salah seorang dianta salah seorang diantara mereka menjadi pemimpin. ( H.R Abu Daud)

Secara historis, fenomena pengintegrasian kelompok sudah dilakukan pada saat siyasah kenabian. Hal ini dibuktikan Ketika Nabi Muhammad SAW dan umat Islam tiba di Madinah, di wilayah itu sudah tinggal beberapa golongan. Mereka antara lain: Muslimin yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar, orang-orang musyrik dari sisa-sisa Aus dan Khazraj, orang-orang Yahudi: Banu Qainuqa di sebelah dalam, Banu Quraiza di Fadak, Banu'n-Nadzir tidak jauh dari sana dan Yahudi Khaibar di Utara.

Untuk kaum Muhajirin dan Anshar sudah ada solidaritas sebagai sesama muslim. Namun untuk golongan Aus dan Khazraj ini sangat rentan sekali terjadi konflik. Maka untuk menghentikan potensi konflik antar Bani Aus dan Bani Khazraj, juga dengan golongan lain, Nabi Muhammad SAW setelah berdiskusi dengan Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khattab dan sejumlah sahabat membuat sebuah dokumen perjanjian tertulis. Dalam dokumen yang kemudian dikenal dengan Piagam Madinah itu ditetapkan sejumlah hak dan kewajiban kewajiban bagi kaum Muslim, kaum Yahudi, dan komunitas komunitas lain di Madinah.[5] Lesson learn yang terkandung dalam kisah Nabi Muhammad SAW, memberikan pencerahan bahwa dalam rangka mewujudkan proses mengatur tatanan peradaban menuju maslahat (Siyasah) diperlukan Visi (gagasan) yang mampu memberikan mashlahat dan diterima oleh berbagai kalangan dan kelompok dan bermuara sebagai komitmen bersama yang mampu dijunjung tinggi dengan nilai nilai yang luhur.

Suri tauladan dalam kisah nabi Muhammad SAW tersebut memberikan tamparan kita sebagai kader IPM untuk memperhatikan narasi dan pengintegrasian kelompok apabila memiliki itikad baik untuk merumuskan siapa dan apa komitmen serta visi yang memiliki nilai maslahat bagi khalayak IPM. Karena aturan IPM mengharuskan 9 Tim Formatur yang memiliki wewenang dalam menentukan arah gerak IPM selama 1 periode.

Dengan demikian, jumlah tim formatur yang tidak sedikit tersebut memberikan tuntutan lebih untuk dirumuskan dalam dimensi kelompok yang sangat luas. Namun tidak melupakan prinsip-prinsip siyasah. Serta memaksimalkan konsep musyawarah sebagai metode pengambilan keputusan.

MUSYAWARAH SEBAGAI INSTRUMEN SIYASAH

Syura atau demokrasi, Kata syura berasal dari akar kata syawara-musyawaratan, artinya mengeluarkan madu dari sarang lebah[6]

Artinya segala sesuatu yang diambil/dikeluarkan dari yang lain (dalam forum berunding) untuk memperoleh kebaikan. Format musyawarah dan obyeknya yang bersifat teknis diserahkan kepada ummat Islam untuk merekayasa hal tersebut berdasarkan kepentingan dan kebutuhan.[7] Dalam hal ini IPM telah melakukan Formalisasi teknis tersebut dalam Pedoman Persidangan IPM, Pedoman Protokoler Organisasi serta berbagai aturan yang berhubungan dengan pengambilan keputusan. Demikian musyawarah dalam konteks siyasah di setiap permusyawaratan yang terkesan tabu, semua dapat diatur sesuai kesepakatan, adat dan kesamaan itikad untuk mencapai maslahat.

Adapun Etika bermusyawarah bila berpedoman kepada QS. Ali-'Imran [3]: 159 dapat disimpulkan; a) bersikap lemah lembut b) mudah memberi maaf, jika terjadi perbedaan argumentasi yang sama-sama kuat dan c) tawakkal kepada Allah. Hasil akhir dari musywarah kemudian diaplikasikan dalam bentuk tindakan, yang dilakukan secara optimal, sedangkan hasilnya diserahkan kepada kekuasaan Allah swt.

