Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Zahra Nur rahma

Hamidah Melawan Patriarki: Sebuah Analisis Feminis

Sastra | 2025-05-22 08:42:16

Novel Kehilangan Mestika karya Hamidah merupakan salah satu karya sastra perempuan Indonesia yang merepresentasikan perjuangan perempuan dalam menghadapi sistem sosial patriarki yang membatasi ruang gerak dan pilihan hidup mereka. Melalui tokoh utama bernama Hamidah, pembaca diajak menyelami dinamika batin dan tantangan sosial yang dialami seorang perempuan muda yang berjuang untuk mendapatkan kebebasan berpikir, belajar, dan menentukan jalan hidupnya sendiri. Pendekatan feminisme yang dijelaskan oleh Burhan Nurgiyantoro dalam Teori Pengkajian Fiksi sangat relevan untuk menganalisis bagaimana ketidakadilan gender, ketimpangan relasi kuasa, serta konstruksi budaya yang mengekang perempuan direpresentasikan dalam novel ini. Berbagai kutipan dalam novel menunjukkan bahwa Hamidah tidak hanya menyuarakan kritik terhadap budaya patriarki, tetapi juga menawarkan pandangan yang progresif terhadap posisi dan peran perempuan di tengah masyarakat yang konservatif. Melalui pendekatan feminisme ala Burhan, analisis ini mengungkap bagaimana tokoh Hamidah menjadi simbol perlawanan terhadap struktur sosial yang tidak adil bagi perempuan.

"Bukankah lapangan mereka bekerja hanya di dalam rumah saja?" (Halaman 15)

Dalam kutipan tersebut perkataan yang dilontarkan oleh Paman Ridhan merupakan representasi jelas dari cara pandang patriarki yang telah mengakar dalam masyarakat. Kalimat tersebut tidak sekadar pernyataan biasa, melainkan mencerminkan ideologi yang membatasi perempuan hanya pada wilayah domestik, sebagaimana sering dikritisi dalam kajian feminisme. Menurut Burhan Nurgiyantoro, kajian feminisme dalam fiksi berfokus pada bagaimana tokoh perempuan diposisikan dalam cerita, baik secara peran, kedudukan sosial, maupun relasi kuasa. Dalam kutipan ini, Paman Ridhan secara tidak langsung mendefinisikan dan membatasi peran perempuan, seolah-olah tempat alami mereka hanyalah di dalam rumah—sebagai ibu, istri, atau pelayan rumah tangga. Pandangan ini menunjukkan bahwa perempuan tidak dianggap layak atau pantas untuk terlibat dalam dunia kerja, pendidikan, atau ruang publik.

"Gadis-gadis mesti dipingit, tak boleh kelihatan oleh orang yang bukan sekeluarga lebih-lebih oleh laki-laki." (Halaman 18)

Kalimat ini muncul dalam novel sebagai cerminan aturan yang mengekang perempuan di lingkungan masyarakat saat itu. Perempuan dianggap tidak boleh bebas bergaul, apalagi terlihat oleh laki-laki. Mereka harus dipingit atau dikurung di dalam rumah. Menurut Burhan Nurgiyantoro dalam buku Teori Pengkajian Fiksi, pendekatan feminisme dalam cerita fiksi dapat terlihat dari bagaimana perempuan digambarkan dalam cerita—apakah mereka bebas menentukan pilihan atau justru terikat oleh aturan sosial yang membatasi mereka.

Nah, dalam kutipan ini, Hamidah sebagai pengarang justru sedang mengkritik aturan tersebut. Dia menggambarkan bagaimana masyarakat saat itu menempatkan perempuan sebagai makhluk yang harus disembunyikan, tidak diberi kesempatan untuk berkembang, belajar, atau mandiri. Ini merupakan bentuk dari budaya patriarki, yaitu sistem yang lebih mengutamakan laki-laki dan membatasi peran perempuan. Tetapi, penting untuk dipahami bahwa Hamidah tidak setuju dengan pandangan seperti itu. Justru sebaliknya—dalam novel ini, Hamidah melalui tokohnya menunjukkan cita-cita untuk mengubah pandangan itu. Ia ingin agar perempuan bisa keluar dari pingitan, bebas berpendidikan, punya suara, dan bisa memilih jalan hidupnya sendiri. Dalam teori feminisme yang dijelaskan Burhan, ini adalah bentuk perlawanan terhadap sistem yang tidak adil bagi perempuan. Jadi, meskipun kutipan itu terdengar seperti mendukung budaya lama, sebenarnya Hamidah menggunakannya sebagai kritik sosial. Ia ingin menunjukkan bahwa aturan itu ada, tetapi harus dilawan dan diubah.

