Terjebak dalam Cinta Belenggu: Analisis Novel Armijn Pane
Sastra | 2025-05-15 16:05:37
Novel Belenggu karyab Armijn Pane tahun 1940 mempunyai sejarah yang menggemparkan. Ditolak oleh Balai Pustaka, ramai dipuji dan dicela, tetapi akhirnya tak urung menjadi salah satu roman klasik modern Indonesia yang mesti dibaca segala orang terpelajar di Indonesia.
Novel Belenggu karya Armijn Pane menceritakan kisah percintaan rumit antara pasangan suami istri yang berprofesi debagai dokter, yaitu Sukartini dan Sukartono. Kartini adalah wanita modern berpendidikan, sementa Sukartono adalah pria tradisional yang lebih mementingkan adat dan tradisi. Konflik muncul karena perbedaan pandangan mereka tentang kehidupan dan perkawinan. Ditambah dengan munculnya Siti Hayati sebaagi orang ketiga daalm pernikahan Sukartini dan Sukartono.
Kehidupan Kartini terasa terbelenggu oleh tuntutan adat dan peran istri yang tradisional, yang membuatnya merasa terkekang dan tidak bebas mengekspresikan dirinya. Dia merasa terhimpit antara keinginan untuk menjadi sosok modern dan tuntutan masyarakat terhadapnya. Sementara itu, Ayub, meskipun mencintai Kartini, gagal memahami keinginan Kartini untuk lebih merdeka dan berkembang. Ia lebih fokus pada kewajiban dan tanggung jawab sebagai suami, tanpa sepenuhnya memahami kebutuhan emosional dan intelektual istrinya.
Cerita ini menggambarkan pergulatan batin Kartini dalam menghadapi realita sosial dan budaya, serta kegagalan komunikasi dan pemahaman antara suami istri yang berujung pada ketidakbahagiaan. Novel ini juga menyoroti perbedaan generasi dan pandangan hidup yang seringkali menimbulkan konflik dalam sebuah perkawinan. Berikut beberapa kutipan dalam novel yang memperkuat pernyataan-pernyataan diatas:
- "Apa katanya tadi? Tentang perempuan sekarang? perempuan sekarng hendak sama haknya dengan kaum laki-laki. Apa yang hendak disamakan. Hak perempuan dalah mengurus anak suaminya, mengurus rumah tangga. Perempuan sekrang cuma minta hak saja pandai. Kalau suaminya pulang dari kerja, benar dia suka menyambutnya, tetapi ia lupa mengajak suaminya duduk, biar ditanggalkannya sepatu. Tak tahukan ia perempuan sekarang, kalau dia bersimpuh dihadapan suaminya akan menanggalkan suaminya, bukankah itu tanda kasih, tanda setia? apalagi hak perempuan, lain dari memberi hati pada laki laki?"(Armijn: 16)
- "Ah, laki-laki cintanya sebentar saja, kalau sudah menang, kalau perempuan sudah tunduk, hilanglah cintanya. Cintanya cuman terletak pada pekerjaan saja. Kaihnya sudah terbenam. " (Armijn: 64)
- "Ah laki-laki, kalau sudah dapat, tiada peduli lagi, kalau belum alngkah manis budinya, manis sapanya, mau dia meningglkan pelajarannya." (Armijn: 68)
- "Karena dialah..... kasih sayangnya membuat aku takut, bimbang, hatiku layu menjadi kusut didalam hatiku layu, menjadi kusut didalam hatiku bertambah hampa..... tidak ada yang dapat kuberikan padanya, lain dari pada pasir belaka, padang pasir, padang pasir tiada aksih sayang tempat bernaung, ..... pada hal itu dia perlu. Kasih sayang..... tidak ada apa-apa, padaku, aku kosong belaka......." (Armijn: 115-116)
Pada akhirnya, Belenggu menunjukkan betapa pentingnya kesetaraan, komunikasi yang terbuka, dan saling pengertian dalam sebuah hubungan, dan dampak dari pilihan-pilihan yang kita ambil dalam berhubungan dengan orang lain. Novel ini mengajak kita untuk merenungkan tentang arti kebebasan, keterikatan, dan kejujuran dalam menjalani hidup.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
