Ketika Jadi Perempuan Harus Kuat Sendiri
Sastra | 2025-05-28 11:57:09
Apa yang terjadi ketika perempuan tak lagi punya ruang untuk menjadi dirinya sendiri?
Hiroko, tokoh utama dalam novel Namaku Hiroko karya NH. Dini, adalah gambaran perempuan yang dipaksa untuk dewasa terlalu cepat, menekan naluri alamiahnya demi bertahan hidup dalam dunia yang keras dan menyesakkan. Berasal dari desa yang sederhana, Hiroko merantau ke kota demi memperbaiki nasib, tapi justru di sanalah ia kehilangan dirinya.
Antara Cita dan Harga Diri
Kemajuan ekonomi Jepang pascaperang memang membuka banyak peluang—tapi tidak semua peluang datang dengan pilihan yang adil. Hiroko bekerja, berjuang, dan terus didorong untuk menjadi “wanita modern” meski itu berarti menanggalkan idealisme, bahkan tubuhnya. Ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga, lalu penjaga toko, hingga menjadi model majalah. Ia pun terjerumus dalam relasi yang kompleks dan menyakitkan: menjalin hubungan dengan pria yang sudah beristri, bahkan suami sahabatnya.
Namun siapa yang salah? Hiroko—atau dunia yang membuatnya berpikir bahwa tubuh dan daya pikat adalah satu-satunya jalan keluar dari kemiskinan?
Ketika Topeng Harus Dipakai Setiap Hari
Dalam kajian psikologi Carl Gustav Jung, Hiroko menggunakan persona—topeng sosial yang menyesuaikan diri dengan ekspektasi masyarakat. Ia berpura-pura kuat, modis, dan tak peduli, padahal dalam ketidaksadarannya, ia masih gadis desa yang pemalu dan patuh. Konflik internal ini membentuk lapisan kepribadian yang rumit: dari pemalu menjadi berani, dari penurut menjadi pemberontak diam-diam.
Yang menyakitkan adalah, perubahan itu bukan selalu karena pilihan—tetapi karena keadaan.
Perempuan, Seksualitas, dan Dosa yang Tak Pernah Kita Akui
NH. Dini dengan tajam menyorot bagaimana masyarakat sering memaklumi lelaki yang berpoligami atau menyimpan perempuan, tetapi mengutuk perempuan yang memanfaatkan situasi serupa demi bertahan hidup. Hiroko bukan “nakal”. Ia hanya lelah lapar, lelah miskin, dan lelah menjadi yang selalu kalah.
Novel ini menyuarakan satu hal penting: perempuan tidak butuh diselamatkan, mereka butuh didengarkan.
Lebih dari Kisah Fiksi, Ini Cermin Sosial
“Namaku Hiroko” bukan sekadar cerita perempuan yang merantau dan berubah. Ini adalah cerita tentang luka kolektif perempuan yang sering kita abaikan. Hiroko adalah kita: yang belajar kuat karena dipaksa, bukan karena ingin. Yang akhirnya menyesuaikan diri dengan dunia, karena dunia tidak pernah bersedia menyesuaikan diri dengan kita.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
