Pengekangan Wanita dalam Tradisi: Wujud Patriarki dalam Novel Belenggu
Sastra | 2025-05-23 14:39:34
Topik tentang patriarki tidak pernah berhenti dibahas dalam beberapa tahun ini. Patriarki masih hangat dibahas karena masih banyak bermunculan kasus yang sebabnya dari patriarki. Selain itu, fenomena patriarki ini juga diabadikan dalam karya sastra, salah satunya adalah novel. Salah satu novel yang mengangkat isu patriarki ini adalah novel yang berjudul Belenggu karya Armijn Pane.
Novel Belenggu berisi cerita tentang seorang pria bernama Tono yang memiliki seorang istri bernama Tini. Kehidupan pernikahan mereka berdua tidak berjalan lancar karena mereka berdua memiliki pandangan yang berbeda. Si Tono yang ingin istrinya menuruti perintahnya, sedangkan si Tini yang tidak ingin terkekang oleh suaminya. Dikarenakan perbedaan tersebut, Tono mencari tempat “nyaman” yang hal itu jatuh kepada Rohayah. Kenyamanan yang didapatkan Tono itu pada akhirnya tidak bisa bertahan selamanya. Dengan demikian, di dalam artikel ini akan dibedah lebih lanjut mengenai bentuk patriarki dalam novel Belenggu karya Armijn Pane melalui pendekatan patriarki Walby.
Patriarki dalam Seksualitas yang Berupa Posisi Perempuan yang Dianggap sebagai Pemberi Layanan Seksual dan Pemberi Layanan Emosional atau Penyedia Kasih Sayang Penuh.
“Dia tiada menunggu jawab dokter Sukartono, dengan segera ditanggalkannya. Sesudah disangkutkannya baju itu dia kembali, lalu berlutut dihadapan Sukartono, terus ditanggalkannya sepatunya, dipasangkannya sandal yang diambilnya dari bawah kerosi Sukartono.” (Armijn Pane, 1988: 34 & 35)
“Kartono merasa seolah-olah sudah tercapai cita-citanya, merasa bahagia di dalam hatinya karena dipelihara demikian. Yang demikian sudah lama dinanti-nantinya.” (Armijn Pane, 1988: 35)
Di atas terdapat dua kutipan. Pada kutipan pertama menunjukkan bahwa Rohayah melayani penuh Sukartono. Dilanjutkan dengan kutipan kedua yang menunjukkan bahwa Sukartono senang dengan perbuatan Rohayah tersebut dan merasa mendapat kasih sayang serta emosinya terpenuhi yang hal itu tidak didapatkannya di Tini. Hal tersebut menunjukkan bahwa Sukartono sangat berpegang teguh dengan prinsip bahwa seorang istri harus melayani penuh suaminya sesuai dengan ego suaminya dan itu merupakan salah satu bentuk patriarki menurut pendekatan patriarki Walby.
Patriarki dalam Budaya, yang Berupa Tuntutan Feminin Ideal bagi Perempuan dalam Keluarga, Pendidikan, Agama, maupun Media Massa.
“Kalau di mata kami, tidak baik kalau seorang istri banyak-banyak keluar malam, tidak ditemani suaminya!” (Armijn Pane, 1988: 57)
“Bukankah lakiku juga pergi sendirian? Mengapa aku tiada boleh? Apakah bedanya?” (Armijn Pane, 1988: 57)
Di atas terdapat dua kutipan. Pada kutipan pertama menunjukkan bahwa Tini dinasihati oleh temannya agar dia jangan pergi sendirian malam-malam. Dilanjutkan dengan kutipan kedua yang menunjukkan bahwa Tini tidak setuju dengan nasihat yang diberikan kepadanya dengan alasan suaminya juga pergi sendirian malam-malam dan itu tidak adil jika hanya perempuan yang dilarang keluar sendirian malam-malam. Dengan demikian kedua kutipan tersebut menunjukkan bahwa terdapat bentuk patriarki berupa tuntutan budaya masyarakat kepada perempuan yang tidak adil dan tidak menguntungkan kaum perempuan serta kaum pria tidak dirugikan dari tuntutan budaya masyarakat tersebut.
Simpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat dua bentuk patriarki dalam novel “Belenggu” karya Armijn Pane. Bentuk patriarki yang ditampilkan dalam novel tersebut sangat tidak menguntungkan untuk kaum perempuan karena dengan adanya hal tersebut para perempuan menjadi dikekang dan tidak bebas dalam hal apapun. Dengan demikian patriarki tidak membawa manfaat apapun dan hanya membawa banyak kerugian dengan satu pihak saja yang dirugikan yaitu pihak perempuan.
Daftar Pustaka
Pane, Armijn. 1988. Belenggu. Jakarta: P.T. Dian Rakyat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
