Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Giyoto

BAKIAK SPESIAL

Guru Menulis | 2022-02-26 19:27:55
BAKIAK

BAKIAK SPESIAL

Oleh : Giyoto

Guru SD N Lempuyangwangi Yogyakarta

Bakiak di serambi musala tampak tertata rapi, berbaris bersama alas kaki lain. Kalian mungkin ada yang belum tahu tentang bakiak. Bakiak mempunyai kisah tersendiri yang mewarnai kehidupan manusia sampai saat ini. Tampilan bakiak yang sederhana jauh dari citarasa glamour apalagi trendi memberikan kesan tak terlupakan bagi siapa saja yang hidup pada zamannya. Pengalaman memakai bakiak mengingatkan kita pada memori kesederhanaan tanpa batas. Bahan dasar bakiak sebagai alas kaki terbilang sangat mudah di dapat dan dibuat. Kalian tahu apa bahan atau kayu untuk membuat bakiak? Bagus, rupanya kalian saat ini berhasil menjadi sosok digital native yang luar biasa. Yup! Tinggal browsing internet klik bakiak, akan banyak muncul berbagai web menyediakan informasi yang kalian perlukan.

Bakiak bisa jadi menjadi saksi sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Alas kaki sederhana ini sudah dikenal sejak zaman penjajahan. Terbuat dari kayu randu yang ringan dan mudah dibentuk. Kayu dari pohon randu dibentuk seperti tapak kaki dengan tebal kurang lebih dua sentimeter. Hanya perlu menambahkan karet dari ban bekas yang dipaku sebagai penahan kaki kita saat melangkah. Dah siap. Mudah bukan cara membuatnya? Sesederhana itu? Ya, begitulah mukadimah tulisan ini mengawali kisah.

Deba bermanja dipangkuan ayahnya sore itu setelah selesai menjalankan Sholat `Ashar di sebuah musala pingir jalan. Deba dan keluarganya hari itu berkunjung ke rumah kakeknya di desa. Mereka berdua tampak duduk di depan musala menunggu kakak dan ibunya yang sedang sholat. Sambil istirahat menikmati pemandangan sekitar musala yang asri dengan hamparan pohon kayu putih.

“Ayah, itu sandal apa ya?” tanya Deba pada ayahnya sambil menunjuk ke arah beberapa pasang sandal bakiak di depan serambi.

“Itu namanya bakiak, Dek.” jawab ayahnya.

Rasa penasaran Deba mulai muncul. Deba bangun dari pangkuan ayahnya. Ia berjalan menuju sandal bakiak disudut serambi. Perlahan ia mencoba memakainya. Kaki-kakinya yang kecil membuatnya kesulitan memakai sandal klasik tersebut.

“Lucu ya, Yah!” teriak Deba sambil mencoba berjalan tertatih. Alas bakiak yang tebal membuat Deba merasakan aneh saat melangkah. Bahkan ia hampir terjatuh. Buru-buru ayahnya menghampiri Deba.

“Hati-hati, Nak.” ucap ayahnya singkat.

“Yuk, kita lanjutkan perjalanan. Tuh, Ibu dan Kakak sudah selesai.” ajak ayah Deba.

Deba merajuk, ia masih ingin mencoba memakai bakiak. Namun, ayahnya tetap mengajak Deba pulang mengingat waktu semakin sore. Deba masih menyimpan rasa penasarannya pada bakiak.

***

Deba dan keluarganya sampai kediaman mereka menjelang Maghrib. Selepas sholat maghrib, mereka makan malam bersama menikmati bekal yang dibawa dari rumah kakeknya.

“Ayah, kenapa di masjid kita tidak ada bakiak?” tanya Deba.

“Apa, bakiak? Gak zamannya kali.” potong Kiki. Kiki adalah kakak Deba. Dua saudara ini jika berkumpul maunya bentrok melulu, tetapi jika salah satu tidak ada pasti mencari. Maklumlah kakak-adik.

Ibu menyela, “Udah Kiki, biarkan Adikmu bertanya sepuasnya sama Ayah.”

“Iya, Bu.” jawab Kiki singkat.

“Ayo, Nak! Bisa dilanjutkan.” kata ayah.

Mendengar ajakan ayahnya, Deba tampak antusias.

“Dulu, di masjid kita pernah ada bakiak, Deba.” jelas ayah.

Deba menyahut,”Terus sekarang kemana, Yah?”

“Bakiak-bakiak itu awalnya ada sepuluh pasang.” lanjut ayah.

“Seiring berjalannya waktu, bakiak-bakiak itu rusak dan ada beberapa yang hilang.” Terang Ayah Deba.

Deba masih penasaran, ia melanjutkan pertanyaannya,”Terus, nggak beli lagi?”

“Terus-terus melulu!” sahut Kiki.

“Kiki, dulu Kamu juga begitu.” ibu menimpali.

Ayah menjawab pertanyaan Deba, “Sebenarnya Takmir Masjid mau membeli bakiak lagi, tetapi belakangan kita sangat sulit menemukan pengrajin atau pedagang yang menjual bakiak.”

“Oo.. gitu, ya!” jawab Deba manggut-manggut.

Pengrajin bakiak makin langka. Bukan karena bahan baku yang kurang, tetapi para pengrajin banyak yang sudah tua renta. Selain semakin langka, nilai atau harga bakiak yang murah membuat orang tidak berminat menjadi pengrajin bakiak.

“Yah, berarti bakiak tidak ada yang bikin lagi?” tanya Deba.

“Nak, sebenarnya peminat masih banyak, namun saat ini kita kesulitan menemukan.” Jawab Ayah Deba.

Ayah melanjutkan, “Dulu pengrajin bakiak sekaligus menjadi penjualnya, mereka berkeliling dari kampung ke kampung. Saat ini mereka sudah tua.”

“Kalau aku pengin pakai bakiak bagaimana, Yah?” tanya Deba.

Ibu mencoba menjawab, “Tenang, Nak! Ayahmu insha alloh bisa membuat bakiak.”

“Betul Ayah?” tanya Deba bersemangat.

Ayah menyahut, “Bisa nggak ya?”

“Ayolah, ayah pasti bisa?” rengek Deba.

“Aku juga dibikinin ya, Yah!” pinta Kiki.

Ayah merasa bangga dengan Deba dan Kiki. Mereka ternyata masih suka dan sayang dengan hasil karya bangsa sendiri. Ya, walaupun hanya sekedar sandal bakiak.

“Insha Alloh Nak, Ayah akan buatkan spesial buat kalian. Kakek di desa masih punya pohon randu.” jawab Ayah membuat Kiki dan Deba tersenyum lebar.

“Asyik, kita pulang kampung lagi!” teriak Deba.

“Tapi, kalian harus sabar dan rajin ya belajarnya!”, tegas Ayah Deba.

Deba dan Kiki menjawab, “Siap Boss!”

Malam itu, Deba tampak bergembira dan membayangkan betapa senangnya memakai bakiak spesial buatan ayahnya sendiri. Karya anak negeri. SELESAI

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image