Cinta, Perempuan, dan Kebebasan dalam Novel Belenggu Karya Armijn Pane
Sastra | 2025-05-27 18:18:54
Karya sastra tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai cermin sosial dan medium refleksi atas dinamika zaman. Novel Belenggu pertama kali diterbitkan pada tahun 1940 karya Armijn Pane yang merupakan salah satu contoh signifikan dari fungsi tersebut. Dengan alur yang memusat pada relasi antar tokoh dan pergolakan batin yang kompleks, novel ini mengangkat tema-tema fundamental seperti cinta, posisi perempuan, dan upaya individu dalam mencari kebebasan personal di tengah tekanan sosial-budaya.
Tokoh utama dalam novel ini, yakni Sukartono, Tini, dan Yah, dihadapkan pada dilema eksistensial yang merefleksikan pergeseran nilai dalam masyarakat Indonesia awal abad ke-20. Tini, digambarkan sebagai perempuan modern yang memiliki kemandirian intelektual dan sosial, bertolak belakang dengan Yah yang merepresentasikan nilai-nilai tradisional. Sukartono, sebagai pusat narasi, justru mengalami krisis identitas dan emosional akibat ketidakmampuannya menjembatani dua kutub tersebut.
Di tengah dua kutub ini, Sukartono justru gamang. Ia merindukan kedekatan emosional yang tidak ia dapatkan dari Tini, namun juga merasa bersalah terhadap kedekatan fisik dan batin yang tumbuh bersama Yah. Di sinilah Belenggu memainkan dinamika cinta bukan sebagai kisah romantis biasa, melainkan sebagai medan tarik-ulur antara harapan dan kenyataan, antara cinta dan kewajiban sosial.
Salah satu yang membuat Belenggu menonjol di masa nya terletak pada cara Armijn Pane menarasikan tokoh perempuan sebagai subjek yang aktif dalam menentukan jalan hidupnya. Baik Tini maupun Yah tidak digambarkan sebagai korban pasif, melainkan sebagai individu yang memiliki kehendak, refleksi, dan kapasitas untuk mengambil Keputusan. Tini digambarkan sebagai istri yang tidak tunduk begitu saja. Ia mengambil keputusan, mempertanyakan pernikahan yang hambar, bahkan menolak menjadi “perempuan rumah” yang hanya tahu menyambut suami.
Yah pun tidak kalah menarik. Meski secara sosial ia berada di posisi yang rentan, ia tetap digambarkan sebagai sosok yang tahu apa yang ia inginkan—cinta, kedekatan, pengakuan. Keduanya, dengan caranya masing-masing, menunjukkan bahwa perempuan juga punya suara dalam menentukan arah hidup dan cinta mereka.
Kebebasan dalam novel ini tidak hadir sebagai sesuatu yang utuh, baik Tini maupun Yah tetap dibelenggu oleh struktur sosial dan ekspektasi masyarakat. Tini dipandang egois karena memilih jalan pikirannya sendiri, Yah dicap “perempuan masa lalu” yang tak layak mendapat cinta. Di sinilah Armijn Pane menunjukkan bahwa cinta dan kebebasan, dalam masyarakat yang masih patriarkis, seringkali saling bertabrakan.
Setelah bertahun tahun novel ini terbit, Belenggu tetap memiliki nilai aktualitas yang kuat. Isu-isu yang diangkat, seperti ketimpangan gender, tekanan norma sosial, dan kesenjangan antara cinta dan struktur, masih menjadi perdebatan kontemporer. Dalam konteks ini, Belenggu dapat dibaca sebagai kritik sosial yang halus namun tajam terhadap konstruksi sosial yang membatasi ruang gerak individu, khususnya perempuan.
Melalui narasi yang intens dan karakterisasi yang mendalam, Armijn Pane mengajak pembaca untuk merenungkan: apakah cinta sejati bisa tumbuh di bawah tekanan norma sosial? Apakah perempuan berhak menentukan arah hidup dan cintanya sendiri? Dan, apakah kita sebagai masyarakat siap membebaskan diri dari belenggu yang kita ciptakan sendiri?
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
