Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Intan aura

Ronggeng Dukuh Paruk: Potret Perempuan dalam Belenggu Tradisi

Sastra | 2025-05-30 18:01:41
Memotret sendiri

Tidak semua perempuan berjuang demi cinta, dan tidak semua kisah tentang perempuan berbicara tentang akhir yang bahagia. Beberapa justru lahir dari luka yang dipelihara bertahun-tahun oleh sistem, tradisi, dan ketidaktahuan.

Dalam Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari memperkenalkan kita pada Srintil, seorang perempuan yang tubuhnya sejak kecil telah dikultuskan, dijadikan lambang, dan diperebutkan, tapi tak pernah benar-benar dimiliki oleh dirinya sendiri.

Srintil, anak yatim piatu dari Dukuh Paruk, sebuah pedukuhan kecil yang miskin dan terpencil. Ia kehilangan kedua orang tuanya sejak bayi akibat tragedi tempe bongkrek beracun. Dibesarkan oleh kakek dan neneknya, Srintil tumbuh di bawah bayang-bayang kepercayaan lama, bahwa dirinya adalah titisan indang ronggeng yang akan mengembalikan martabat pedukuhan. Maka, sejak usia sebelas tahun, ia dilatih menjadi ronggeng: penari yang tidak hanya menghibur, tetapi juga dianggap sebagai milik masyarakat, secara tubuh maupun martabat.

Ronggeng, dalam masyarakat Dukuh Paruk, bukan sekadar profesi. Ia adalah lambang semangat desa, pelengkap budaya, bahkan menjadi sumber kebanggaan. Namun, di balik itu semua, ronggeng adalah jeruji yang mengikat perempuan dalam peran yang tak mereka pilih. Keperawanan Srintil diperebutkan, disayembarakan seperti barang langka.

Lelaki dari berbagai penjuru datang, bukan untuk mencintai, melainkan untuk "memiliki". Di tengah itu, hadir Rasus, teman masa kecil Srintil, satu-satunya orang yang melihat dirinya sebagai manusia, bukan sebagai lambang atau milik publik. Namun cinta Rasus tak sanggup melawan realitas. Ia tak bisa menerima bahwa Srintil adalah milik banyak lelaki. Dan Srintil, meski mencintainya, tak mampu menolak takdir yang telah dilekatkan padanya sejak kecil.

Srintil tidak memilih menjadi ronggeng. Ia hanya menjalani. Namun dunia tidak peduli pada siapa yang memilih dan siapa yang dipaksa. Dunia hanya menilai, dan Srintil, dalam mata mereka, telah ternoda.

Ketika arus sejarah membawa tragedi tahun 1965 ke Dukuh Paruk, Srintil dan kelompok ronggengnya dituduh terlibat dalam makar. Pedukuhan dibakar, para seniman jalanan ditahan, dan kali ini Srintil kembali kehilangan kebebasannya.

Ia selamat dari penyiksaan fisik, tetapi tidak dari luka batin dan trauma yang menghantam harga dirinya. Setelah bebas, Srintil mengambil keputusan penting, bahwa ia menolak kembali menjadi ronggeng. Ia ingin hidup sebagai perempuan biasa, tanpa tarian, tanpa malam-malam yang dijual.

Ketika Bajus, seorang lelaki baru, hadir membawa harapan, Srintil sempat percaya bahwa kebahagiaan masih mungkin. Namun dunia kembali mengkhianatinya. Bukan karena dosa masa lalu, tetapi karena kenyataan yang tak pernah berpihak pada perempuan yang pernah dijadikan komoditas.

Akhir kisah Srintil bukan kemenangan, bukan pula kekalahan. Ia memilih diam. Bukan karena lelah, tapi karena dunia terlalu bising untuk mendengar perempuan yang telah lama berteriak dalam kesunyian.

Srintil bukan sekadar karakter dalam novel. Ia adalah wajah dari perempuan-perempuan yang hidup di bawah tekanan budaya, tradisi, dan sistem yang tidak pernah menempatkan mereka sebagai manusia utuh. Ia adalah luka kolektif. Namun ia juga simbol keberanian, karena di tengah keterpaksaan, Srintil tetap punya kehendak untuk berhenti. Untuk memilih dan menyatakan bahwa dirinya bukan milik siapa pun.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image