Cerpen Anak Kebanggaan sebagai Kritik terhadap Orientasi Status dalam Masyarakat Pasca-Kolonial
Sastra | 2025-05-20 19:03:34Indonesia adalah negeri di mana gelar lebih penting daripada kabar. Mau anakmu nggak pernah pulang? Nggak masalah. Asal dia udah jadi dokter, kamu resmi naik kasta.
Dan di sinilah kisah Ompi bermula.
Cerpen Anak Kebanggaan karya A.A. Navis ini semacam tamparan halus (atau mungkin keras) buat kita semua terutama buat para orang tua yang sudah terlanjur mabuk kepayang pada status anak, juga buat anak-anak yang lupa alamat rumah.
Ketika Bangga Jadi Agama Baru
Ompi adalah bapak kampung yang hidupnya diisi satu hal saja, bangga sama anaknya, Indra Budiman, yang katanya jadi calon dokter di Jakarta. Saking bangganya, tiap hari dia ngumbar cerita soal Indra ke siapa pun yang lewat. Tukang pos? Diceritain. Tetangga? Wajib tahu. Ikan di sungai? Mungkin juga udah khatam kisah anak kebanggaan itu.
"Cepat-cepatlah kau jadi dokter, biar kita sumpal mulut mereka yang jahat itu." (Navis, 1956:17)
Kalimat itu ditulis Ompi dalam surat ke Indra. Tapi, ya itu, suratnya tidak pernah dibalas. Bahkan semua surat yang dikirim selama bertahun-tahun, akhirnya balik lagi ke rumah.
"Tetapi alangkah remuknya hati orang tua itu, karena ternyata pengantar surat itu cuma mengantarkan semua surat-suratnya yang dikembalikan." (Navis, 1956:21)
Tapi Ompi? Tetap keukeuh. Tetap yakin anaknya sukses. Ini bukan cinta. Ini fanatisme.
Tragedi Bernama Telegram
Klimaks cerpen ini datang lewat selembar telegram yang isinya: Indra Budiman, anak kebanggaan itu, meninggal dunia. Tapi Ompi malah mengira itu surat kelulusan.
“Tak usah dibacakan. Takkan sanggup aku mendengarnya. Aku akan mati lemas oleh kebahagiaan yang datang bergulung ini... Panggilkan dokter. Panggilkan.” (Navis, 1956:25)
Dan benar. Ia meninggal. Tapi bukan karena bahagia, melainkan karena gagal membedakan mana kenyataan dan mana khayalan.
"Telegram itu dibawa ke bibirnya. Diciumnya dengan mesra selama tangannya sampai terkulai dan matanya terbuka setelah kehilangan cahaya." (Navis, 1956:26)
Mati dengan senyum, dalam delusi bahwa anaknya jadi dokter. Padahal, jangankan pulang, balas surat aja tidak.
Kisah ini bukan cuma soal Ompi dan anaknya. Ini sindiran Navis buat masyarakat kita: yang masih lebih suka gelar ketimbang akhlak, status ketimbang sapaan. Lihat aja masyarakat kampung Ompi. Mereka tahu Indra tidak pernah pulang, tahu surat-surat tidak dibalas, tapi tetap memilih diam.
"Namun orang harus bagaimana mengatakannya, kalau orang tua itu tak hendak percaya. Malah ia memaki dan menuduh semua manusia iri hati akan kemajuan yang dicapai anaknya." (Navis, 1956:17)
Daripada dicap sirik, mending diem. Daripada ngasih tahu kenyataan, mending ikut pura-pura. Begitulah budaya kita: sok peka, tapi takut jujur.
Jadi, Apa Sebenarnya Anak Kebanggan itu?
Apakah anak kebanggaan itu yang jadi dokter, tapi lupa kirim kabar? Atau yang jadi buruh, tapi tiap bulan masih tanya kabar bapak-ibunya lewat WA?
Navis seolah mau bilang, kebanggaan yang dibangun di atas gelar tanpa kasih sayang, itu cuma kosong. Sama kayak rumah mewah tanpa penghuninya.
Kalau ada orang tua yang begitu bangga sama anaknya sampai mengabaikan realitas, cerpen ini patut dibacakan. Bukan buat menyindir, tapi buat menyadarkan, kadang yang kita banggakan itu bukan anak, tapi ego kita sendiri.
Dan buat anak-anak di luar sana, kirimlah kabar. Jangan tunggu telegram jadi alat komunikasi terakhir kalian.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
