Pemulung Amal
Agama | 2025-05-16 16:06:37Lelaki tua itu memungut gelas plastik bekas minum dengan tongkat besi berkait lalu dimasukkannya ke keranjang rotan yang dipanggul di punggungnya. Aku menyeruput milkshake strawberry, diam-diam memperhatikan gerak-geriknya dari balik kaca jendela dalam gerai pizza menjelang Isya' usai buka puasa.
Ia mengusap peluh lalu duduk di trotoar seberang jalan setelah memungut sebotol teh masih bersisa separuh. Ia menelan ludah, dibuka tutupnya lalu ditenggak habis. Diseka mulut dan wajahnya yang lelah. Lalu seperti tersadar ada yang memperhatikan, ia mengangkat kepala dan balas menatap lurus ke arahku.
Dua detik kami bersitatap. Aku memalingkan wajah, buru-buru berdiri setelah meninggalkan tips di meja makan.
Entah mengapa aku merasa jengah. Bapak itu mungkin sepantar ayahku. Usai cuci tangan di wastafel, aku urung melangkah keluar, kembali ke antrian lalu memesan.
Lelaki itu sedikit terkejut ketika seorang pemuda kantoran berkemeja rapi dan bergaya trendy menyeberang jalan dan menghampirinya.
"Permisi, Bapak. Maaf, bapak puasa? Ini sekadar untuk berbuka, mohon diterima."
Ia terperangah menatapku. Sempat melirik ke karton pizza personal yang kusodorkan kepadanya, tampak ia menelan ludah sebelum lalu membuka suara.
"Terima kasih, Nak. Ini terlalu baik buat saya."
"Tidak apa, Pak. Makanlah, saya juga tadi sudah makan, sekadar berbagi rezeki, alhamdulillah."
Ragu-ragu, gemetar tangan tremornya menjulur perlahan dan menerima, tampak sepasang matanya berkaca-kaca.
"Terima kasih."
Cekatnya.
"Sama-sama. Boleh saya temani duduk di sini?"
Aku mengambil tempat di sebelahnya. Ia kikuk mengangguk, aku tersenyum.
"Silakan, Pak. Sambil dimakan."
Tidak lagi malu-malu, lapar menggugahnya untuk menyambar potongan roti berpasta bertabur cincang daging lezat dan lumuran keju yang tak pernah dinikmati kecuali hanya membayangkan saja tiap kali memulung lewat di depan gerai makanan khas Italia tersebut.
"Kalau boleh tahu, Bapak sudah lama memulung?"
"Dua... Belas tahun."
Nyaris tersedak ia sambil mengunyah menjawabku.
"Masya Allah! Maaf, bapak sudah berkeluarga?"
"Ya, ada, tapi di kampung."
"Bagaimana hasil dari memulung untuk menghidupi keluarga di sana?"
"Yah, lumayanlah Nak, alhamdulillah. Walau Bapak pontang-panting di sini, yang penting anak-anak bisa terus sekolah, walau kadang tidak mencukupi juga."
"Bapak tak ingin mencoba pekerjaan lain?"
"Saya ini orang bodoh, tak berpendidikan. Kerja sekarang harus punya ijazah, sekolah dan kuliah yang tinggi, baru bisa punya pekerjaan yang lumayan. Sementara saya juga tak punya keterampilan, akhirnya ya beginilah, bisa saya cuma ini..."
Aku mengangguk. Hening sesaat. Aku teringat ibuku yang menjadi penopang tunggal keluarga setelah ayahku tiada. Aku dulu pun bukan dari keluarga berada. Aku bahkan harus putus sekolah, agar adik-adikku bisa tetap lanjut belajar.
Menggantikan ayah di usia belia, aku sempat bekerja serabutan, apapun pernah coba aku kerjakan. Dari cuci piring di restoran, jadi ball boy di lapangan tenis, buruh bangunan, jualan penganan, sampai menjadi kernet dan naik pangkat menjadi sopir setelah mendapat SIM. Hingga nasib baik menuntunku dipekerjakan di sebuah perusahaan swasta. Awalnya sebagai cleaning service dan office boy, lalu karena kebaikan hati para karyawan aku diajari sedikit ilmu dasar komputer, jadilah teknisi dan operator control di kantor, hingga diangkat jadi pegawai tetap, alhamdulillah.
"Tapi menjadi pemulung mengajarkan saya banyak hal tentang kehidupan, Nak."
Lelaki itu membuka suara usai menghabiskan potong pizza kedua.
"Saya tertarik mendengarnya, Pak."
"Dulu saya sempat jadi supir truk, buruh kasar di pelabuhan juga pernah, di kampung coba bertani tapi gagal, makanya saya merantau meninggalkan anak istri, niat saya cuma satu, bismillah, nekad ingin mengubah nasib, berangkat ke ibukota. Sampai di Jakarta, saya kecopetan, akhirnya bertahan hidup di terminal Kampung Rambutan. Dari menyapu jalan sampai akhirnya memilih jadi pemulung, itu ada ceritanya."
"Bagaimana mulanya, Pak?"
