Awal Pencarian Manusia untuk Memahami Dunia Alam Bawah Sadar
Edukasi | 2025-05-15 23:16:28
Ketika orang-orang Mesir kuno memandang langit malam, mereka melihat bagian bawah tubuh Nut, dewi langit berbintang. Waktu memejamkan mata dan mulai bermimpi, mereka percaya bahwa mereka sedang berpindah ke dunia lain. Jadi mimpi diritualkan menjadi sebentuk penyembahan, cara untuk mengetahui apa yang ada pada masa depan, atau berkomunikasi dengan dewa-dewi selagi tidur. Orang-orang beriman berziarah ke kuil untuk bermimpi. Untuk mempersiapkan diri, mereka pergi ke tempat terpencil, dan berpuasa untuk membersihkan jiwa dan raga. Menggunakan pena dan secarik kain linen putih bersih, mereka menulis doa untuk dewa tertentu. Kain itu dibakar dengan harapan asap bakarannya membawa doa ke kahyangan. Orang Mesir terpukau dengan batas yang memisahkan kehidupan kita kala terjaga dan bermimpi, dan percaya bahwa mimpi punya realitas material. Bagaimana lagi caranya menjelaskan rincinya mimpi yang terasa nyata.
Ribuan tahun kemudian, seorang saintis di Italia abad ke-19 juga percaya bahwa pemikiran sadar dan bawah sadar benar-benar punya realitas material, bahwa mimpi adalah fenomena fisik yang dapat direkam. Dia menemukan cara untuk membuktikannya di tempat akalbudi patah dan mimpi hancur. Manicomio di Collegno di Torino, Italia, adalah biara megah yang dibangun pada abad ke-17, tapi kemudian menjadi rumah sakit jiwa pada 1850 dan kehilangan sebagian besar kemegahannya. Di sanalah Angelo Mosso melakukan percobaannya mengenai mimpi dan pemikiran.
Mosso, anak kelas pekerja, telah berusaha keras untuk menjadi saintis, terutama bekerja di bidang farmakologi dan fisiologi. Pada zaman ketika orang secara harfiah dipekerjakan sampai mati, tanpa perlindungan hukum, Mosso memandang sains sebagai cara memperbaiki kondisi ketenagakerjaan. Dia merancang dan membuat ergograf, atau "pencatat kelelahan", untuk mengukur apa akibat ketegangan terus-menerus ke jasmani dan rohani manusia. Dia percaya bahwa kelelahan adalah keadaan fisik dan emosional, bukan tanda kelemahan atau cacat sifat. Itulah cara tubuh kita menyuruh kita berhenti bekerja untuk menghindari cedera. Mosso berpikir bahwa kelelahan punya manfaat evolusioner, seperti rasa takut, dan dia menulis dua buku berpengaruh dengan judul singkat: La Fatica (Lelah) dan La Paura (Takut).
Untuk mendapatkan "hukum kelelahan" sains yang bisa dikuantifikasi, Mosso merancang alat yang dapat mencatat aliran darah di tubuh. Untuk mengujinya, dia meminta asistennya membuka baju dan berbaring di meja yang seimbang. Dia menempelkan sensor ke ibu jari kaki, tangan, dan dada asisten. Sensornya tersambung ke drum yang dibungkus kertas grafik dan berputar seperti kotak musik. Pena mencatat aliran darah seperti di elektrokardiogram (EKG) modern. Mosso telah menciptakan sfigmomanometer, atau alat pengukur tekanan darah.
Jika denyut jantung dapat dicatat, bagaimana dengan aktivitas otak, Mosso bertanya-tanya bagaimana dia dapat menjabarkan kerja halus otak yang berada di balik perlindungan tengkorak. Adakah cara melakukan itu tanpa mencelakakan subjek. Kemudian datang seorang pasien yang membantu Mosso menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Giovanni Thron jatuh dari tempat tinggi ketika baru berumur 18 bulan. Tengkoraknya pecah sehingga sebagiannya tak bisa direkatkan kembali. Akibat benturan ke kepalanya, dia mulai sering mengalami kejang-kejang epilepsi. Orangtuanya yang ketakutan atau tak kuat lagi meninggalkan dia di Manicomio di Turin ketika dia berumur lima tahun.
Ketika bertemu Giovanni enam tahun kemudian, Mosso menyadari bahwa cedera parah yang telah mengacaukan kehidupan Giovanni merupakan kesempatan medis langka. Si anak mengenakan topi kulit khusus yang menutupi bagian tengkoraknya yang bolong. Di balik topi itu Mosso menemukan pintu ke otak. Mosso merancang dan membuat mesin yang begitu sensitif sehingga dapat mencatat peredaran darah melalui otak. Namun Giovanni selalu gelisah kala terjaga, sehingga Mosso hanya dapat mempelajari Giovanni kalau Giovanni tidur. Giovanni harus tak bergerak agar Mosso bisa mencatat pertanda Giovanni sedang berpikir.
Mosso menunggu dengan sabar untuk melihat apakah alatnya bisa mencatat denyut otak seperti penemuannya terdahulu bisa mencatat denyut jantung. Lalu, seperti dia ceritakan kembali mengenai malam itu, Mosso sang saintis dan Mosso sang penyair menjadi satu. "Apakah mungkin mimpi datang untuk menghibur si bocah malam. Apakah wajah ibunya dan kenangan masa kecilnya berpendar terang dalam ingatannya, menerangi kegelapan ke-cerdasannya, dan membuat otaknya berdenyut dengan gembira. Ataukah itu hanya zat yang bergolak tanpa disadari, seperti pasang surut laut tak dikenal yang sunyi."
Pada malam musim dingin itu, alat Mosso belum dapat menjawab pertanyaannya, tapi memang bisa mencatat tanda mimpi Giovanni. Mosso telah menciptakan pencitraan syaraf (neuroimaging), dan menunjukkan "giliran malam" di otak. Dalam tidur pun otak aktif mengolah urusan kehidupan, membuat mimpi.
Mimpi pernah diyakini sebagai pesan dari dewa, lalu dijadikan obyek penelitian ilmiah. Dari langit Mesir hingga rumah sakit jiwa di Italia, manusia terus mencari makna dari dunia yang hanya muncul saat mata terpejam. Di balik tidur Giovanni, Mosso menemukan bahwa otak tetap berbicara dalam diam dan mungkin, mimpi adalah cara jiwa berbicara kepada dunia.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
