Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image HeryWibowo

Keberfungsian Mental Mahasiswa

Eduaksi | Friday, 25 Feb 2022, 06:52 WIB

Kajian dr. Teddy Hidayat terkait kuantitas penderita gangguan jiwa pada mahasiswa -yang cenderung meningkat dan menghambat proses akademik, kehidupan pribadi serta berpotensi bunuh diri, tentu menghenyak kesadaran kita. Dinyatakan dalam penelitian ilmiah tersebut bahwa 78 persen mahasiswa pernah mengalami gangguan kesehatan mental (Pikiran Rakyat, Senin 26 Agustus 2019).

Hal ini, tentu memerlukan sebuah kajian serius, mengingat mahasiswa adalah “anak-anak kita sekaligus anak-anak bangsa”, yang harus dijaga secara serius agar tidak menjadi ‘generasi gagal’. Makna setiap pihak tidak bisa saling santai, dan saling mengandalkan (lempar tanggung jawab) dalam proses pendidikan dan pembinaan, khususnya pada karakter dan kepribadian mahasiswa. Kehoe dan Fischer (2002) menegaskan bahwa diperlukan satu kampung untuk membersarkan anak sampai dewasa (it takes a village to raise a child), yang bermakna bahwa sejumlah pihak perlu terlibat aktif dalam menjaga keberfungsian mental yang sehat bagi anak, sampai ia beranjak menjadi mahasiswa.

Keberfungsian

Bertrand (1975, dalam Wibhawa, dkk 2018) menjelaskan bahwa manusia harus mengorganisasikan dirinya, yaitu belajar untuk berperilaku dalam antarhubungan dengan manusia lain, agar ia dapat bertahan hidup. Maka, tugas setiap individu kemudian, adalah membangun kapabilitas keberfungsian sosialnya. Secara umum, keberfungsian sosial dapat dijelaskan sebagai kemampuan seseorang dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya sesuai dengan status sosialnya. Hal ini memerlukan kondisi kesehatan mental yang baik

Pada konteks mahasiswa, maka diperlukan sejumlah program khusus untuk membangun kapabilitas keberfungsian mahasiswa, diluar sekedar tuntutan akademik. Jika dikaitkan dengan kajian kesehatan mental mahasiswa oleh dr. Teddy dimuka, maka kapabilitas yang perlu dibangun juga adalah terkait dengan pengembangan diri (kepribadian) mahasiswa, agar mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan mental yang sehat. Kesehatan mental (Darajat, dalam Mulyadi 2017) merupakan segala pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain, serta terhindar dari gangguan penyakit jiwa.

Tahap Perkembangan

Proses akademik seyogianya merupakan bagian tidak terpisahkan dari proses tumbuh kembang insan manusia, yaitu khususnya pada tahap remaja akhir dan dewasa awal. Tahap remaja akhir dicirikan antara lain dengan kecenderungan egosentris (King, 2014), yaitu bahwa segala sesuatu berpusat/tertuju pada dirinya. Sebagai contoh, satu jerawat kecil saja dapat mengganggu keseluruhan mood remaja.

Hal lain yang seyogianya harus tuntas ketika seseorang melewati masa remaja adalah tentang identitas. Erickson (1968, dalam King, 2014) menjelaskan bahwa kerentanan pada tahap ini adalah terjadi krisis/kebingungan identitas. Mahasiswa yang ‘belum tuntas’ penyelesaian tahapan pembentukan identitasnya, berpotensi masih ‘galau’ dan cenderung menghabiskan waktu dan energinya dalam upaya pencairan identitas (siapakah saya sebenarnya?). Saat yang lain sudah berpindah fokus, mereka masih berupaya membangun konsep diri (self esteem), yaitu isu tentang seberapa jauh individu menerima, menyukai dan menyetujui dirinya sendiri (Gross, 2013), -atau, seberapa berhargakah kita sebenarnya? Sehingga akan mempengaruhi persepsi mereka tentang seberapa yakin mereka akan kemampuan diri mereka sendiri dalam melakukan tugas-tugas sehari-hari sesuai peran yang diamanahkan pada mereka (self efficacy). Hal ini, jika tidak terdampingi dengan baik, dapat membuat mahasiswa ‘menghilang dalam dunianya sendiri’, sehingga tidak mengindahkan rangkaian proses akademik yang perlu ditempuhnya. Pada tahap ini, upaya rehabilitatif, jauh lebih sulit dilakukan. Sehingga, aksi-aksi preventif, seyogianya wajib menjadi pertimbangan utama

