Otomatisasi Perpustakaan: Efisiensi atau Pengikisan Peran Pustakawan?
Teknologi | 2025-05-13 19:31:23Kemajuan teknologi yang kian cepat membawa perubahan signifikan dalam berbagai sektor, termasuk perpustakaan. Kini, layanan mandiri, katalog daring, sistem peminjaman otomatis, hingga chatbot informasi menjadi fitur standar di banyak perpustakaan modern. Di satu sisi, hal ini dipandang sebagai langkah efisiensi yaitu pengguna dapat mengakses informasi dengan cepat, kapan saja, tanpa bergantung pada kehadiran pustakawan. Namun di sisi lain, muncul pertanyaan penting, sejauh mana efisiensi ini membayangi atau bahkan mengikis peran pustakawan sebagai penjaga pengetahuan?
Pustakawan bukan sekadar petugas peminjaman buku. Mereka adalah kurator informasi, pendamping literasi, dan fasilitator pembelajaran kritis. Dalam perpustakaan yang ideal, pustakawan berperan aktif dalam membantu pengguna menavigasi informasi yang kompleks, memilah sumber yang kredibel, dan memahami konteks pengetahuan. Ketika otomatisasi menggantikan banyak interaksi ini, kita patut bertanya apakah peran manusia benar-benar bisa digantikan oleh sistem?
Teknologi memang menawarkan kecepatan dan kemudahan, tetapi ia juga membawa tantangan tersendiri. Sistem otomatis tidak selalu sensitif terhadap kebutuhan pengguna yang beragam, apalagi yang berasal dari latar belakang sosial dan pendidikan yang berbeda. Misalnya, mahasiswa tahun pertama yang belum terbiasa melakukan riset akademik tetap memerlukan bimbingan pustakawan untuk memahami cara kerja referensi ilmiah, bukan sekadar akses ke jurnal digital.Selain itu, otomatisasi sering kali dilihat sebagai solusi netral dan bebas nilai.
Padahal, sistem digital dibangun dengan asumsi dan bias tertentu, algoritma pencarian misalnya, memprioritaskan sumber berdasarkan parameter tertentu yang tidak selalu transparan. Tanpa kehadiran pustakawan yang memahami konteks dan mampu mengkritisi sistem, pengguna rentan terjebak dalam apa yang tampak sebagai "kemudahan", padahal sesungguhnya mempersempit cara pandang.Tak bisa disangkal bahwa perpustakaan harus beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Namun, perubahan ini seharusnya tidak berarti pengurangan fungsi pustakawan menjadi sekadar penjaga mesin atau teknisi sistem. Peran mereka justru semakin penting di tengah banjir informasi, ketika kemampuan memilah, menginterpretasi, dan mengajarkan literasi digital menjadi kebutuhan utama.Yang perlu dikritisi adalah arah kebijakan dan investasi dalam dunia perpustakaan. Apakah fokusnya hanya pada pengadaan perangkat dan sistem otomatis demi citra modern? Atau ada upaya serius untuk memperkuat kapasitas pustakawan agar mampu memanfaatkan teknologi secara kritis dan berpihak pada kebutuhan pengguna yang beragam?
