Paradigma Penghimpunan Wakaf
Bisnis | 2022-02-20 21:47:18
Muhammad Syafi’ie el-Bantanie
(Praktisi Wakaf dan Pendiri Ekselensia Tahfizh School Dompet Dhuafa)
Penghimpunan wakaf produktif masih menjadi tantangan pengembangan wakaf di Indonesia. Mengajak masyarakat untuk berwakaf sosial, seperti wakaf sumur, masjid, dan pesantren jauh lebih mudah daripada wakaf produktif seperti wakaf saham, pasar, dan pom bensin.
Data di lapangan menunjukan target perolehan penghimpunan wakaf sumur miliaran rupiah bisa dicapai dengan mudah dan tanpa strategi penghimpunan yang rumit. Hal ini tentu satu pencapaian yang patut diapreasiasi. Namun demikian, dalam konteks business process wakaf, wakaf sosial tidak berkorelasi langsung terhadap surplus wakaf.
Wakaf sumur misalnya, prosesnya selesai ketika nazir merealisasikan pembangunan sumur wakaf. Masyarakat memperoleh manfaat berupa air dari sumur wakaf tersebut. Namun, sumur wakaf tidak menghasilkan surplus wakaf karena tidak bisa diproduktifkan.
Tentu saja penghimpunan wakaf sosial harus tetap dijalankan. Karena, dibutuhkan oleh masyarakat. Namun, ketika kita berbicara dalam konteks wakaf dan perekonomian Islam, terlebih mewujudkan peradaban wakaf, maka nazir harus mulai beralih pada wakaf produktif.
Wakaf produktiflah yang menggambarkan business process wakaf secara utuh. Mulai dari penghimpunan wakaf, pengembangan aset, perolehan surplus, sampai penyaluran surplus wakaf kepada mauquf ‘alaih (penerima manfaat wakaf).
Oleh karena itu, paradigma penghimpunan wakaf perlu dipahami oleh setiap lembaga wakaf. Penghimpunan wakaf bukan sekadar besar-besaran jumlah transaksi. Jumlah penghimpunan yang besar, namun tidak berkorelasi terhadap surplus wakaf, belum bisa disebut keberhasilan.
Lantas, bagaimana paradigma penghimpunan wakaf? Setidaknya ada tiga paradigma yang mesti dibangun. Pertama, aktivitas penghimpunan wakaf berarti mensyiarkan syariat wakaf. Masih banyak umat Islam yang belum memahami syariat dan strategisnya wakaf sebagai salah satu instrumen keuangan sosial syariah untuk mewujudkan kesejahteraan.
Jika zakat adalah solusi kemiskinan, maka wakaf adalah solusi kesejahteraan. Bahkan, dalam sejarahnya wakaf menjadi pilar penting dalam membangun peradaban. Wakaf mampu menghadirkan layanan pendidikan dan kesehatan gratis bagi masyarakat. Wakaf juga mampu membiayai pembangunan sarana dan fasilitas umum yang dibutuhkan umat, seperti masjid dan jalan.
Karena itu, lembaga wakaf perlu secara konsisten melakukan edukasi wakaf kepada masyarakat sebagai satu bagian dari aktivitas penghimpunan wakaf. Perlu dirumuskan cara dan metode yang tepat, sehingga wakaf mudah dipahami oleh masyarakat dari berbagai kalangan. Pelibatan influencer dari berbagai kalangan sebagai brand ambassador wakaf perlu dilakukan.
Kedua, aktivitas penghimpunan wakaf harus mampu menyampaikan value wakaf, bukan sekadar gimik-gimik program wakaf untuk mencapai target penghimpunan. Gimik tidak akan bertahan lama. Karena, tidak membentuk paradigma dalam persepsi masyarakat. Kampanye wakaf jadi sama seperti kampanye donasi pada umumnya. Masyarakat berdonasi dan selesai.
Berbeda halnya, dengan mengomunikasikan value dalam setiap kampanye wakaf. Masyarakat akan terbangun persepsinya dan memberikan pemahaman baru tentang wakaf. Adanya shifting paradigm masyarakat terhadap wakaf inilah yang bisa menjanjikan kelanggengan transaksi wakaf.
Ketiga, aktivitas penghimpunan wakaf mesti mampu membangun ekosistem wakaf. Wakaf mesti dipandang dalam kerangka besar peradaban wakaf. Membangun peradaban wakaf tentu saja mesti melibatkan banyak pihak. Lembaga wakaf tidak bisa berjalan sendiri. Semua stakeholder mesti dikelola dengan baik agar bisa memainkan perannya dalam semesta ekosistem wakaf.
Wakif misalnya, jangan hanya dikelola untuk mendapatkan transaksi, setelah itu selesai. Namun, mesti dipandang sebagai aset dalam semesta ekosistem wakaf. Seorang wakif bisa jadi influencer wakaf ketika merasa puas dengan performa nazir dalam mengembangkan aset wakaf serta penyampaian laporan perkembangan yang transparan dan profesional.
Selain wakif, ada mitra pengelola wakaf yang perlu dikelola dengan baik. Dalam mengelola dan mengembangkan aset wakaf, nazir perlu bekerjasama dengan mitra pengelola wakaf. Mereka adalah entitas profesional sesuai bidang keahliannya.
Targetnya aset wakaf produktif yang dikelola mitra pengelola wakaf bisa menghasilkan surplus wakaf secara optimal. Semakin besar surplus wakaf yang terhimpun, berarti semakin besar penyaluran kepada mauquf ‘alaih. Selain itu, sebagian surplus wakaf tersebut juga bisa dialokasikan untuk reinvestasi atau pengembangan aset wakaf agar semakin besar.
Masyarakat, wakif, mitra pengelola wakaf, dan mauquf ‘alaih adalah ekosistem wakaf yang perlu dibangun dan dikelola dengan baik oleh nazir. Semakin luas masyarakat yang teredukasi, semakin besar potensi masyarakat yang berwakaf (wakif). Semakin puas wakif dengan performa nazir, semakin besar potensi untuk menggaet wakif baru.
Semakin baik performa mitra pengelola wakaf, semakin besar surplus wakaf yang didapatkan. Semakin besar surplus wakaf terhimpun, semakin banyak dan luas mauquf ‘alaih yang memperoleh manfaat serta semakin besar potensi pengembangan aset wakaf untuk bisa menghasilkan surplus wakaf lebih besar lagi.
Pada titik inilah, wakaf telah bertransformasi menjadi instrumen keuangan sosial syariah yang melahirkan kesejahteraan. Secara bertahap akan mampu melahirkan peradaban wakaf. Dan, ini bermula dari paradigma penghimpunan wakaf.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.