Merangkai Harapan dari Barang Bekas: Cerita dari Anak-Anak Pengungsi di Cisarua
Eduaksi | 2025-05-26 13:24:44
Pagi itu di Cisarua, Bogor, udara sejuk menyambut kami. Di tengah suasana yang tenang, tawa anak-anak terdengar nyaring dari sebuah ruang belajar komunitas. Mereka menari, tertawa, dan memegang potongan-potongan kain bekas yang akan diubah menjadi karya seni.
Anak-anak itu bukan siswa sekolah biasa. Mereka adalah anak-anak pengungsi dari berbagai negara, yang kini tinggal di Indonesia sambil menunggu kepastian yang entah kapan datang. Tapi hari itu, mereka tidak bicara soal negara, konflik, atau dokumen. Mereka bicara soal warna, lem, bentuk, dan kreativitas.
Kegiatan ini merupakan bagian dari Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) yang diadakan oleh Fakultas Teknik dan FKIP Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, bekerja sama dengan Jesuit Refugee Service (JRS). Temanya sederhana: “Penguatan Motorik Halus Melalui Kerajinan Tangan Berbasis Daur Ulang.” Tapi maknanya lebih dalam dari itu.
Lewat kain perca, anak-anak belajar menggunting, menempel, dan menyusun gambar. Mereka dibagi dalam kelompok, didampingi oleh mahasiswa dan dosen dari berbagai jurusan. Ada yang membuat bunga, rumah, bahkan tokoh kartun. Tak semua rapi, tapi semua dikerjakan dengan senyum dan semangat.
Di tempat seperti ini, harapan terasa sangat nyata. Tidak muluk-muluk. Hanya tentang hari ini bisa berkarya, dan hari esok masih mungkin untuk bermimpi.
Indonesia memang belum menandatangani Konvensi Pengungsi 1951. Artinya, para pengungsi di sini tidak memiliki hak yang sama dengan warga negara—mereka tidak bisa bekerja secara legal, tidak bisa sekolah di lembaga formal, dan harus hidup di persinggahan yang tak pasti.
Tapi kegiatan seperti ini mengingatkan kita bahwa kemanusiaan tidak menunggu legalitas. Siapa pun bisa hadir, mendampingi, dan memberi ruang. UKI dan JRS sudah menunjukkan, bahwa yang dibutuhkan anak-anak ini bukan sekadar belas kasihan, tapi pengakuan bahwa mereka juga punya potensi.
Anak-anak pengungsi itu mungkin tidak tahu apa yang akan terjadi minggu depan. Tapi hari itu, mereka tahu mereka dihargai. Mereka bukan hanya “korban situasi”, tapi juga seniman kecil yang bisa menciptakan keindahan dari barang-barang bekas.
Dan mungkin, dari situlah harapan bisa dirajut kembali.
Bagi saya, momen paling menyentuh adalah saat mereka memperkenalkan diri dengan malu-malu, lalu bangga menunjukkan hasil karyanya. Di situ saya belajar: bahwa pemberdayaan tidak selalu butuh teknologi tinggi atau dana besar. Kadang, cukup dengan duduk bersama, mendengarkan, dan memberi kesempatan.
Semoga lebih banyak kampus, komunitas, dan orang-orang seperti kita yang mau hadir. Karena siapa tahu, dari satu lembar kain perca, lahirlah masa depan yang lebih utuh.
*Opini ini merupakan luaran dari rangkaian pengabdian internasional yang dilakukan oleh Prodi HI dan Komunikasi FISIPOL, FSB, FEB, FKIP, FV, FT, dan FK UKI pada 21 Mei 2025 bersama JRS Indonesia dan disusun oleh Darynaufal Mulyaman, Julian Andretty, Singgih Sasongko, Leonard Hutabarat, Susanne A.H. Sitohang, Mike Wijaya Saragih, Arya Gina Tarigan, Theza Eliziano, Dely Maria, Evi Deliviana, Candra Christianti, Grace Putri Dianty, Susan Nainggolan, Liliek Pinontoan, Surjo Abadi, Setiyadi, Ryan
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