Tanpa arah yang jelas, otomatisasi bisa menjadi alat efisiensi yang justru mereduksi nilai-nilai dasar perpustakaan.Maka, pertanyaan yang perlu terus diajukan bukan sekadar "teknologi apa yang bisa diterapkan di perpustakaan?", tetapi juga "untuk siapa dan oleh siapa teknologi itu digunakan?" Otomatisasi tidak netral. Ia bisa menjadi alat pembebasan, tapi juga alat penghapusan peran manusia yang krusial. Efisiensi bukan tujuan akhir, tetapi sarana untuk memperkuat layanan yang manusiawi dan bermakna.Di tengah euforia digital, mempertahankan peran pustakawan sebagai aktor sentral dalam perpustakaan bukanlah bentuk nostalgia. Sebaliknya, itu adalah upaya menjaga fungsi sosial perpustakaan sebagai ruang belajar kolektif, bukan sekadar terminal informasi cepat saji.Namun sayangnya, narasi dominan dalam pengembangan perpustakaan hari ini lebih sering mengarah pada estetika teknologi ruang futuristik, mesin peminjaman mandiri, atau aplikasi pintar ketimbang pada penguatan kapasitas pustakawan dan fungsi sosial perpustakaan itu sendiri. Banyak institusi pendidikan bahkan menjadikan otomatisasi sebagai tolak ukur "kemajuan", sambil secara perlahan memangkas tenaga pustakawan atas nama efisiensi anggaran. Ini bukan semata-mata persoalan teknologi, tetapi soal prioritas politik anggaran dan pemahaman yang sempit tentang apa arti sebuah perpustakaan.
Jika kita menelaah lebih jauh, tren ini tidak bisa dilepaskan dari model pengelolaan berbasis pasar yang mulai merasuk ke dalam institusi pendidikan dan budaya. Perpustakaan, yang dahulu menjadi ruang alternatif bagi akses pengetahuan yang setara, kini mulai diukur dengan logika produktivitas dan "return of investment". Dalam konteks ini, pustakawan yang tidak menghasilkan output kuantitatif dengan cepat seperti sistem digital yang mampu merekam data klik dan statistik penggunaan mulai dipandang sebagai beban, bukan sebagai fondasi.Ironisnya, otomatisasi yang seharusnya meringankan beban pustakawan justru sering digunakan sebagai alasan untuk menggantikan mereka. Padahal, dengan pendekatan yang lebih adil, teknologi seharusnya memperkuat kerja pustakawan, bukan menghapuskannya.
Misalnya, waktu yang dihemat dari tugas administratif rutin dapat dialihkan untuk kegiatan yang lebih bernilai seperti literasi informasi, pengembangan kurikulum literasi digital, atau pendampingan riset.Tantangan ini semakin mendesak di tengah realitas sosial Indonesia yang masih diwarnai ketimpangan akses pendidikan dan teknologi. Tidak semua pengguna perpustakaan terbiasa dengan sistem digital. Tidak semua orang nyaman dengan antarmuka mesin yang kaku. Dalam konteks seperti ini, kehadiran pustakawan sebagai jembatan antara teknologi dan pengguna menjadi sangat penting. Menyerahkan seluruh fungsi kepada sistem otomatis justru berisiko menciptakan keterasingan baru.
Kita juga perlu bertanya: siapa yang membangun dan mengendalikan sistem otomatis itu? Apakah perpustakaan mulai bergantung pada vendor teknologi yang lebih mengedepankan kepentingan komersial daripada akses terbuka dan kedaulatan informasi? Jika iya, maka otomatisasi tidak hanya berdampak pada peran pustakawan, tetapi juga pada prinsip dasar perpustakaan sebagai ruang publik yang otonom dan inklusif.Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi, tantangan terbesar bukan sekadar menyesuaikan diri dengan teknologi, tetapi bagaimana memastikan bahwa perubahan itu tidak mengorbankan dimensi manusiawi dari layanan perpustakaan.
Pustakawan bukan korban kemajuan, mereka seharusnya menjadi pengarah arah kemajuan itu sendiri. Tanpa suara mereka, otomatisasi hanya akan menjadi proyek teknokratik yang dingin dan jauh dari kebutuhan nyata masyarakat.Kini saatnya untuk mendesak pemangku kebijakan dan lembaga pendidikan agar tidak terjebak pada retorika "perpustakaan canggih", tetapi mulai merancang kebijakan jangka panjang yang berpihak pada penguatan ekosistem pengetahuan. Ini mencakup investasi dalam pelatihan pustakawan, kolaborasi antara manusia dan teknologi, serta pemulihan makna perpustakaan sebagai ruang belajar bersama bukan sekadar gudang data yang dilayani mesin.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
