Kota Ramah Anak, Solusi atau Ilusi ?
Agama | 2022-02-23 09:49:27Kota Bandung berhasil menyabet penghargaan Kota ramah anak/ Kota Layak Anak (KLA) tahun 2021 dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Tahun 2021, Kota Bandung menerima penghargaan untuk kategori Madya. Penghargaan diserahkan Menteri PPPA, I Gusti Ayu Bintang Darmawati PPA secara virtual, kepada Wakil Wali Kota, Yana Mulyana, Kamis 29 Juli 2021. Usai mendapatkan penghargaan, wakil wali kota menyampaikan rasa syukur dan berterima kasih kepada pemerintah pusat yang telah mengapresiasi usaha Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung dalam mencapai Kota ramah anak/kota Layak Anak (mapaybandung.pikiran-rakyat.com). Bahkan tidak tanggung-tanggung, Puspaga (Pusat Pembelajaran Keluarga) Kota Bandung pun meraih predikat tertinggi yakni ‘Ramah Anak’, setelah melewati proses standarisasi dan sertifikasi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA). Ketua Puspaga Kota Bandung Siti Muntamah Oded mengungkapkan dengan sertifikasi ini menunjukkan hasil dari upaya Puspaga Kota Bandung yang senantiasa memfasilitasi ruang-ruang ekspresi bagi anak. Termasuk melibatkan anak dalam berbagai kegiatan pembangunan kota. Menurutnya, dengan prinsip semua anak adalah anak kita, Kota Bandung melalui Puspaga terus berkomitmen mengajak masyarakat untuk mencintai anak sepenuh hati. “Dan tentu saja dengan meningkatkan kolaborasi dengan seluruh stakeholder untuk memfasilitasi kebutuhan- kebutuhan anak yang ramah anak di Kota Bandung,” ungkapnya, Minggu (21/11/2021). Dengan harapan layanan Puspaga dapat berfungsi secara optimal dan akuntabilitas layanan dalam mewujudkan kualitas keluarga dan perlindungan anak dapat tercapai (www.bandung.go.id).
Namun, layakkah penghargaan ini diberikan dan berharap untuk dijadikan solusi agar perlindungan anak dapat terwujud, jika kota yang berpredikat tersebut masih terbelit begitu kompleksnya permasalahan yang menimpa anak ? Masih segar dalam ingatan kita pada bulan Desember 2021, ramai pemberitaan kasus kejahatan seksual yang terjadi di lingkungan Pendidikan di kota Bandung yang memakan korban hingga 13 murid. Kasus tersebut baru satu contoh dari sekian banyaknya permasalahan yang menimpa anak di kota Bandung. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 431 kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan di kota Bandung sepanjang 2020. Dari jumlah tersebut, jenis kasus terbanyak adalah kekerasan psikis mencapai 155 kasus. Kekerasan seksual menjadi jenis kekerasan terbanyak berikutnya di kota Bandung sebanyak 69 kasus (katadata.co.id 15/12/2021). Fakta ini menunjukkan bahwa penghargaan kota ramah anak / KLA tidak bisa menjadi jaminan terwujudnya perlindungan anak. Lantas, mengapa kota ramah anak / KLA belum bisa melindungi anak? Bagaimana cara mewujudkan perlindungan anak yang hakiki?
