Menggali Makna Kehilangan dan Harapan dalam Novel Kehilangan Mestika
Sastra | 2025-05-19 22:55:08
Novel Kehilangan Mestika mengangkat kisah perjuangan perempuan dalam menghadapi tekanan adat dan tradisi yang membelenggu kebebasan mereka. Lewat tokoh utama yaitu Hamidah, pembaca diajak menyelami makna kehilangan, bukan hanya dalam arti materi, tetapi juga kehilangan hak dan harapan. Namun, novel ini juga menampilkan sisi optimis, di mana harapan dan kekuatan jiwa perempuan menjadi sumber inspirasi untuk bangkit dan berubah.
- Makna Kehilangan dalam Novel
Dalam novel Kehilangan Mestika karya Fatimah Hasan Delais, kehilangan tidak hanya hadir sebagai peristiwa emosional, tetapi menjelma menjadi pengalaman hidup yang kompleks dan menyakitkan. Tokoh utama dalam kisah ini tidak hanya kehilangan sosok yang dicintainya, tetapi juga kehilangan lebih dalam, yaitu kehilangan hak untuk memilih, kehilangan kebebasan diri, dan kehilangan suara di tengah kuatnya cengkeraman adat. Hamidah, sebagai tokoh utama, menjadi simbol perempuan yang terjebak dalam sistem sosial yang tidak berpihak. Ia dihadapkan pada kenyataan bahwa keputusannya bukan miliknya sendiri. Cinta yang tulus harus dilepas, harapan akan kebebasan harus dikubur, dan hidupnya dijalani bukan karena pilihan, melainkan karena paksaan budaya.
Kehilangan dalam novel ini bukan semata-mata akhir dari sesuatu, melainkan proses panjang yang merenggut sedikit demi sedikit harapan, keyakinan, dan jati diri. Namun, dari kehilangan itulah muncul kesadaran bahwa ada ketimpangan yang harus dilawan, bahwa ada suara perempuan yang perlu didengar. Lewat narasi kehilangan yang pahit, Fatimah Hasan Delais menyuarakan realitas sosial perempuan masa itu. Kehilangan Mestika bukan hanya kisah duka, tetapi juga sebuah panggilan untuk melihat lebih dalam betapa adat dan tradisi bisa menjadi pedang bermata dua bagi perempuan, yaitu antara budaya dan luka batin yang tertinggal.
1. Kehilangan Hak dan Kebebasan Perempuan.
Fatimah Hasan Delais mengangkat potret nyata kehidupan perempuan yang hidup dalam cengkeraman adat dan norma sosial yang kaku. Melalui tokoh Hamidah, pembaca disuguhkan gambaran tentang bagaimana seorang perempuan perlahan kehilangan hak dan kebebasannya sebagai individu.
Hamidah bukanlah sekadar tokoh fiksi, melainkan representasi dari banyak perempuan yang suaranya dibungkam oleh sistem sosial yang lebih mengutamakan kehormatan keluarga dan aturan adat daripada kebahagiaan pribadi. Kehidupan Hamidah dipenuhi dengan tuntutan dan tekanan sosial yang membuatnya tidak memiliki ruang untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Ia tidak diberi hak untuk memilih pasangan hidup, tidak memiliki kebebasan untuk menyuarakan keinginannya. Dalam diamnya, Hamidah menyimpan perlawanan batin terhadap sistem yang mengekangnya namun realitas sosial saat itu membuatnya hanya bisa tunduk.
“Kebanyakan daripada adat yang diadatkan disangkakan mereka sebagian juga daripada syarat agama. Gadis-gadis mesti dipingit, tak boleh kelihatan oleh orang yang bukan sekeluarga lebih-lebih oleh laki-laki.” (Kehilangan Mestika, hal. 18)
“Pada permulaannya kami dikatakan orang perempuan “kafir”, sebab sudah berjalan ke sana kemari, tidak pula berselendang yang akan menutup kepala.” (Kehilangan Mestika, hal. 21)
Berdasarkan kutipan di atas tergambarkan bahwa kehilangan hak dan kebebasan yang dialami Hamidah adalah bentuk dari ketidakadilan yang mengakar dalam budaya patriarki dan sistem adat. Novel ini memperlihatkan bahwa perempuan sering kali menjadi korban dari sistem sosial yang tidak memberi ruang bagi mereka untuk tumbuh dan menentukan pilihan. Fatimah Hasan Delais, lewat kisah ini, secara halus namun tajam mengkritik realitas tersebut.
- Harapan sebagai Kekuatan Perubahan
Meski Kehilangan Mestika banyak menggambarkan penderitaan dan keterbatasan tokohnya dalam menghadapi tekanan adat, novel ini tidak sepenuhnya dipenuhi oleh kesuraman. Di balik kehilangan demi kehilangan yang dialami Hamidah, penulis menyelipkan satu hal yang menjadi inti kekuatan seorang perempuan, yaitu harapan. Harapan dalam novel ini hadir secara halus namun nyata sebagai bentuk keberanian yang tumbuh dalam diam, sebagai cahaya yang tetap menyala meski tertutup kabut tradisi.
