Topi Helm: Ketaatan Palsu atau Simbol Kekuasaan yang Membakar Akal Sehat?
Ulas Dulu | 2025-05-30 07:21:56
Sebuah Topi Helm
Apa jadinya jika sebuah benda biasa, seperti topi, berubah menjadi lambang kekuasaan yang ditakuti bahkan bisa menghancurkan hidup seseorang? Inilah yang terjadi dalam cerpen “Topi Helm”, sebuah kisah satir yang membongkar wajah kekuasaan, kepatuhan buta, dan kegilaan manusia terhadap simbol.
Di awal cerita, kita dikenalkan pada sosok Tuan O.M., pemimpin bengkel kereta api di Padang Panjang. Ia bukan hanya ditakuti karena kekuasaannya, tapi juga karena “topi helm” yang selalu dikenakannya. Topi itu seolah menjadi tanda kehadiran kekuasaan mutlak: menyebut namanya saja bisa membuat para pekerja langsung panik dan kembali bekerja. Lucunya, topi itu juga jadi bahan lelucon. Saat seseorang meneriakkan “si topi helm!”, para pekerja akan berpura-pura sibuk, walau Tuan O.M. tidak ada. Lama-lama, kebiasaan ini jadi candaan yang tak lucu, hingga menjatuhkan satu korban.
Masinis berbadan besar, dijuluki Kingkong, akhirnya turun pangkat hanya karena menganggap lelucon itu terlalu enteng. Ia mengejek Tuan O.M. dan akhirnya harus membayar mahal: jabatan melayang. Ini jadi pelajaran bahwa sistem yang terlalu bergantung pada simbol, dan bukan akal sehat, bisa menjebak siapa pun.
Ketika Tuan O.M. pensiun dan topi itu diwariskan kepada Pak Kari, seorang juru rem yang awalnya penyabar, cerita berubah arah. Topi yang semula hanya “penanda” mulai mengubah kepribadian. Pak Kari jadi sensitif, mudah marah, bahkan terobsesi. Ia memaki hujan hanya karena membasahi topinya. Ia mulai membenci sistem yang tak memungkinkannya memakai topi itu. Inilah fase ketika simbol mulai menguasai manusia, bukan sebaliknya.
Klimaks terjadi ketika Pak Kari nyaris kehilangan nyawanya karena berusaha menyelamatkan topi yang jatuh ke sungai. Bukan keselamatan kereta atau pekerja lain yang diprioritaskan, melainkan topi. Dan ketika akhirnya topi itu dibuang ke api oleh kepala masinis, Pak Kari kehilangan kendali. Balas dendam dilakukan dengan membakar wajah atasannya menggunakan bara api membuatnya buta. Di sinilah “topi helm” menjadi lambang yang tak hanya menakutkan, tapi juga membakar nurani.
Cerpen ini bisa dibaca sebagai kritik terhadap budaya kekuasaan yang terlalu simbolik. Di banyak tempat kerja atau birokrasi, sering kali orang lebih takut pada seragam, jabatan, atau tanda pangkat ketimbang pada integritas atau kemanusiaan. Ketika simbol menjadi lebih penting dari tanggung jawab, muncullah ketaatan palsu dan kekacauan.
“Topi helm” bukan sekadar benda. Ia adalah lambang kekuasaan yang bisa berubah menjadi obsesi. Dan ketika obsesi itu tak terkendali, bukan hanya akal sehat yang terbakar, tapi juga hati nurani.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
