Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhamad Fakhri Ardiansyah

Imitasi Kultural dalam Novel Salah Asuhan Karya Abdoel Moeis

Sastra | 2025-05-20 06:57:02

Perkembangan budaya popular sangat diminati banyak kalangan masyarakat di belahan dunia. Peminatan ini melebihi batas kultur budaya leluhur yang pada zamannya sangat melekat pada kehormatan adat istiadat. Hal ini menjadi imitasi kulutral sekelompok masyarakat terhadap budaya tradisi yang terus menghilang karena pengaruh datangnya budaya popular. Budaya popular juga sering dianggap sebagai proses imitasi budaya bebas, tidak ada aturan mendidik, dan dapat merusak pola pikir serta kebiasaan yang kontroverisal.

Dalam novel yang ditulis oleh Abdoel Moeis dengan judul Salah Asuhan, lewat tokoh Hanafi yang menjadi representasi bagaimana pengarang menampilkan kerumitan psikologis dan sosial yang terkurung dalam lingkaran kekuasaan kolonial dan terpengaruh budaya dari bangsa lain. Salah Asuhan tidak hanya sekedar novel yang menyampaikan kritik sosial, melainkan menjadi tonggak penting dalam sejarah sastra Indonesia karena menyoroti nilai nasionalisme, kehormatan harga diri dan kepribadian bangsa.

Potret mesin ketik yang menjadi tanda sosok Abdoel Moeis sebagai sastrawan nasional pertama, bersumber dari https://pin.it/388Iwacqj

Menurut Moeis (2010), novel ini juga dianggap membawa angin segar terhadap tema-tema roman yang pada saat itu banyak mengangkat isu konflik generasi, perjodohan paksa, dan problematika budaya tradisi. Permasalahan terhadap budaya popular inilah yang menjadi isu imitasi kultur pada tokoh Hanafi. Efek budaya barat yang membuat Hanafi kehilangan arah sampai menanggap dirinya tidak sederajat dengan sanak keluarga. Perilaku tersebut membuatnya merasa kehilangan rasa hormat terhadap tradisi budaya timur yang diwariskan oleh leluhurnya.

Kendati, Hanafi hanya mampu berbicara bahasa Belanda yang dipercaya akan mengangkat derajatnya lebih tinggi. Hanafi juga beranggapan bahwa bahasa pribumi merupakan bahasa kuno yang telah terlewatkan beberapa abad, bahkan disebut dengan bahasa mati. Menurutnya tidak seperti bahasa Belanda yang terkenal modern, sebagaimana yang dinyatakan dalam kutipan berikut:

"...Anak-anak itu tahu abc, pandai sedikit-sedikit berbahasa Belanda, disangka orang mereka sudah ada di puncak gunung kepandaian. Tapi pengetahuan umum, yang dikatakan orang Belanda alvemene ontvikkeling itu semua hanya didapat di HBS saja dan kalau lama bercampur gaul atau tinggal di rumah orang Belanda" (SA, halaman 32).

Kutipan tersebut menunjukan bagaimana kemampuan berbahasa Belanda yang dikuasai Hanafi hanya terbatas dan dianggap sebagai keahlian yang luar biasa, padahal kalau dilihat dari pandangan masyarakat barat itu merupakan hal yang sepele atau praktis dilakukan. Hal ini menunjukkan bagaimana masyarakat yang terjajah, baik secara sadar maupun tidak sadar, mengambil unsur-unsur budaya penjajah sebagai tanggapan terhadap dominasi, serta sebagai upaya untuk mendapatkan tempat dalam struktur budaya barat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image