Narasi Laki-laki, Tubuh Perempuan: Belenggu dan Kekuasaan yang Tak Terucap
Sastra | 2025-05-19 13:03:21Belenggu bukan sekadar novel tentang cinta segitiga. Ia adalah peta rumit dari kekuasaan yang tersembunyi di balik relasi sehari-hari: antara suami dan istri, antara masa lalu dan masa depan, antara laki-laki yang bersuara dan perempuan yang dijadikan objek. Novel ini menunjukkan bagaimana sistem patriarki tidak selalu muncul dalam bentuk kekerasan fisik atau ujaran misoginis, tetapi justru dalam cara bicara, cara berpikir, dan cara menceritakan.
Sukartono: Lelaki Baik yang Diam-diam Menghakimi
Sukartono digambarkan sebagai dokter yang berpendidikan, modern, dan tampak lembut. Tapi di balik ketenangan itu, ia menyimpan otoritas simbolik yang tak terbantahkan. Ia menilai perempuan dari standar yang dibuat oleh pikirannya sendiri, namun menolak introspeksi. Ia merasa tidak dipahami oleh istrinya, Sumartini—padahal justru ia yang tidak pernah berusaha memahami.
Lebih jauh, Sukartono adalah narasi utama dalam novel ini. Pembaca dibimbing untuk menyelami pikirannya, ikut merasa iba, bahkan memahami perselingkuhannya dengan Rohayah. Di sinilah letak jebakan patriarkinya: cerita dikendalikan oleh sudut pandang laki-laki, dan segala luka yang ditimbulkan menjadi seolah wajar karena lahir dari “kekecewaan batin”.
Ia mencintai Rohayah, tetapi tak pernah benar-benar menghormatinya. Ia menikahi Sumartini, tetapi tak pernah memberi ruang bagi pemikirannya. Sukartono bukan laki-laki jahat — tapi justru karena ia “baik-baik saja”, ia mewakili wajah patriarki yang paling berbahaya: yang diam, tak tampak, tapi mengendalikan segalanya.
Sumartini: Salah Karena Ingin Setara
Sumartini bukan istri yang lalai, bukan pula perempuan yang tak setia. Ia hanya tidak sesuai dengan citra istri ideal menurut Sukartono: istri yang diam, menurut, dan mengabdi. Sumartini punya gagasan, aktif dalam organisasi, dan ingin menjadi mitra sejajar. Tapi itu membuatnya dianggap “dingin”, “jauh”, bahkan “tidak seperti perempuan pada umumnya”.
Ketika rumah tangga retak, Sumartini tidak diberi panggung untuk membela diri. Ia menjadi tokoh bisu dalam cerita yang sebenarnya juga tentang dirinya. Dalam masyarakat patriarkal, perempuan sepertinya selalu salah: jika terlalu pasif, dianggap beban; jika terlalu aktif, dianggap menyingkirkan laki-laki.
Rohayah: Perempuan Berdosa yang Tak Punya Masa Depan
Rohayah adalah penyanyi keroncong dan mantan pelacur—dua status yang dalam masyarakat kolonial maupun pascakolonial sama-sama menjijikkan di mata moral publik. Ia mencintai Sukartono dengan tulus, berusaha berubah, dan ingin menebus masa lalu. Tapi sistem tidak mengizinkannya.
Yang menarik, Rohayah bukan hanya dihukum oleh masyarakat, tapi juga oleh narasi itu sendiri. Di akhir cerita, ia tetap gagal mendapatkan cinta dan pengakuan penuh. Ia tetap “yang berdosa”—tak peduli seberapa besar ia mencintai, seberapa keras ia berubah. Novel ini seolah berkata: “Sekali kau menyimpang, kau tak akan pernah diterima.”
Ini bukan hanya penghakiman karakter. Ini adalah bentuk disiplin patriarki terhadap tubuh dan masa lalu perempuan. Laki-laki boleh salah, bahkan berselingkuh, tapi tetap dianggap korban. Perempuan? Harus sempurna sejak awal, atau tidak akan pernah utuh kembali.
Belenggu yang Sebenarnya: Narasi Itu Sendiri
Yang paling perlu dikritisi dari Belenggu bukan hanya para tokohnya, tapi struktur naratifnya sendiri. Siapa yang berbicara? Siapa yang didengar? Siapa yang ditampilkan utuh, dan siapa yang dikisahkan sepihak?
Jawabannya: laki-laki.
Dengan cara ini, Belenggu bukan hanya kisah tentang cinta atau kegagalan rumah tangga. Ia adalah teks yang mengabadikan dominasi simbolik laki-laki — tidak lewat kekerasan, tetapi lewat kuasa atas cerita.
Dan selama yang bercerita adalah selalu laki-laki, maka perempuan akan terus menjadi tokoh dalam novel orang lain — bukan dalam novelnya sendiri.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