"Karena rumah dan kebun kami dekat laut, boleh dikatakan hampir tiap-tiap minggu kami pergi ke situ sambil membawa makanan-makanan. Ini pun menjadikan cacian pula bagi kami, apalagi dilihat orang-orang itu kami laki-laki perempuan bercampur-gaul saja." (Halaman 19)

Kutipan ini menggambarkan bagaimana masyarakat sekitar memandang pergaulan antara laki-laki dan perempuan—bahkan dalam konteks keluarga—sebagai hal yang memalukan dan patut dicela. Perempuan dianggap tidak pantas untuk terlihat di tempat umum, apalagi bersama laki-laki, meskipun itu ayahnya sendiri. Menurut Burhan Nurgiyantoro, dalam pendekatan feminisme, kita perlu melihat bagaimana nilai-nilai sosial dan budaya membatasi peran serta kebebasan perempuan, dan bagaimana hal itu dikritik atau ditampilkan dalam karya fiksi. Dalam hal ini, novel Kehilangan Mestika menunjukkan bahwa masyarakat tempat tokoh-tokohnya tinggal sangat kental dengan pandangan patriarkal, yang memandang rendah perempuan yang tampil di ruang publik atau bergaul bebas, bahkan dengan keluarga sendiri. Padahal yang terjadi di kutipan itu sangat wajar—keluarga pergi bersama ke kebun dekat laut untuk rekreasi atau kerja ringan. Tapi karena ada perempuan yang ikut serta, langsung mendapat cap buruk dari masyarakat. Ini menunjukkan bahwa perempuan seolah-olah harus selalu tersembunyi, tidak boleh tampil, dan hanya “baik” kalau diam di rumah.

"Lagi pula mereka takut mendapat hinaan dari orang kampung kami membiarkan seorang gadis mencari nafkahnya di rantau orang." (Halaman 21)

Kutipan ini memperlihatkan bagaimana keluarga Hamidah—dan secara lebih luas, masyarakat tempat ia tinggal—takut menghadapi tekanan sosial hanya karena seorang perempuan ingin mandiri secara ekonomi. Dalam hal ini, Hamidah hendak bekerja di Palembang, tapi dicegah karena dianggap “tidak pantas” bagi seorang gadis merantau dan bekerja sendiri. Menurut Burhan Nurgiyantoro dalam Teori Pengkajian Fiksi, pendekatan feminisme dalam sastra berfokus pada cara-cara ketidakadilan terhadap perempuan ditampilkan, terutama dalam bentuk dominasi sosial, budaya, atau ekonomi yang menyebabkan perempuan tidak bebas menentukan jalan hidupnya.

Dalam kutipan ini, yang dipersoalkan bukan soal kemampuan Hamidah, tetapi karena dia perempuan. Ada standar ganda yang berlaku: laki-laki boleh merantau, mencari kerja, dan hidup bebas, tapi perempuan justru dianggap memalukan jika melakukan hal yang sama—padahal itu demi kebaikan dan masa depan dirinya sendiri. Masalahnya bukan karena Hamidah tidak mampu, tapi karena budaya patriarki memaksa perempuan untuk tetap bergantung, tetap berada dalam rumah, dan tidak mengejar kemandirian. Lebih dari itu, opini masyarakat luar justru menjadi alasan utama keluarga mengekang Hamidah, bukan alasan logis atau kasih sayang. Ini sangat menunjukkan bagaimana perempuan sering dikorbankan demi menjaga “nama baik” atau pandangan masyarakat—sesuatu yang sering dibahas dalam kritik feminis.

