Perang Paling Berat Adalah Melawan Diri Sendiri
Agama | 2022-02-27 16:46:05
Saya ingat kisah dialog antara Rasulullah SAW dengan sahabat, beberapa waktu selepas perang badar. Perang luar biasa besar, membawa kemenangan besar bagi kaum muslimin. Namun siapa sangka, Baginda Nabi bersabda “kita baru pulang dari perang yang kecil menuji perang yang lebih besar lagi”.
Sontak sahabat dibuat penasaran, menanyakan perang apa yang melebihi besarnya badar. “yaitu perang melawan diri sendiri”
----
Saya terkesima dialog ini, mencoba mempersepsikan sebisa saya. Mengimani dan mengamini sabda manusia mulia, yang setiap keputusan beliau dibimbing langit. Perang melawan diri sendiri, tak ubahnya perang melawan hawa nafsu.
Dan benar adanya, menundukan nafsu adalah perkara sulit. Sepanjang perjalanan hidup saya mengalaminya, seiring jatuh bangun dan lika-likunya.
Oke, kalau perang melawan orang lain jelas. Objeknya ada di hadapan, kita bisa mengerahkan kekuatan menyerang. Kita bisa mengukur kekuatan lawan, sembari menyiapkan strategi. Ibaratnya perang tanding, ilmu bela diri dan atau pedang bisa menjadi senjata pertahanan.
Sedangkan perang melawan diri sendiri, itu sangat unik. Hawa nafsu suka memihak kesenangan, kerap menjadi tujuan manusia bekerja siang malam. Tak dipungkiri kepemilikan bendawi, menjadi salah satu sebab kebahagiaan.
Peperangan melawan diri, butuh strategi yang jitu. Hal demikian sangat berat, butuh konsistensi tingkat tinggi.
Perang Paling Berat Adalah Melawan Diri Sendiri
Perang melawan diri sendiri, bisa terjadi saban waktu, di segala keadaan. Bahkan di setiap hela nafas, menjadi senjata nafsu (baca setan) menaklukan manusia. Misalnya saat senang, hadir perjamuan atau plesir ke tempat diidamkan. Tak jarang nafsu pamer menyeruak, seolah menjadi orang paling beruntung. Misalnya saat berprestasi, nafsu pongah atau membandingkan orang lain bertunas.
Sangat mungkin nafsu protes tak terima datang, saat sedih dan meratap. Merasa diri sudah menjalankan perintah Tuhan, merasa diperlakukan tidak adil, . Ketika nelangsa tertimpa kemalangan, merasa disia-siakan padahal (merasa banyak) telah menanam kebaikan.
Mari kita renungkan, sebegitu sarat medan peperangan melawan diri digelar. Sekiranya tidak mawas, sangat besar kemungkinan ketergelinciran didapati.
-----
Kebetulan, saya mengawal sebuah komunitas. Salah satu kegiatannya adalah berbagi, dengan melibatkan donatur. Sehingga per-kegiatan saya ungguh, mengingat penggalangan diadakan di media sosial.
Sungguh, tak jarang saya dilanda kebosanan. Maju mundur berkecamuk di benak, untuk melanjutkan atau menghentikan kegiatan. Mengingat minim personel, sementara tenaga terbatas bergerak.
Nafsu (sering kali) menarik-narik, membujuk untuk menyudahi saja. Setelah dana habis – untuk kegiatan--, tak usah melakukan penggalangan. Toh, tak ada yang mewajibkan. Berada di situasi genting seperti ini, saya membenarkan sabda Baginda Nabi. Betapa berat, memertahankan yang mengantar kebaikan.
Memang konsisten adalah kunci, tetapi setan tak mengenal kata selesainya. Nafsu dengan tipu muslihatnya, tak putus asa menggoda manusia. Benar adanya, perang paling berat adalah melawan diri sendiri.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.