Membangun Harapan di Tengah Reruntuhan Sekolah: Refleksi Hardiknas 2025
Agama | 2025-05-17 22:56:06
Dalam momentum Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), Presiden Republik Indonesia memperkenalkan sejumlah program besar yang bertujuan untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional. Program-program ini mencakup pembangunan dan perbaikan infrastruktur sekolah, yang ditujukan untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman bagi para siswa.
Presiden Prabowo, saat sambutan dalam peringatan Hardiknas di SD Negeri Cimahpar 5, Bogor, Jawa Barat, Jumat (2/5/2025), menyampaikan bahwa pemerintah telah menetapkan anggaran perbaikan sekolah hingga 17 triliun.walaupun juga disampaikan bahwa dana tersebut hanya bisa memperbaiki 11.000 sekolah dari total sekolah 330.000 di Indonesia. Prabowo juga menyampaikan bahwa beliau bersama jajaran menteri terus berpikir bagaimana mendapat dana tersebut, karena kekayaan Indonesia banyak yang mengalami kebocoran akibat korupsi. Pada akhirnya kekayaan tersebut tidak sampai di tangan rakyat. (tirto.id/2-05-2025)
Tak hanya itu, pemerintah juga memberikan perhatian khusus kepada para guru melalui berbagai bentuk bantuan, dengan harapan dapat meningkatkan kesejahteraan dan semangat mereka dalam menjalankan tugas mendidik. Resmi, di tahun 2025 ini pemerintah meluncurkan dana bantuan untuk guru yang belum meyelesaikan jenjang pendidikan S1 atau D4 dengan alokasi untuk 12000 guru Indonesia. Masing masing guru akan mendapatkan 3 juta persemester. (https://www.tempo.co/3/5/2025)
Program yang diluncurkan pemerintah ini, sebagai respon dari kondisi pendidikan di Indonesia, yang hingga kini masih dibayangi oleh tantangan besar yang menghambat kemajuan dan peningkatan mutu pendidikan. Banyak sekolah mengalami kerusakan atau tidak memenuhi standar kelayakan, dengan fasilitas seadanya yang tidak mendukung proses belajar-mengajar secara optimal. Di sisi lain, masalah kesejahteraan guru, terutama mereka yang berstatus honorer, masih sangat memprihatinkan karena penghasilan yang diterima tidak sebanding dengan beban tugas yang mereka emban. Kombinasi dari minimnya fasilitas dan rendahnya upah menciptakan lingkaran masalah yang terus berulang, menjauhkan dunia pendidikan dari kualitas ideal yang diharapkan.
Rendahnya alokasi anggaran untuk pendidikan, ditambah dengan praktik korupsi yang merajalela, memperburuk kondisi sektor pendidikan di Indonesia. Terbatasnya dana menyebabkan banyak sekolah berada dalam kondisi tidak layak, menghambat proses belajar yang seharusnya berlangsung dengan aman dan nyaman.
Para guru pun kerap kali diposisikan sebagai tenaga kerja dengan tanggung jawab besar namun dengan penghargaan yang minim, terutama bagi guru honorer yang hidup dalam ketidakpastian ekonomi. Situasi ini membentuk siklus negatif yang terus berlangsung, menjadikan pendidikan berkualitas sebagai hal yang semakin sulit dijangkau, dan mengancam masa depan generasi penerus bangsa.
Akar dari permasalahan ini bisa ditelusuri pada sistem kapitalisme yang mendominasi kebijakan publik, termasuk dalam bidang pendidikan. Dalam sistem ini, negara memiliki peran yang minim, sementara tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan sering dilimpahkan kepada sektor swasta. Ketika keuntungan menjadi prioritas, peningkatan mutu pendidikan kerap terabaikan. Negara hanya sekadar melengkapi kekurangan yang disediakan pihak swasta, sehingga sarana dan prasarana yang ada pun sering kali jauh dari kata memadai. Pendidikan dalam sistem kapitalis tidak lagi dilihat sebagai kebutuhan dasar rakyat yang harus dipenuhi negara, melainkan sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan, menciptakan ketimpangan dalam akses dan mutu pendidikan di tengah masyarakat. Untuk itu, diperlukan paradigma baru yang menjadikan pendidikan sebagai tanggung jawab utama negara, bukan sebagai beban yang dilimpahkan ke pasar.
Permasalahan anggaran semakin kompleks ketika berada dalam sistem ekonomi kapitalis, yang mengharuskan negara mencari utang demi memenuhi kebutuhan pembangunan, termasuk untuk pendidikan. Ketergantungan pada utang memperlemah kemampuan fiskal negara, sementara korupsi yang merajalela dalam sektor pendidikan semakin memperkecil peluang perbaikan.
Dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan sekolah dan peningkatan kualitas guru justru bocor di tangan oknum yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya, sekolah-sekolah di daerah terpencil dan kurang berkembang semakin tertinggal. Kondisi ini tidak hanya menghambat pemerataan pendidikan, tetapi juga mempertaruhkan masa depan anak-anak bangsa. Solusinya adalah memperbaiki tata kelola anggaran dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang tinggi, agar setiap anak mendapatkan hak atas pendidikan yang layak.
Islam Menjamin Pendidikan Gratis dan Berkualitas: Solusi Hakiki di Tengah Krisis Sistem Sekarang
Dalam Islam, seluruh pembiayaan pendidikan—mulai dari gaji guru hingga pembangunan sarana—sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara. Pendidikan disediakan secara gratis pada semua jenjang, karena negara diwajibkan menerapkan sistem pendidikan berbasis wahyu (Al-Qur’an dan Sunah) yang memuliakan ilmu dan menjadikannya kebutuhan vital bagi umat.
Negara dalam pandangan Islam tidak sekadar sebagai pengatur, melainkan pelaksana langsung tanggung jawab pendidikan. Rasulullah saw. dan para khalifah setelahnya menjadi teladan nyata dalam menjamin pembiayaan pendidikan, baik melalui baitulmal maupun kebijakan langsung seperti menggaji guru dari pemasukan negara (seperti jizyah dan kharaj). Selain itu, negara juga boleh menerima kontribusi masyarakat berupa wakaf, selama bersifat sukarela.
Pembiayaan pendidikan dalam Khilafah bersumber dari dua kategori: kepemilikan negara (fai, ganimah, jizyah, dsb.) dan kepemilikan umum (kekayaan alam, energi, hutan, dll.). Dengan sistem ini, negara tidak bergantung pada utang luar negeri, pajak rakyat yang mencekik, atau campur tangan swasta dalam penyelenggaraan pendidikan.
Sistem kekuasaan dalam Islam bersifat terpusat agar arah pendidikan satu visi, namun administrasinya sederhana, cepat, dan dipegang oleh orang berintegritas—berbanding terbalik dengan sistem otonomi kapitalistik yang kerap membuka celah korupsi.
Intinya, hanya melalui penerapan syariat Islam secara menyeluruh dalam sistem Khilafah, umat dapat memperoleh pendidikan yang adil, gratis, dan berkualitas. Berharap pada sistem kapitalisme sekuler hanya akan terus mengecewakan, karena tidak mampu memberikan solusi menyeluruh bagi umat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