"Engkau tahu barangkali, bahwa perempuan muda atau seorang gadis amat banyak bahayanya." (Halaman 27)

Kutipan tersebut adalah ucapan Hamidah kepada Ridhan, dan walau di permukaan terdengar seperti bentuk kepasrahan terhadap pandangan umum, sebenarnya Hamidah sedang mengkritik secara halus bagaimana masyarakat memandang perempuan, terutama gadis muda, sebagai makhluk yang: penuh risiko, selalu menjadi sumber masalah, dan mudah “tercemar” kehormatannya jika berada di ruang publik.

Dalam teori feminisme yang dijelaskan Burhan Nurgiyantoro dalam Teori Pengkajian Fiksi, fokus feminisme adalah pada bagaimana tokoh perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya, dan bagaimana mereka menyikapi atau melawan sistem tersebut. Salah satu bentuk penindasan yang sering diangkat adalah konstruksi sosial yang membatasi perempuan dengan dalih "melindungi", padahal sebenarnya mengontrol dan mengekang.

Dalam kutipan ini, ucapan Hamidah menunjukkan bahwa bahkan dirinya dibesarkan dengan ketakutan akan bahaya menjadi perempuan. Bahwa seorang gadis dianggap penuh risiko jika terlalu bebas, terlalu mandiri, atau terlalu vokal. Namun, novel menunjukkan bahwa Hamidah bukan tokoh yang pasrah, melainkan justru mengkritik sistem itu dari dalam. Di satu sisi ia sadar akan konstruksi sosial yang melekat padanya sebagai perempuan, tapi di sisi lain ia juga ingin melawan dan membuktikan bahwa perempuan tidak serapuh itu.

"Apakah masakan ini, rasanya tak karuan saja. Inikah yang dapat kaupelajari di sekolahmu dahulu? Kalau begitu kami yang tak pernah menjejak bangku sekolah ini lebih pandai dari engkau dalam hal masak-memasak." (Halaman 65)

Perkataan Bibi Idrus ini sebenarnya terlihat seperti sindiran biasa soal masakan. Tapi kalau kita lihat lebih dalam, ucapan itu menunjukkan bagaimana perempuan masih diukur berdasarkan kemampuannya di dapur, bukan dari pendidikannya atau pikirannya. Dalam teori feminisme menurut Burhan Nurgiyantoro, salah satu hal yang dikritik adalah cara pandang masyarakat yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dibanding laki-laki. Termasuk ketika perempuan dianggap tidak “berhasil” kalau tidak bisa masak, walaupun ia sudah sekolah tinggi-tinggi.

Ucapan itu juga menyampaikan pesan bahwa sekolah dianggap tidak memberi manfaat kalau tidak menjadikan perempuan seperti “istri ideal”. Ini jelas bertentangan dengan pemikiran feminis, karena feminisme percaya bahwa pendidikan adalah alat penting bagi perempuan untuk berkembang, berpikir kritis, dan hidup mandiri. Hamidah adalah contoh perempuan yang ingin keluar dari batasan lama, tapi lingkungannya tidak selalu mendukung. Bahkan keluarganya sendiri—seperti Bibi Idrus—masih memandang rendah pendidikan perempuan.

"Ya, bagi perempuan hanya perkawinan saja yang memberi mereka kemerdekaan. Kemerdekaan bekerja, kemerdekaan berpikir!" (Halaman 80)

Perkataan Hamidah ini sebenarnya terdengar menyedihkan. Dia mengatakan bahwa satu-satunya jalan agar perempuan bisa bebas bekerja dan berpikir adalah lewat pernikahan. Ini bukan karena pernikahan itu sendiri adalah kebebasan, tapi karena aturan sosial saat itu terlalu membatasi perempuan yang belum menikah. Hamidah, yang pintar dan ingin mandiri, tidak bisa leluasa menjalani hidupnya sendiri sebelum dia menikah. Ia hanya akan dianggap “sah” untuk bekerja dan memiliki pendapat jika sudah punya suami. Artinya, masyarakat tidak menganggap perempuan bisa berdiri sendiri tanpa payung laki-laki.

