Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dwi Nesa

Kartu Sakti BPJS Kesehatan, Kebijakan Absurd Ala Kapitalisme

Info Terkini | Tuesday, 01 Mar 2022, 08:15 WIB
Sumber gambar: republika.co.id

Penolakan publik terus mengalir sejak terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional. Lewat Inpres tersebut Presiden menginstruksikan kepada 30 kementerian dan lembaga untuk menggunakan tugas dan kewenangannya untuk mengoptimalkan kepesertaan JKN. Saat ini jumlah peserta JKN-KIS sebesar 86% dari total penduduk Indonesia. Targetnya sampai tahun 2024 jumlah peserta meningkat menjadi 98% jumlah penduduk.

Imbas dari Inpres tersebut masyarakat wajib memiliki kartu BPJS Kesehatan jika ingin mendapat layanan publik. Dilansir dari Tempo.co (24/2/2022), layanan publik yang dimaksud yaitu pengurusan jual beli tanah, ibadah haji dan umrah, pengajuan Kredit Usaha Rakyat (KUR), pengurusan SIM, STNK, dan SKCK, pendaftaran calon pekerja migran, permohonan administrasi pada Kemenkumham, permohonan izin usaha, hingga pelayanan pendidikan formal dan nonformal. Kartu BPJS kesehatan kini menjelma menjadi kartu sakti pemulus segala urusan layanan publik. Tak punya kartu ini jangan mengharapkan pelayanan meskipun punya banyak uang.

Aturan ini jelas membuat masyarakat keberatan. Bukan menyederhanakan administrasi, aturan ini justru mempersulit layanan publik di Indonesia yang sudah terkenal lama dan berbelit-belit. Menurut Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), pelayanan publik di Indonesia sangat kompleks, karena prosedur yang berbelit-belit, waktu yang lama, dan biaya yang besar. Ini yang membuat masyarakat enggan untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan administrasi. Apalagi ke depan ada syarat harus punya kartu BPJS Kesehatan.

Sebagai contoh dalam membuat pospor, meskipun sudah bisa dilakukan secara online namun tetap saja harus mengurus ke kantor imigrasi. Untuk mendapatkan kode booking saja yang bisa dilakukan secara online. Selebihnya datang langsung ke kantor imigrasi untuk dicek dokumen-dokumennya, foto, pengambilan sidik jari, dan wawancara. Setelah itu pemohon paspor harus membayar sejumlah uang. Jika dalam seminggu belum bisa membayar, proses awal tadi sudah tidak berlaku. Setelah bayar itupun paspor tidak langsung jadi. Ini kalau tidak terjadi kesalahan ketik. Bisa dibayangkan proses yang rumit ini akan lebih rumit jika ada kesalahan.

Membuat sertifikat jual beli tanah jauh lebih ruwet lagi. Pemohon harus datang ke kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan membawa persyaratan yang sangat banyak. Pemohon harus membayar sejumlah uang barulah bisa diukur tanah yang bersangkutan. Proses pembuatan sertifikat tanah juga melibatkan PPAT. Waktu pembuatannya memakan waktu yang super lama, semakin luas tanahnya semakin lama pula waktu yang dibutuhkan bisa 1-3 bulan. Pemohon yang belum punya kartu BPJS Kesehatan tentu akan semakin kerepotan dan semakin panjang perjalanannya untuk mendapat sertifikat bertuliskan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.

Beda lagi dengan pembuatan SIM. Administrasinya cukup mudah, tapi tesnya yang susah. Kalau belum lulus harus mengulang terus sampai lulus. Biaya yang harus dikeluarkan kisaran Rp 50.000 hingga Rp 250.000 tergantung jenis SIM.

Biaya sebesar itu jika dibandingkan biaya iuran BPJS tiap bulan tentu lebih besar iuran BPJS. Misalkan peserta BPJS Kesehatan kelas III memiliki empat anggota keluarga. Iuran yang harus dibayar tiap bulan Rp 25.500 dikali 4 sebesar Rp 102.000. Jumlah ini jika dibayarkan setiap bulan selama seumur hidup akan berkali-kali lipat besarnya. Praktisi keselamatan berkendara, Jusri Pulubuhu memperkirakan kewajiban BPJS Kesehatan sebagai salah satu syarat mengurus SIM dan STNK menjadikan masyarakat enggan mengurusnya.

Itulah berbagai contoh betapa pelayanan publik rumit, lama, dan mahal. Ditambah satu lagi syarat kartu sakti ini yang dinilai tidak relevan dengan pelayanan publik. Maka wajar masyarakat menganggap negara dengan tangan kuasanya sedang memeras rakyat untuk diambil uangnya. Rakyat mana yang tidak protes?

Tentunya masyarakat mendamba layanan publik yang cepat, mudah, dan murah. Sayangnya hal itu tak akan dijumpai di negara yang menganut sistem kapitalisme. Dalam sistem ini hanya manfaat secara materi saja yang diperhitungkan. Hubungan yang terjalin antara penguasa dengan rakyatnya sendiri seperti orang asing. Tidak ada rasa kasih sayang dan tanggung jawab. Masyarakat sendiri yang menjamin kesehatannya bukan negara. Jika ada masyarakat yang tidak mampu sedang sakit maka masyarakat lain wajib membantu melalui mekanisme gotong royong ala BPJS. Negara berlepas tangan tidak mau menjamin kesehatan rakyatnya karena itu tidak menguntungkan bagi negara bahkan merugikan.

Padahal Islam mewajibkan negara untuk memberikan jaminan kesehatan secara gratis. Karena fungsi adanya negara adalah untuk mengurusi urusan semua umat. Bukan untuk mencari keuntungan seperti kapitalisme.

Berlepas tangannya negara dalam menjamin kesehatan ini, memunculkan kezaliman lain yaitu pemaksaan rakyat untuk memiliki kartu BPJS Kesehatan. Hak-hak warga untuk memperoleh layanan publik terancam tak dipenuhi. Rakyat yang susah dengan banyaknya himpitan hidup, dibuat tambah susah. Inilah buah kapitalisme.

Sedangkan menurut sistem Islam pelayanan publik wajib diberikan negara dengan cara yang ihsan (kebaikan dan kesempurnaan), tanpa syarat apapun, dan gratis.

Dalam kitab ajhizah karya Syekh Taqiyyudin an-Nabhani pelayanan publik harus memenuhi tiga hal: Pertama, kesederhanaan aturan. Aturan ini akan mewujudkan pelayanan yang mudah dan praktis. Kedua, kecepatan pelayanan. Hal ini akan mempermudah orang yang sedang dalam kepentingan. Ketiga, pekerjaan dilakukan oleh orang yang mampu dan profesional.

Nampak jelas dengan menerapkan sistem Islam akan terjamin kesehatan masyarakat oleh negara. Pelayanan publik akan bisa dinikmati masyarakat tanpa ribet dan ruwet. Sungguh berbeda dengan sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini yang membuahkan kebijakan absurd.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image