Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Amelia Dwikristia N

Bangkitnya Pikiran, Runtuhnya Kepatuhan: Novel Student Hidjo

Sastra | 2025-05-24 21:26:56

Novel berjudul Student Hidjo ditulis oleh Mas Marco Kartodikromo, seorang priyayi dari kalangan bawah yang berasal dari Cepu. Ia dikenal sebagai salah satu penulis berpengaruh yang karyanya tidak diterbitkan oleh Balai Pustaka, melainkan melalui lembaga resmi milik pemerintah colonial Belanda. Bersama rekan-rekannya, Mas Marco dikenal sebagai bagian dari kelompok penulis yang menghasilkan karya-karya yang dianggap sebagai “bacaan liar”. Beberapa karya terkenalnya antara lain Student Hidjo (1919) dan Rasa Merdeka atau Hikayat Soedjanmo (1924). Mas marco meninggal tepatnya pada tanggal 19 Maret 1932 akibat penyakit malaria dan paru-paru, di wilayah Tanah Tinggi, sebuah area yang lebih terpencil di Boven Digoel, yang diperuntukkan bagi tahanan politik yang dianggap paling keras kepala oleh pemerintah kolonial Belanda.

Novel Student Hidjo menampilkan ciri khas dalam penyajian isu-isu pascakolonial yang merefleksikan realitas masa penjajahan Belanda. Dengan gaya penulisan yang hidup, Mas Marco berhasil menggambarkan kondisi sosial secara tajam, sehingga pembaca dapat merasakan adanya jurang sosial antara kelas atas dan kelas bawah. Cerita dalam novel ini berlatar di dua tempat utama, yakni Indonesia dan Belanda. Yang paling menarik untuk dikaji adalah karakter tokoh utama, Hidjo, yang mengalami pergolakan batin akibat perbedaan pengalaman hidup di tanah air dan di negeri kolonial.

Di awal cerita, Hidjo digambarkan sebagai putra seorang saudagar kaya yang status sosial dan kekayaannya mampu menyaingi kalangan priyayi kelas atas. Meskipun berasal dari kalangan bukan bangsawan, kesetaraan sosial yang dimilikinya membuat Hidjo tetap percaya diri dalam bergaul. Ayahnya, Raden Potronojo, memiliki keinginan kuat untuk menyekolahkan Hidjo ke Belanda. Namun, sang ibu, Raden Nganten Potronojo, merasa khawatir melepaskan anaknya ke negara yang dianggap memiliki pergaulan bebas. Perbedaan lingkungan sosial dan tata krama antara Jawa dan Belanda terlihat sangat mencolok, terutama dalam hal etika dan cara bergaul.

Setibanya di Belanda, Hidjo tinggal di rumah direktur salah satu maatschapij (perusahaan) dan mulai menempuh pendidikannya di sana. Pengalaman belajar di negeri kolonial itu membuka wawasan dan cara pandangnya secara signifikan. Hidjo, yang dikenal sebagai sosok kutu buku yang tenang bahkan dijuluki “pendito” hingga dianggap onzijdig (tidak bergairah atau banci), akhirnya terjerumus dalam hubungan asmara di luar pernikahan dengan Betje, putri dari sang direktur tempat ia menumpang selama masa studi. Pergolakan batin akibat perbuatannya yang dianggap mencoreng kehormatan, ditambah panggilan untuk kembali ke tanah Jawa, membuat Hidjo mengambil keputusan tegas untuk mengakhiri hubungannya dengan Betje.

Sesungguhnya, sebelum berangkat ke Belanda, Hidjo telah dijodohkan dengan Raden Adjeng Biroe, yang merupakan sanak keluarga. Namun, hati Hidjo justru tertarik pada Raden Adjeng Woengoe, putri dari Regent Jarak yang dikenal karena kecantikannya. Situasi ini menambah lapisan konflik dalam cerita, antara kewajiban untuk menaati kehendak keluarga dan keinginan pribadi dalam memilih pasangan hidup.

Akhir cerita Student Hidjo menunjukkan perubahan dalam pola perjodohan. Hidjo akhirnya menikah dengan Raden Adjeng Woengoe, perempuan yang benar-benar dicintainya, sementara Raden Adjeng Biroe dipersunting oleh Raden Mas Wardojo, kakak laki-laki Woengoe. Keputusan ini diterima dengan bahagia oleh semua pihak, baik yang menjodohkan maupun yang dijodohkan. Hal ini memperlihatkan bahwa perjodohan tidak selalu berakhir dengan penderitaan, tetapi bisa menjadi jalan menuju kebahagiaan jika disertai dengan kehendak dan kesadaran pribadi.

Cerita ini juga menepis anggapan bahwa mentalitas inlander—yang pasrah dan tunduk pada kolonialisme—melekat kuat pada bangsa pribumi. Woengoe, misalnya, dengan tegas menolak cinta Controleur Walter, seorang pejabat Belanda.

Pengalaman Hidjo selama di Belanda juga memberikan pelajaran berharga. Ia menyadari bahwa bangsa Belanda tidak seagung seperti yang selama ini dibayangkannya di tanah jajahan. Justru di negeri mereka sendiri, Hidjo sempat merasakan ironi—bahwa ia, seorang pribumi, bisa memerintah orang-orang Belanda di hotel, restoran, atau rumah tumpangan, hal yang mustahil terjadi di Hindia Belanda.

foto pribadi

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image