Di Balik Belenggu: Cinta, Luka, dan Jiwa yang Terkoyak
Sastra | 2025-05-29 15:14:28
Apa jadinya jika sebuah pernikahan tanpa paksaan justru penuh kekosongan? Novel Belenggu karya Armijn Pane, yang terbit pertama kali pada tahun 1940, menyodorkan kisah cinta yang berani, kompleks, dan jauh dari romantisme manis. Di masa ketika kawin paksa mendominasi cerita-cerita fiksi, Armijn Pane justru hadir dengan kisah cinta segitiga yang mengguncang — antara Tono, Tini, dan Rohayah.
Tak Ada Rumah dalam Rumah Tangga
Tono adalah seorang dokter intelek lulusan Malang. Tini adalah wanita intelek dan aktif di ranah sosial. Keduanya menikah tanpa paksaan, tapi juga tanpa cinta. Mereka seperti dua dunia yang sibuk sendiri. Kehidupan pernikahan mereka sunyi dari kehangatan dan akhirnya menjadi celah masuknya orang ketiga: Rohayah, mantan penyanyi dan teman lama Tono.
Cinta Segitiga yang Tak Hitam-Putih
Tak ada tokoh antagonis di sini. Tono, Tini, dan Rohayah masing-masing berperan sebagai manusia yang rapuh, punya luka batin, dan sedang mencari tempat pulang. Novel ini tak menyalahkan siapa pun secara mutlak — justru mengajak pembaca menyelami psikologi setiap karakter.
Diselami dengan Psikoanalisis Freud
Dalam kajian yang dilakukan oleh Sophie Astrid Suwardani dan Mahda Putri dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, karakter Tono dan Tini dianalisis menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud: Id, Ego, dan Superego.
- Tono (Sukartono) digambarkan memiliki Id yang lemah dalam mengontrol keinginan. Ia terjebak dalam kehampaan dan mencari pelarian emosional dari istri yang “terlalu intelek” dan tidak memahaminya. Ego-nya menuntunnya pada hasrat, sementara Superego akhirnya menyadarkannya bahwa ia harus melepaskan Rohayah demi kebaikan semua.
- Tini (Sumartini) punya Id yang kuat sebagai perempuan yang berani melawan norma. Ia mandiri, aktif, dan cerdas, tapi juga rapuh dalam cinta. Ego-nya meledak saat merasa dikhianati. Namun, Superego membawanya menuju sikap dewasa: memilih mundur, memberi jalan bagi Rohayah, dan menata hidup baru.
Novel yang “Terlalu Berani” untuk Zamannya
Tidak heran jika Belenggu sempat ditolak oleh Balai Pustaka. Di zamannya, cerita tentang pria dan wanita yang memilih cerai secara sadar dianggap tak bermoral. Tapi justru di situlah kekuatan novel ini: keberanian menggambarkan cinta yang tidak ideal, serta kegagalan rumah tangga dari sudut psikologis yang menyentuh.
Relevan hingga Kini
Meski terbit lebih dari 80 tahun lalu, Belenggu tetap relevan. Di balik narasi klasiknya, ia bicara tentang kesenjangan emosional dalam pernikahan, tentang pentingnya komunikasi, dan tentang keberanian menghadapi luka batin. Ini bukan sekadar kisah cinta, tapi potret jiwa yang terbelenggu oleh harapan, ekspektasi, dan kenyataan yang tak pernah bertemu.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