Cara bermusyawarah tidak ditentukan secara rinci oleh Allah. Hal ini diserahkan sepenuhnya kepada manusia. Sedangkan dalam pengambilan keputusan, tidak berarti bahwa suara terbanyak itu mutlak harus diikuti. Adakalanya keputusan diambil berdasarkan suara minoritas, kalau ternyata pendapat minoritas itu lebih logis dan lebih baik dari suara mayoritas.[8]

Prinsip Musyawarah Orang yang dimintakan nasehatnya adalah orang yang terpercaya.”(H.R Ibnu Majah

AMANAH SEBAGAI OBJEK KAJIAN SIYASAH

Bai’at yang dilakukan terhadap seorang khalifah mempunyai syarat-syarat tertentu yaitu syarat in’iqad dan syarat afdhaliyah. syarat in’iqad diantaranya mencakup; a) Muslim. b) Laki-laki. c) Baligh. d) Berakal. e) Adil. f) Merdeka. g) Mampu melaksanakan amanat khilafah. Sedangkan syarat afdhaliyah dari bai’at khilafah adalah; a).Tidak disyaratkan harus seorang mujtahid. b). Tidak disyaratkan harus seorang yang pemberani dan politikus yang hebat dalam mengatur urusan rakyat dan kepentingan-kepentingan lain. c).Tidak disyaratkan harus seorang keturunan Quraisy. d).Tidak disyaratkan harus seorang keturunan Bani Hasyim atau keturunan Ali.

Ahlul Halli wal Aqdi Ahlul Halli wal Aqdi dianggap sebagai kelompok yang mencerminkan ridha kaum muslimin atau sebagai perwakilan kaum muslimin dalam tataran pemerintahan yang membawa aspirasi kaum muslimin. Seperti dalam hal pembai’atan, Ahlul Halli wa Al-Aqdi dapat membai’at calon khalifah yang telah memenuhi syarat. Karena ahlul halli dianggap telah mewakili ridha kaum muslimin itu sendiri. Maka ketika kita tarik pengertian ahlul halli wal aqdhi tersebut kepada sistem pemerintahan di Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa MPR dan DPR merupakan Ahlul Halli wa Al-Aqdi bagi segenap lapisan masyarakat.[9] Jika ditarik lebih dalam kepada sistem kepemimpinan dalam organisasi IPM. Representasi pimpinan dibawhnya sebagai pengurus merupakan Ahlul Halli wa Al-Aqdi bagi kaum pelajar.

Suatu hari, Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku (seorang pemimpin)? Lalu, Rasul memukulkan tangannya di bahuku, dan bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini adalah amanah, ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya).” (HR Muslim).

Hadits di atas menegaskan, untuk mewujudkan bangsa yang besar, kuat, dan disegani oleh bangsa-bangsa di dunia dibutuhkan seorang pemimpin yang kuat, bukan pemimpin yang lemah. Syaikhul Islam dalam as-Siyasah as-Syar'iyah menjelaskan kriteria pemimpin yang baik, "Selayaknya untuk diketahui, siapakah orang yang paling layak untuk posisi setiap jabatan. Kepemimpinan yang ideal memiliki dua sifat dasar, kuat (mampu) dan amanah. Lalu, menyitir firman Allah:

إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ

“Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS al-Qashash [28]: 26).

Kuat (profesional) untuk setiap pemimpin, tergantung dari medannya. Kuat dalam memimpin perang adalah keberanian jiwa dan kelihaian dalam perang dan mengatur strategi. Kuat dalam menetapkan hukum di tengah masyarakat adalah tingkat keilmuannya memahami keadaan yang diajarkan Alquran dan hadis, sekaligus kemampuan untuk menerapkan hukum.

Allah SWT berfirman:

فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا ۚ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Karena itu, janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS al-Maidah [5]: 44).

Khalifah Umar bin Khattab pernah mengadu kepada Allah perihal kepemimpinan, “Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu, orang fasik yang kuat (mampu) dan orang amanah yang lemah.”

Jika demikian, diperlukan sebuah skala prioritas dalam menentukan kepemimpinan. Dalam posisi tertentu, sifat amanah itu lebih dikedepankan. Namun, di posisi lain, sifat kuat (mampu) dan profesional yang lebih dikedepankan.

