Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Faranida Aulia Rahmah

Krisis Identitas dan Warisan Kolonial dalam Novel Kisah Hanafi: Tinjauan dari Teori Poskolonial

Sastra | 2025-05-27 13:06:36
potret ini dari google: https://images.app.goo.gl/yYrmd97QjADVSytN9

Novel yang mengisahkan tokoh Hanafi bukan hanya sekadar kisah cinta dan kehidupan rumah tangga, tetapi juga sebuah potret tajam tentang pergolakan identitas dalam masyarakat jajahan. Dengan menggunakan pendekatan teori poskolonial, novel ini dapat dibaca sebagai bentuk kritik terhadap warisan budaya kolonial yang menciptakan ketimpangan sosial dan krisis kepribadian pada masyarakat pribumi, khususnya generasi muda terdidik seperti Hanafi.

Kehilangan Jati Diri Pribumi

Hanafi, seorang pemuda bumiputera asal Solok, dikirim oleh ibunya ke Betawi untuk mendapatkan pendidikan di HBS, sekolah elite yang diperuntukkan bagi kalangan Eropa dan kaum pribumi terpilih. Di sinilah awal mula perubahan identitas Hanafi. Selama tinggal bersama keluarga Belanda dan bergaul dengan anak-anak Eropa, ia mulai membenci akar budayanya sendiri. Bahkan setiap kali corrie menyebut Hanafi Bumiputra, ia tersinggung.

"aku tahu betul, bahwa aku hanyalah bumiputra saja, corrie! Janganlah kau ulang- ulang juga"

Ketika Hanafi menyatakan tidak ingin disebut sebagai bumiputra, meski ia sendiri adalah bumiputra, ini menunjukkan betapa dalamnya efek penjajahan membentuk cara pandang dirinya. Ia menjadi korban dari sistem pendidikan kolonial yang bukan hanya mentransfer ilmu, tetapi juga menanamkan ideologi superioritas Eropa dan inferioritas lokal.

Mimikri dan Peniruan Budaya Kolonial

Dalam teori poskolonial, mimikri adalah tindakan meniru budaya penjajah dengan harapan dapat diterima dalam struktur kekuasaan kolonial. Hanafi adalah contoh jelas dari konsep ini. Ia meniru cara hidup orang Belanda, menolak adat Minangkabau, dan bahkan memaksakan syarat-syarat dalam pernikahannya dengan Rapiah agar tidak mengandung unsur tradisi lokal. Ia ingin menjadi “orang Belanda dalam tubuh bumiputera.”

Namun, seperti dikemukakan Homi K. Bhabha—salah satu tokoh penting dalam teori poskolonial—peniruan itu tidak pernah bisa sempurna. Orang terjajah yang meniru penjajah tetap akan dilihat sebagai “yang lain” (the Other). Hanafi mengalami penolakan dari ayah Corrie karena ia tetap dianggap bukan bagian dari dunia Eropa. Dengan kata lain, meskipun Hanafi menolak dirinya sendiri sebagai bumiputera, dunia kolonial pun tetap tidak menerimanya.

Othering dan Marginalisasi Sosial

Novel ini juga memperlihatkan proses othering, yaitu pencitraan tokoh bumiputera sebagai "yang berbeda", "lebih rendah", atau "tidak layak" oleh budaya dominan (Eropa). Ayah Corrie memandang Hanafi sebagai aib bagi anak perempuannya jika harus menikah dengan orang Timur. Bahkan, Corrie sendiri awalnya menolak cinta Hanafi karena sikapnya dianggap tidak sopan dan di luar batas budaya Eropa.

Di sisi lain, Hanafi juga melakukan proses othering terhadap kaumnya sendiri. Ia menghina ibunya, merendahkan Rapiah, dan menceraikan wanita bumiputera demi mengejar cinta perempuan berdarah Eropa. Ironisnya, dalam pernikahannya dengan Corrie pun, ia gagal menunjukkan kematangan dan justru memperlakukan istrinya dengan kekerasan.

Penyesalan dan Kesadaran Pascakolonial

Tragedi kehidupan Hanafi berpuncak pada kesadaran akan kesalahan dan kehancuran hidupnya setelah Corrie meninggal dunia. Ia sadar bahwa selama ini telah mengkhianati nilai-nilai budaya, keluarganya, dan dirinya sendiri. Namun, penyesalan itu datang terlambat. Dalam keadaan putus asa, Hanafi memilih mengakhiri hidupnya dengan cara tragis. Ini menjadi simbol dari kehancuran identitas akibat krisis yang ditanamkan oleh sistem kolonial: kehilangan tempat berpijak antara dua dunia yang tidak benar-benar menerimanya.

Melalui pendekatan teori poskolonial, novel ini dapat dipahami sebagai kritik terhadap dampak penjajahan yang tidak hanya merusak tatanan sosial, tetapi juga merusak struktur psikologis individu. Hanafi adalah potret generasi terpelajar bumiputera yang tercerabut dari akar budayanya sendiri dan gagal menemukan jati diri karena terperangkap dalam ambisi menjadi bagian dari kekuasaan kolonial.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image