Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Study Rizal Lolombulan Kontu

Mazhab Ciputat dan Etika Intelektual di Era Buzzerokrasi

Agama | 2025-05-15 19:20:22

Di zaman ketika suara yang paling keras lebih didengar daripada argumen yang paling jernih, dan ketika tagar lebih berpengaruh ketimbang pemikiran mendalam, kita hidup dalam sebuah era yang pantas disebut: “buzzerokrasi”. Sebuah rezim opini, di mana kebenaran bukan lagi hasil pergulatan nalar, melainkan hasil kerja algoritma dan jaringan influencer bayaran. Kebenaran jadi fluida, bisa diputar, dijual, dan dikemas seperti produk iklan.

Dalam dunia seperti ini, apa peran intelektual? Apakah cukup menulis status kritis, lalu diam? Ataukah justru tenggelam menjadi bagian dari industri opini, menyewakan pengetahuan demi keuntungan politik sesaat?

Mazhab Ciputat, dengan akar pemikiran kritis yang panjang — dari Harun Nasution yang menggugat doktrinasi, Nurcholish Madjid yang membebaskan Islam dari kungkungan simbolisme, Azyumardi Azra yang membuka cakrawala keislaman global, hingga Mansur Faqih yang mempertemukan Islam dengan teori kritis, terutama terkait dengan keadilan sosial dan pemberdayaan kelompok marginal — telah memberi warisan penting: berpikir itu tanggung jawab moral, bukan sekadar keterampilan akademik.

Etika intelektual, dalam pandangan Mazhab Ciputat, bukan hanya soal menjaga independensi nalar, tetapi juga soal keberpihakan pada kejujuran, kemanusiaan, dan akal sehat publik. Ketika intelektual mulai bermain di dua kaki — menjadi akademisi di kampus, tetapi menjadi konsultan opini di belakang layar kekuasaan — maka publik tak lagi tahu mana ilmu, mana propaganda.

Di era buzzerokrasi, intelektual yang jujur akan terasa asing. Ia mungkin tidak viral, tidak punya jutaan pengikut, tapi keberadaannya penting: untuk mengingatkan bahwa tak semua harus ditundukkan oleh pasar. Bahwa tak semua kebenaran harus dijelaskan dalam 280 karakter. Dan bahwa berpikir kritis itu bukan soal gaya, melainkan komitmen terhadap peradaban.

Mazhab Ciputat menolak tunduk pada logika kebisingan. Ia lahir dari ruang-ruang diskusi yang sunyi, tapi bergizi. Ia tumbuh dari kegelisahan, bukan popularitas. Dan justru karena itu, ia punya daya tahan yang tak dimiliki oleh buzzer dan pendengung sesaat: keberanian untuk terus berpikir meski tak selalu disukai.

Di tengah derasnya arus informasi yang penuh manipulasi, Mazhab Ciputat memilih jalan sunyi: jalan etik. Ia tidak ikut lomba viral, tapi menanam benih kesadaran. Ia tidak berlomba mendulang like, tapi berupaya menjaga akal sehat sebagai fondasi kehidupan berbangsa.

Karena dalam sejarah, yang bertahan bukanlah yang paling nyaring — tapi yang paling jujur. (srlk)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image