Ini adalah cermin dari sistem patriarki, di mana perempuan harus bergantung pada laki-laki—baik itu ayah, saudara laki-laki, atau suami—untuk bisa hidup bebas. Dalam masyarakat seperti itu, perempuan tidak punya ruang untuk menjadi dirinya sendiri, kecuali jika sudah “disahkan” oleh pernikahan. Dalam Teori Pengkajian Fiksi, Burhan menjelaskan bahwa salah satu fokus feminisme adalah melihat bagaimana sistem sosial membuat perempuan tidak bebas, dan bagaimana karakter perempuan dalam karya sastra menghadapi atau melawan hal itu. Hamidah adalah tokoh perempuan yang sadar akan ketidakadilannya. Dia tahu bahwa sebagai perempuan, dia tidak bisa bekerja atau berpikir bebas tanpa status sebagai istri. Tapi di sisi lain, pernyataan ini juga mengandung sindiran terhadap sistem yang membuat perempuan harus menikah dulu untuk bisa "dianggap layak". Ini adalah kritik terhadap struktur sosial, bukan pujian terhadap pernikahan itu sendiri.

"Untung saja halku tak serupa dengan keadaan saudara-saudara di negeri kelahiranku, yang dari umur dua belas tahun, kadang-kadang juga kurang dari situ, disimpan oleh ahli masing-masing di antara empat dinding. Sekali-sekali mereka itu kelihatan dari jendela atau pintu, dan kalau perbuatan mereka itu kelihatan kepada orang lain, terus mereka mendapat gelaran 'kain jendela' atau 'kain pintu'. Mereka terpaksa menunggu, sampai pada suatu ketika seorang suami diturunkan Tuhan untuk kawan menjalani jalan kehidupan baru yang memberi kelonggaran sedikit." (Halaman 80)

Hamidah dalam kutipan ini sedang membandingkan nasibnya dengan perempuan lain di kampung halamannya. Ia merasa sedikit beruntung karena tidak mengalami nasib seperti para gadis lain yang "dikurung" sejak kecil. Perempuan-perempuan di kampungnya tidak punya kebebasan bergerak, bahkan untuk sekadar terlihat di luar rumah. Mereka hanya bisa duduk di balik jendela, dan kalau terlihat oleh orang asing, langsung diberi cap buruk seperti 'kain jendela' atau 'kain pintu'—istilah kasar untuk menggambarkan perempuan yang “tidak tahu malu” hanya karena terlihat oleh orang luar. Ini menunjukkan betapa keras dan sempitnya cara masyarakat memandang perempuan. Perempuan dianggap aib bila keluar rumah, padahal laki-laki bebas ke mana saja. Bahkan mereka harus menunggu datangnya suami seumur hidup, karena barulah setelah menikah mereka boleh menjalani hidup “sedikit lebih bebas.” Tapi tetap saja, kebebasan itu datang bukan karena hak pribadi, melainkan karena peran suami.

Simpulan

Melalui novel Kehilangan Mestika, Hamidah tidak hanya menarasikan kisah seorang perempuan yang tertindas oleh aturan sosial, tetapi juga menggambarkan semangat perlawanan terhadap dominasi budaya patriarki yang mengakar kuat di masyarakat. Tokoh Hamidah menjadi representasi perempuan yang sadar akan ketidakadilannya dan berupaya keluar dari keterkungkungan peran tradisional. Berdasarkan pendekatan feminisme yang dikemukakan Burhan Nurgiyantoro, novel ini mengandung kritik tajam terhadap sistem sosial yang membatasi perempuan hanya pada ranah domestik, mengukur nilai mereka dari kemampuan mengurus rumah tangga, serta menuntut mereka untuk bergantung pada laki-laki. Melalui narasi yang kuat dan simbolik, Hamidah sebagai pengarang berhasil menyuarakan aspirasi emansipatoris perempuan—yakni hak untuk berpendidikan, bekerja, berpikir bebas, dan menentukan nasib sendiri tanpa dikendalikan oleh pandangan sempit masyarakat. Dengan demikian, Kehilangan Mestika merupakan karya yang layak dibaca dalam kerangka kajian feminisme karena menawarkan wacana kritis terhadap realitas sosial perempuan pada masanya.

DAFTAR PUSTAKA

 

  • Hamidah. (2011). Kehilangan Mestika. Jakarta: PT. Balai Pustaka (Persero).
  • Nurgiyantoro, Burhan. (2018). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image