Kota Ramah Anak Hanya Ilusi
Pengamat Tata Kota dari Universitas Trisakti Yayat Supriatna berpendapat, indikator kota ramah anak sangat rumit sehingga pada tahap implementasi sulit mewujudkan kota yang benar-benar ramah anak. Hal tersebut dikatakan Yayat dalam webinar bertajuk 'Moda Transportasi dan Ruang Publik Ramah Anak', Selasa (13/10/2020). Menurutnya, itu terlalu banyak, terlalu ribet, terlalu panjang, memakan cost yang sangat besar. Maka pencapaian (mewujudkan kota ramah anak) mungkin sulit. Indikator-indikator itu bukan justru mendorong agar sebuah kota menjadi ramah anak, justru menyulitkannya, Bahkan menuai persoalan selanjutnya. Persoalan yang dimaksudkan, yakni lamanya penyusunan peraturan daerah, minimnya kebijakan kota ramah anak dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Kemudian, kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan yang lemah dan terbatas, kemampuan anggaran APBD terbatas. Minimnya peran serta masyarakat, informasi dan sosialisasi program tidak maksimal dan kelembagaan yang terbatas. (Kompas.com)
Sejatinya, perlindungan anak adalah persoalan penting demi mewujudkan sumber daya manusia yang unggul. Sayangnya saat ini perlindungan anak masih menjadi angan-angan kosong (Ilusi). Ratifikasi Konvesi Hak Anak (KHA) bahkan sudah 31 tahun dan pembentukan KLA juga sudah sejak 15 tahun lalu. Namun, masih saja permasalahan yang menimpa anak terus terjadi, makin beragam dan tidak mengenal perikemanusiaan. Meski sudah memiliki beragam jenis Undang-undang sebagi payung hukum untuk menuntaskan berbagai permasalahan anak, namun tetap saja permasalahan yang menimpa anak setiap tahunnya terus meningkat. Keberadaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang berdiri sejak 2002 pun belum mampu memberantas permasalahan terhadap anak. Semua ini menunjukkan kegagalan upaya mewujudkan perlindungan anak secara hakiki. Solusi yang diadopsi seolah hanya khayalan untuk mencegah permasalahan, bahkan meski kebijakan yang diadopsi adalah solusi global berdasarkan KHA. Hal ini wajar, mengingat KHA dibangun berdasarkan nilai-nilai sekuler Barat, jauh dari aturan agama. Terlebih lagi, liberalisme menjadi panduan dalam kehidupan. 5 Aturan Barat Gagal Menuntaskan Permasalahan terhadap Anak.
Gagalnya aturan barat ini sejatinya menunjukkan bahwa kebijakan yang ditawarkan telah gagal pula dalam mewujudkan perlindungan terhadap anak dan membuktikan lemahnya aturan yang berasal dari akal manusia untuk dijadikan solusi tuntas permasalahan manusia. Disisi lain, sekularisme liberalisme membuat manusia jauh dari aturan Allah. Dunia menjadi tujuan hidupnya, sehingga apa pun keinginannya, akan diupayakan meski menghalalkan segala macam cara. Anak yang seharusnya terlindungi, justru mengalami eksploitasi atau menjadi sasaran kekerasan demi mendapatkan materi atau ambisi pribadi. Anak yang seharusnya terjaga, justru rusak karena hilang kontrol atas dirinya. Oleh karenanya, persoalan anak tidak akan pernah dapat terselesaikan selama tata kehidupan masih berlandaskan pada kebebasan akal manusia. Apalagi ada banyak hal yang saling terkait yang menjadi akar berbagai permasalahan yang menimpa anak. Dengan demikian, butuh solusi menyeluruh untuk menyelesaikan permasalahan anak secara tuntas. Hanya Islam Yang Mampu Mewujudkan Perlindungan dan Memberikan Solusi Hakiki terhadap Permasalahan Anak.
Islam memandang bahwa anak adalah amanah yang harus dijaga. Anak adalah calon pemimpin masa depan, aset bangsa yang sangat berharga. Oleh karena itu, anak harus dapat tumbuh dan berkembang optimal agar menjadi generasi penerus yang mumpuni. Dalam hal ini, Islam memiliki serangkaian aturan dan sistem yang mampu menyelesaikan permasalahan anak dan memenuhi kebutuhan akan rasa amannya. Islam mewajibkan keluarga untuk melindungi anaknya, masyarakat untuk memberikan lingkungan kondusif mengantarkan anak-anak menjadi generasi beriman dan bertakwa, serta negara untuk melindungi anak dan mengurusnya dengan baik sesuai aturan Allah SWT. Regulasi untuk mengurus anak senantiasa berasaskan akidah Islam dan merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Allah SWT juga mewajibkan negara untuk melindungi keselamatan setiap individu rakyat, termasuk anak-anak. Negara akan membina setiap individu rakyatnya dengan keimanan yang kuat kepada Allah dan hari akhir. Keimanan ini akan mencegah individu melakukan kemaksiatan dan kejahatan. Islam juga mewajibkan negara untuk menghilangkan berbagai faktor yang dapat mengancam keselamatan anak. Islam memiliki sistem yang komprehensif untuk mencegah terjadinya berbagai macam permasalahan terhadap anak. Sistem ekonomi Islam akan mewujudkan kesejahteraan. Sistem informasi Islam akan mencegah berbagai tayangan dan pemikiran rusak yang dapat mengantarkan kepada kerusakan dan kejahatan kepada anak. Islam juga memiliki sistem sanksi yang membuat jera bagi pelaku dan mencegah yang lain melakukan kejahatan serupa.
Demikianlah sempurnanya Islam mewujudkan perlindungan dan memberikan solusi hakiki terhadap setiap permasalahan anak.
Wallahu a’lam bishshawwab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.