Relasi Anak dan Orangtua dalam Keluarga Kajian Surah Al-Isra 17/23-27
Agama | 2025-05-27 00:51:41Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menyaksikan hubungan antara anak dan orangtua diuji oleh berbagai situasi. Ada yang penuh kasih, ada pula yang retak karena kesalahpahaman atau ego. Al-Qur’an, sebagai pedoman hidup, tidak tinggal diam. Surah Al-Isra ayat 23–27 hadir membawa pesan mendalam tentang bagaimana relasi ini seharusnya dibina.
Pernahkah kita bertanya, seberapa pentingnya peran anak dalam menjaga keharmonisan keluarga? Atau, bagaimana Islam memandang kewajiban seorang anak terhadap orangtuanya? Jawabannya tersurat dengan indah dalam Surah Al-Isra ayat 23–27
Apaitu keluarga? Keluarga adalah sekumpulan terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang terikat oleh hubungan darah, perkawinan, atau adopsi, dan tinggal bersama atau memiliki keterikatan emosional, tanggung jawab, dan peran sosial tertentu.
dalam perspektif Islam:
Keluarga adalah lembaga yang sangat mulia. Islam memandang keluarga sebagai mahkota masyarakat dan pondasi utama peradaban. Keluarga menjadi tempat pertama pendidikan akhlak dan keimanan. Al-Qur’an dan Hadis banyak mengatur tentang hubungan dalam keluarga, seperti tanggung jawab suami, istri, anak, dan orangtua.
Misalnya, dalam Surah Al-Isra ayat 23–27, Allah menekankan:
Pentingnya berbakti kepada orangtua (ayah dan ibu).
Larangan berkata kasar kepada mereka.
Kewajiban anak menjaga dan menggunakan harta dengan bijak, termasuk memberi hak kepada kerabat.
ayat al quran ini juga menjelaskan menjelaskan jangan Boros! Orang boros itu temanya setan, dan setan itu sangat kafir (tidak tahu berterima kasih kepada Allah)
Berikut Lafadz Al-Isra’ 23-27:
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَـٰنًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ ٱلْكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّۢ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًۭا كَرِيمًۭا ٢٣
23. “Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.”
Isi kandungan
Allah SWT berfirman seraya memerintahkan agar hamba-Nya hanya beribadah kepada-Nya saja, yang tiada sekutu bagi-Nya. Kata “qadhaa” dalam ayat ini berarti perintah. Mengenai firman-Nya, وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُواْ إِلَّآ إِيَّاهُ “Dan telah memerintahkan,” Mujahid berkata: “Artinya berwasiat.” Demikian pula Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud dan adh-Dhahhak bin Muzahim membaca ayat tersebut dengan bacaan, وَوَصَّىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُواْ إِلَّآ إِيَّاهُ “Rabbmu berwasiat agar kami tidak beribadah kecuali kepada-Nya semata.” (Andhim, et.al 2024, 431)
Maksudnya, janganlah engkau memperdengarkan kata-kata yang buruk, bahkan sampai kata “ah” sekalipun yang merupakan tingkatan ucapan buruk yang paling rendah / ringan. وَلَا تَنۡهَرۡهُمَا “Dan janganlah kamu membentak keduanya,” maksudnya, jangan sampai ada perbuatan buruk yang kamu lakukan terhadap keduanya. Sebagaimana yang dikatakan ‘Atha’ bin Abi Rabah mengenai firman-Nya, وَلَا تَنۡهَرۡهُمَا “Dan janganlah kamu membentak mereka berdua,” ia berkata: “Artinya, janganlah kamu mengangkat tangan kepada keduanya.” (Katsir 2003, 5/153)
وَٱخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ ٱلذُّلِّ مِنَ ٱلرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ٱرْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِى صَغِيرًۭا ٢٤
24. “Rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua (menyayangiku ketika) mendidik aku pada waktu kecil”
Isi kandungan
Maksud dari ayat diatas adalah berilah mereka perlindungan dan kasih sayang sebagaimana seekor induk burung memberikan, perlindungan dan kasih sayang kepada anak-anaknya dengan merendahkan (menaungkan) sayapnya kepada mereka. (Harun 2019, 25-26)
Disertai doa untuk orang tua, doa ini sangat dianjurkan dibaca untuk mendoakan orang tua, baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal.
"رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا" "Ya Tuhanku, sayangilah mereka sebagaimana mereka telah menyayangiku di waktu kecil."
Doa ini menunjukkan rasa syukur dan balas budi atas semua pengorbanan dan cinta orang tua saat membesarkan kita.
رَّبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا فِى نُفُوسِكُمْ ۚ إِن تَكُونُوا۟ صَـٰلِحِينَ فَإِنَّهُۥ كَانَ لِلْأَوَّٰبِينَ غَفُورًۭا ٢٥
25. “Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam dirimu. Jika kamu adalah orang-orang yang saleh, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertobat”
Isi kandungan
Ibnu Jarir berpendapat bahwa makna paling tepat dari awwaabiin adalah mereka yang meninggalkan dosa dan maksiat, lalu beralih kepada ketaatan dan hal-hal yang disukai serta diridhai Allah. Kata awwaab sendiri berasal dari kata al-aub yang berarti kembali. Ini diperkuat dengan firman Allah dalam QS. Al-Ghaasyiyyah ayat 25: “Sesungguhnya kepada Kamilah mereka kembali.” (Ibn Katsir 2003, 7/156)
وَءَاتِ ذَا ٱلْقُرْبَىٰ حَقَّهُۥ وَٱلْمِسْكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا ٢٦
26. “Berikanlah kepada kerabat dekat haknya, (juga kepada) orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. Janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”
Isi kandungan
Ali bin Al Husain berkenaan dengan firman Allah SWT, "Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya", berkata mereka adalah kerabat Nabi SAW. Ini adalah perintah Nabi SAW agar memberikan hak-hak mereka dari baitul maal. Maksudnya, dari saham (bagian) para kerabat dari harta rampasan perang. Juga bisa menjadi pesan kepada pemimpin atau orang-orang yang mewakili mereka. Ditambahkan di dalam ayat ini apa yang telah ditentukan berupa silaturrahim, mempersempit kesenjangan, menolong dengan harta ketika sangat dibutuhkan dan bantuan dengan segala bentuknya. (Qurtubi 2008, X/614)
إِنَّ ٱلْمُبَذِّرِينَ كَانُوٓا۟ إِخْوَٰنَ ٱلشَّيَـٰطِينِ ۖ وَكَانَ ٱلشَّيْطَـٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُورًۭا ٢٧
27. “Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.”
Isi kandungan
Teranglah, kalau seseorang telah mem-buang-buang harta kepada yang tidak ber-faedah, bahwa pengaruh setan telah masuk ke dalam dirinya. Karena sifat setan itu tidak mengenal terima kasih, menolak dan me-lupakan nikmat, dan telah menjadi sahabat setia dari orang yang bersangkutan itu, maka sifat dan perangai setan itulah yang telah memasuki dan memengaruhi pribadinya hingga segala tindak-tanduk hidupnya pun tidak lagi mengenal terima kasih. Begitu banyak rezeki dan nikmat yang dilimpahkan Allah kepada dirinya, lalu dibuang-buangnya saja dengan tidak semena-mena. (Hamka 2015, V/276)
Harta benda itu hendak keluar juga dari dalam simpanan. Harta yang tersimpan saja, dengan tidak diambil faedahnya, sama saja dengan menyimpan batu yang tak berharga. Kalau dia tidak keluar untuk yang berfaedah. dia akan keluar untuk yang tidak berfaedah. Seorang miskin, misalnya, datang meminta bantu, enggan kita memberikan. Setelah si miskin pergi dengan tangan hampa, datanglah kawan karib tadi, yaitu setan. Lalu diajaknya kita mengeluarkan uang yang sedianya dapat diberikan kepada si miskin tadi untuk berfoya-foya. Lalu, kita turuti ajakan kawan itu, maka dosalah yang didapat. Padahal, tadinya nyaris membawa pahala. Itu pun mubazzir.
Inilah penjelasan yang mungkin dapat disampaikan dapat disimpulkan bahwa kita sebagai umat muslim dapat mempelajari segala pelajaran yang ada di muka bumi ini dilandasi Al-Qur’an dan hadits sebagaimana ilmu yang dapat di ambil dari surah Al-isra’ ayat 23-27 tersebut.
Khairiah Dwi Angelia Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Prodi Manajemen Dakwah dan Dr. Hamidullah Mahmud M.A Dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