Imam Ahmad, ketika ditanya, jika ada dua calon pemimpin untuk memimpin perang, yang satu profesional tetapi fasik, dan yang satunya lagi saleh tetapi lemah. Mana yang lebih layak untuk dipilih? Jawab Imam Ahmad, orang fasik yang profesional, kemampuannya menguntungkan kaum Muslimin.

Sementara sifat fasiknya merugikan dirinya sendiri. Sedangkan, orang saleh yang tidak profesional, kesalehannya hanya untuk dirinya sendiri, dan ketidakmampuannya dapat merugikan kaum Muslimin. Maka itu, dipilih perang bersama pemimpin yang profesional meskipun fasik.

Sebaliknya, jika dalam posisi jabatan (kepemimpinan) yang lebih membutuhkan sifat amanah, didahulukan yang lebih amanah meskipun kurang profesional. Maka dari itu, diutamakan yang lebih menguntungkan untuk jabatan tersebut, dan yang lebih sedikit dampak buruknya

“Amanah tidak dapat diminta juga tidak bisa ditolak” , ungkapan populer bagi diskursus yang berkaitan dengan jabatan. Melalui kisah tersebut memberikan kita kesadaran bahwa setiap amanah menuntut proses yang utuh dan berlandaskan kepada konsep Siyasah. Sebagai Cita Politik, akan menjadi elok apabila IPM berkehendak meningkatkan kesadaran bersiasat demi mengisi ruang pemikiran yang tabu dalam setiap permusyawaratan IPM.

Kiranya, kebijaksanaan dan potensi konflik pasca permusyawaratan akan terkikis sedikit demi sedikit dan berfokus kepada kemajuan dan agenda aksi untuk kemaslahatan pelajar.

*) Ditulis oleh Rofid Izzuddin Ketua Umum Ikatan Pelajar Muhammadiyah Jawa Barat

[1] Abdul Wahab Khallaf, Al-Siyasat Al-Syar’iyat (Al-Qahirah: Dar Al-Anshar, 1977), h. 4-5

[2] Lihat A.S. Hornby A.P. Cowic (ed.), Oxford Advanced Leaner’s Dictionary of Current English (London: Oxford University Press, 1974), h. 645.

[3] Fatmawati Hilal, Fikih Siyasah (UIN Alaudin Makassar: 2015) Pusaka Almaida hlm.4

[4] Wahbah al-Zuhaylî, Ushul al-Fikih al-`Islami (Damaskus: Dar al-Fikr, 2001) vol. 1, 18

[5] Baca artikel detiknews, "Piagam Madinah: Sejarah, Isi dan Tujuannya" selengkapnya https://news.detik.com/berita/d-5350191/piagam-madinah-sejarah-isi-dan-tujuannya.

[6] ibnu Manzur, Lisan Al-Arab, Jilid I (Beirut: Dar al-Shadir, 1968), h. 434.

[7] Fikih Siyasah (UIN Alaudin Makassar: 2015) Pusaka Almaida hlm. 106

[8] Sebagai contoh, Khalifah Abu Bakar pernah mengabaikan suara mayoritas dalam masalah sikap terhadap para pembangkan zakat. Sebagian besar sahabat senior yang dimotori Umar bin Khattab berpendapat bahwa orang-orang yang menolak membayar zakat tetap Muslim dan tidak usah diperangi. Sementara sebagian kecil sahabat berpendapat supaya mereka diperangi, Abu Bakar memilih pendapat kedua. Pendapat ini akhirnya disetujui forum dan Abu Bakar pun memerangi mereka. Pada pemerintahan Umar, beliau pernah menolak pendapat mayoritas tentang pembagian harta rampasan perang berupa tanah Sawad (Irak), Sebagian besar sahabat yang dijurubicarai Bilal bin Rabah dan Abd. Rahman bin Auf berpendapat supaya tanah tersebut dibagi-bagi. Sedangkan sebagian kecil sahabat berpendapat supaya tanah tersebut dibiarkan tetap pada pemiliknya dan umat Islam hanya memungut pajaknya saja. Akhirnya, melalui dialog yang cukup a lot, Umar bin Khattab memilih pendapat minoritas. Muhammad Iqbal, Fikih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, h. 189

[9] Fikih Siyasah (UIN Alaudin Makassar: 2015) Pusaka Almaida hlm. 117

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image