Harapan menjadi benih perubahan yang perlahan tumbuh dalam diri Hamidah. Ia mungkin tidak langsung menantang sistem, tetapi keinginannya untuk merasakan hidup yang utuh sebagai perempuan sudah merupakan bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan yang membungkamnya. Dalam konteks ini, harapan bukanlah angan-angan kosong, melainkan kekuatan sunyi yang mampu menggerakkan seseorang untuk bertahan, berpikir, dan pada akhirnya berubah. Melalui harapan, Fatimah Hasan Delais menghadirkan pesan bahwa perubahan tidak selalu dimulai dengan teriakan, tetapi sering kali lahir dari kesadaran yang tenang dan tekad yang sederhana. Dalam Kehilangan Mestika, harapan menjadi simbol harapan kolektif bagi perempuan bahwa mereka punya hak, dan suatu hari, punya kuasa untuk mengubah takdir mereka sendiri.
1. Tokoh Perempuan sebagai Simbol Harapan
Dalam novel Kehilangan Mestika karya Fatimah Hasan Delais, tokoh perempuan tidak hanya hadir sebagai korban dari sistem sosial yang menindas, tetapi juga sebagai simbol harapan yang diam-diam tumbuh di tengah keterbatasan. Hamidah, sang tokoh utama, merepresentasikan sosok perempuan yang meski terbungkam oleh adat dan tekanan tradisi, tetap menyimpan kekuatan untuk bertahan dan berjuang akan kehidupan yang lebih adil. Keberadaan Hamidah di tengah tatanan masyarakat yang patriarkis menjadi cermin bahwa perubahan besar kerap dimulai dari kesadaran personal. Ia menjadi lambang harapan yang kuat bahwa perempuan juga bisa menjadi agen perubahan. Dengan menjadikan tokoh perempuan sebagai pusat cerita dan simbol harapan, Kehilangan Mestika menegaskan bahwa perempuan bukanlah tokoh lemah dalam kehidupan. Justru merekalah yang mampu menyimpan kekuatan paling kokoh dalam menghadapi kehilangan, keterbatasan, dan tekanan sosial yang tak berkesudahan.
2. Proses Perjuangan dan Pembebasan Diri
Novel Kehilangan Mestika karya Fatimah Hasan Delais merupakan potret tajam tentang pergulatan batin seorang perempuan yang hidup dalam tekanan adat dan tradisi yang kaku. Di balik judulnya yang menyiratkan duka, tersimpan sebuah proses panjang tentang perjuangan dan usaha pembebasan diri dari kungkungan sosial yang menindas. Mestika, tokoh utama dalam cerita ini, tidak serta-merta memberontak secara fisik, tetapi ia melalui perjalanan emosional yang dalam sebuah bentuk perjuangan sunyi yang sangat manusiawi. Perjuangan Hamidah dimulai ketika ia mulai mempertanyakan makna hidup yang ia jalani. Ia tidak langsung menolak adat, tetapi mulai menyadari bahwa hidupnya dikendalikan oleh orang lain, oleh aturan yang dibuat tanpa melibatkan suara dan keinginannya. Inilah bentuk awal dari proses pembebasan: lahirnya kesadaran diri. Dari situ, ia mulai memikirkan hak-haknya sebagai manusia, sebagai perempuan, sebagai individu yang semestinya punya ruang untuk memilih.
“Setelah kupikir, terkenanglah olehku, bahwa orang di negeriku boleh dihitung yang pandai membaca dan menulis. Sebab itu kutetapkan hatiku, akan mendirikan sebuah perguruan bagi anak-anak perempuan, untuk mengajar membaca, menulis, berhitung, bahasa Belanda sedikit-sedikit, begitu pula sekalian keperluan rumah tangga.” (Kehilangan Mestika, hal. 48)
“Adat inilah yang lebih dahulu diperangi. Inilah yang kucita-citakan. Aku ingin melihat saudara-saudaraku senegeri berkeadaan seperti saudara-saudaraku di tanah Jawa.” (Kehilangan Mestika, hal. 18)
Berdasarkan kutipan di atas Hamidah membuat suatu perkumpulan bagi perempuan yang menunjukkan awal dari perjuangan emansipasi perempuan dalam konteks lokal. Ia ingin memberdayakan kaumnya melalui pendidikan, tidak hanya dalam keterampilan domestik, tetapi juga dalam kemampuan dasar literasi untuk melawan adat, perjuangannya berlangsung dalam bentuk keberanian untuk memelihara harapan dan mempertahankan kehendaknya di tengah tekanan. Ia menolak menyerah pada takdir yang ditentukan orang lain, dan secara perlahan menunjukkan bahwa perempuan pun bisa memiliki sikap, bisa menentukan pilihan, bahkan jika harus berbeda dari kehendak masyarakat sekitarnya. Dengan demikian, kutipan ini menandai awal proses pembebasan diri dan sosial, serta mencerminkan semangat pencerahan dan harapan di tengah realitas ketertinggalan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