Selanjutnya, mahasiswa juga merupakan gerbang awal dari tahapan perkembangan dewasa awal (early adulthood). Ini merupakan tahap dimana individu dituntut memiliki visi yang kuat tentang kehidupan masa depannya. Sejumlah fitur utama pada tahap ini (Arnet, 2012 dalam King 2014) adalah: eksplorasi identitas terutama dalam cinta dan pekerjaan, ketidakstabilan dalam keintiman/cinta, pekerjaan atau pendidikan, fokus pada diri sendiri (karena mulai dituntut tanggung jawab yang lebih besar), perasaan ‘ditengah-tengah’ (remaja bukan, namun dewasa belum dan usia kemungkinan, yaitu ketika individu memiliki kesempatan untuk mengubah kehidupannya. Daftar tugas perkembangan ini, relatif cukup banyak dan berat, khusus bagi mahasiswa dengan kondisi khusus, seperti minim dalam finansial, yatim/piatu atau yatim piatu, memiliki riwayat gangguan kesehatan baik fisik maupun mental, jauh dari orang tua, berpotensi menjadi korban bullying dll. Sehingga tanpa pendampingan yang memadai mereka akan kebingungan dalam memenuhinya, sehingga berpontesi melakukannya dengan cara yang ‘salah’, sehingga mengganggu kehidupan mental mereka.

Maka, upaya pendampingan (dalam bentuk apapun) menjadi semakin penting. Pihak institusi pendidikan pada khususnya, jangan hanya berfokus pada isu besar kurikulum saja. Dimensi perwalian (dosen wali), konseling dan pelatihan/workshop pengembangan diri (personal development), perlu menjadi sisi lain yang dapat diprioritaskan.

Sejumlah kebingungan psikologis mahasiswa, seyogianya jangan sampai ‘terbiarkan’ memasuki tahap yang akut. Pembentukan komunitas sebaya/asosisasi mahasiswa, atau kelompok mandiri (self help group) melalui himpunan mahasiswa/Badan Eksekutif Mahasiswa dapat menjadi tameng pertama, bagi mahasiswa untuk berbicara dari, oleh dan untuk kehidupan psikologis mereka.

Lingkar Ekologis

Setiap individu, memiliki lingkar lingkugan pihak signifikannya (significant other ecosystem). Lingkar ini merupakan pihak-pihak yang paling berpengaruh pada kesehatan mental mahasiswa. Orang tua kandung mahasiswa, sebagai bagian dari keluar inti (nuclear family), tetap perlu menjadi sosok signifikan penting, walaupun sang mahasiswa terpisah jarak dan pulau karena harus menempuh pendidikan dengan cara tinggal di kos-kosan/asrama. Penjaga penginapan asrama/induk kos, juga dapat berperan sebagai cermin interaksi awal, untuk pencegahan dini gejala penyakit2 mental.

Neukrug (1994 dalam Fahrudin 2012) menjelaskan bahwa istilah dan praktik pelayanan manusia (human services) akan berkembang, yang meliputi bidang psikologi, pekerjaan sosial dan konseling. Wilayah pelayanan ini, sudah saatnya menjadi prioritas dalam upaya mendampingi mahasiswa pada khususnya dan peserta didik lainnya pada umumnya, dalam proses belajar mengajar mereka di institusi pendidikan. Kampus, jangan hanya jadi pabrik pencetak pekerja industri (robotisasi), namun sebaliknya menjadi lingkungan yang mampu memanusiakan manusia dengan segala potensi terbaiknya. Kita, tentu tidak ingin kehilangan generasi emas ini, hanya karena kelalaian dalam menyedian lingkungan ekosistem yang paling konstruktif bagi mereka untuk tumbuh dan berkembang.

Daftar LIterasi

Fahrudin, Adi. 2012. Pengantar Kesejahteraan Sosial. Cetakan Pertama. Bandung. Penerbit Refika Aditama

Gross, Richard. 2013. Psychology: The Science of Mind and Behavior. Buku Kedua. Edisi Keenam. Yogyakarta. Penerbit Pustaka Pelajar

King, Laura. A. 2014. Psikologi Umum: Sebuah Pandangan Apresiatif. (judul Asli, the Science of Psychology-An Appreciative View) Jakarta.Penerbit Salemba Humanika

Mulyadi. 2017. Islam dan Kesehatan Mental. Cetakan Pertama. Jakarta Penerbit Kalam Mulia

Wibhawa, Budi, Tri Raharjo, Santoso dan Budiarti S., Meilanny. 2019. Dasar-Dasar Pekerjaan Sosial. Bandung. Penerbit ITB Press

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image