"Gara-gara seorang pemulung meninggal kedinginan beringsut di emperan toko di suatu malam, saya dan satpam inisiatif mengurus jenazah dan mengantarkan pada keluarga untuk dimakamkan. Dari bincang dengan keluarganya, saya tertarik meneruskan kerja mendiang ayah mereka."
"Memang apa yang menarik dari memulung, yang mohon maaf, mungkin dapatnya tak beraturan dan tak seberapa?"
"Jangan salah. Kami pun ada organisasinya, Nak. Kami bekerjasama dengan dinas kebersihan, menyetor sampah untuk diolah dan didaur ulang, dikumpul di Bantar Gebang. Jadi meski tidak resmi, kami juga punya sedikit kebanggaan, bisa membantu pemerintah membersihkan jalan ibukota sehingga warga bisa berlalu lalang dan berdiam dengan nyaman."
"Pekerjaan yang mulia."
"Betul Nak, meski kerap dipandang sebelah mata, tapi buat Bapak tidak mengapa. Sebab di usia setua ini, bukan tumpukan harta lagi yang dicari, tetapi amal..."
Aku gantian tercekat, semakin tertarik.
"Kita ini sejatinya dalam hidup, apa sih yang dicari? Bukan menumpuk harta, lha wong tidak dibawa mati. Harta hanya sarana untuk memudahkan beramal. Amal itulah bekal yang bermanfaat dan menolong kita setelah meninggal dunia..."
Amal, ah, betapa kata itu terlalu mahal buatku.
Aku pernah kesusahan, aku tahu beratnya membanting tulang, karena itu selama ini dalam benakku terobsesi mengumpulkan harta, memiliki tabungan dan bisa berinvestasi untuk masa depan, agar aku dan keluargaku kelak tak perlu lagi jalani hidup dalam jerat pedih perih kemiskinan.
Dan kini, pemulung tua di sebelahku yang mungkin hidup lebih kesusahan dariku malah berbicara mengumpulkan amal.
"Manusia itu, Nak, tak lain semata hanya pemulung amal selama hidup di dunia..."
Pemulung amal?
"Kita mengais-ais amal baik, menyisihkan yang buruk, memilah dan memilih. Kitalah yang menentukan gerangan sampah mana yang baik diambil untuk didaur ulang dan mana yang tak baik langsung dibuang. Pengepul sampah hanya mau menerima yang baik, jangan salah, tak semua yang diangkut diterima, nanti pun masih dipilah. Karena itu pemulung terlatih dan terbiasa memilah dan memilih sampah mana yang dipungut, sebab percuma membawa sarat sampah jika kelak tak diterima, hanya jadi beban memberat di punggung. Begitupun amal buruk atau dosa-dosa kita, jika lebih berat timbangannya dari amal baik, maka celakalah kita di akhirat. Oleh sebab itu, menjadi pemulung sedikit banyak menjadi pengingat Bapak yang sudah lanjut usia, untuk selalu ingat, sebab kita tidak tahu, bisa cepat bisa lambat, tapi semua pasti menemui ajal dan wafat. Bapak sudah cukup meninggalkan bekal hidup untuk keluarga alhamdulillah dari hasil memulung, tinggal bekal mati atau hidup setelah mati yang harus diperbanyak dikumpulkan kini..."
Kami berdua termenung. Lamat-lamat adzan Isya' di kejauhan bergaung.
"Nah, sudah adzan. Hidup ini singkat, Nak. Hanya antara waktu adzan dan shalat. Ketika lahir kita diadzani, saat meninggal lalu dishalatkan. Sungguh amat singkat, bukan?"
Aku terpana sesaat. Malu hati, shalat Maghrib saja lewat!
"Terima kasih, Pak. Bapak telah membuka mata hati saya, melihat yang selama ini saya seolah dibutakan, bahwa ada hal yang lebih penting dari mengumpulkan pundi harta untuk hidup di dunia yang tak untuk selamanya, yakni mengumpulkan bekal pundi amal, yang seringkali terlupa, padahal amat butuh untuk hidup abadi dan sejati di akhirat nanti."
"Alhamdulillah, anak sudah berbaik hati memberi makan orang tua yang tak berarti ini, Bapak doakan semoga berkah hidupmu di dunia dan selamat sampai akhirat nanti."
"Aamiin aamiin aamiin yaa Rabbal 'aalamiin. Terima kasih Pak. Doa yang sama untuk Bapak, salam hormat saya untuk keluarga, semoga kita bisa bertemu kembali. Saya ijin pamit, mau shalat Isya' dan tarawih dulu. Saya tidak mau kalah dari Bapak, hehehe, memulung amal bekal akhirat dulu ah!"
"Alhamdulillah, berkah Ramadhan ya Nak."
"Alhamdulillah, sehat selalu ya Pak."
Aku menyalaminya dan senyuman lembut orang tua itu mengantar gegas langkahku menuju masjid terdekat.
Adzan disusul iqamat.
Saatnya tegakkan shalat...
Hayyaa 'alasshalaaah!
Hayyaa 'alal falaaaah!
Qod qomati shalatu
Qod qomati shalah!
Allahu akbar, Allahu akbar!
Laa ilaaha illaLlah...[]
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
