Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image

Saat Dunia Nyaring, Siapa Mendengar yang Sunyi?

Info Terkini | 2025-05-23 09:50:38

“Saat Dunia Nyaring, Siapa Mendengar yang Sunyi?”

Di zaman ini, dunia seolah tak pernah benar-benar hening. Suara datang dari segala arah—dari layar ponsel yang tak pernah padam, dari status media sosial yang terus bergulir, dari konten yang silih berganti memenuhi linimasa. Setiap orang seolah berlomba menjadi yang paling keras bersuara, agar tidak tenggelam dalam arus deras informasi yang nyaris tak berujung.

Namun di tengah kegaduhan itu, kita terlupa: tidak semua orang punya pengeras suara. Banyak yang memilih diam—bukan karena tak punya cerita, tapi karena tak tahu kepada siapa harus bercerita. Banyak yang tak terdengar, bukan karena tidak penting, melainkan karena tidak dianggap penting.

Mereka yang Tak Terlihat

Siapa yang mendengar anak-anak berkebutuhan khusus yang tidak punya guru pendamping di sekolah? Siapa yang memperhatikan suara ibu rumah tangga korban kekerasan domestik yang diam karena takut dipersalahkan? Siapa yang mewakili para lansia yang hidup sendiri di pelosok desa, yang bahkan untuk mengeluh pun tidak tahu harus ke mana?

Mereka adalah wajah-wajah sunyi di negeri ini. Mereka hadir, namun kerap tak dianggap ada. Dalam ruang-ruang kebijakan, suara mereka hampir tak pernah diperhitungkan. Dalam pemberitaan, mereka muncul hanya saat menjadi korban, bukan sebagai manusia yang layak dihargai haknya.

Ketika kita bicara soal pembangunan, teknologi, dan kemajuan bangsa, kita jarang membicarakan siapa saja yang tertinggal. Padahal, sebuah bangsa tidak hanya diukur dari kecepatan pertumbuhannya, tetapi dari sejauh mana ia bisa merangkul yang paling lemah.

Media dan Pilihan Sorotan

Media masa punya kekuatan untuk membuat yang tak terlihat menjadi terlihat. Tapi di era rating dan clickbait, fokus utama justru kerap tertuju pada sensasi, konflik, atau selebritas. Isu-isu kemanusiaan kerap dikalahkan oleh kontroversi selebriti, dan derita masyarakat kecil sering tak cukup 'menjual' untuk dijadikan headline.

Padahal, dalam sebuah wawancara diam-diam dengan seorang relawan sosial di daerah bencana, ia pernah berkata, "Kami tidak butuh simpati satu hari yang viral. Kami butuh perhatian yang konsisten." Kalimat sederhana itu menggambarkan betapa suara-suara sunyi kerap hanya menjadi latar dari narasi besar yang sedang tren, bukan bagian utama dari cerita yang berhak mereka miliki.

Tanggung Jawab Kita Semua

Mendengarkan suara yang sunyi bukan hanya tugas media atau pemerintah. Ini adalah tanggung jawab kita bersama. Mendengar berarti memberi ruang. Bukan hanya mendengar untuk menjawab, tetapi mendengar untuk memahami.

Dalam dunia yang begitu cepat merespon suara-suara keras, dibutuhkan keberanian untuk berhenti sejenak dan menoleh ke arah yang tak banyak dilihat orang. Dibutuhkan hati yang cukup peka untuk menangkap tangis yang tak terdengar, dan mata yang cukup jernih untuk membaca luka yang tak terlihat.

Kita perlu lebih banyak jurnalis yang mau turun ke akar rumput, bukan hanya mengikuti arus berita utama. Kita butuh lebih banyak pembaca yang ingin tahu kisah di balik angka statistik. Kita perlu lebih banyak pemimpin yang berani bertanya: siapa yang belum saya dengar?

Menjadi Pendengan yang Aktif

Mari kita ubah cara kita menyimak dunia. Saat dunia makin nyaring, mari kita jadi pendengar bagi yang sunyi. Kita mulai dari hal kecil: mendengar cerita kakek-nenek kita, membuka ruang diskusi di sekolah untuk siswa yang merasa tersisih, memberi waktu untuk mendengar keluh kesah teman yang tertutup, atau bahkan hanya hadir secara utuh saat seseorang butuh bicara.

Karena dunia ini bukan hanya milik mereka yang lantang. Dunia juga milik mereka yang diam, yang tertindas, yang masih mencari ruang untuk bicara. Kita tidak bisa menyebut diri manusia seutuhnya jika kita hanya memilih mendengar yang nyaman.

Dan pada akhirnya, di tengah kebisingan dunia yang tak kunjung reda, pertanyaan yang harus terus kita ajukan adalah ini:

“Saat dunia nyaring, siapa yang benar-benar mendengar yang sunyi?”

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image