Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Asrul Putra Bastari

Mengungkap Sisi Lain: Bagaimana Dongeng dan Sejarah Membentuk Pandangan Kita

Sejarah | 2025-05-12 10:01:59
*sejarah dipegang dan ditulis oleh sang pemenang

Sejak kecil, kita tumbuh bersama berbagai cerita rakyat, dongeng, dan catatan sejarah yang diwariskan turun-temurun. Dari ruang kelas, buku cerita anak-anak, hingga tayangan televisi. Narasi-narasi ini begitu melekat dan menjadi bagian dari pembentukan cara pandang kita terhadap dunia. Kita diajarkan untuk memihak pada si baik dan membenci si jahat, seolah kebaikan dan kejahatan hanya terbagi dua tanpa ruang abu-abu.

Kisah seperti Timun Mas, Malin Kundang, dan Bawang Merah Bawang Putih menjadi cerita wajib anak-anak, lengkap dengan pesan moral yang jelas. Demikian pula dalam sejarah, nama-nama seperti Herman Willem Daendels, Van den Bosch, atau tokoh kolonial lainnya, dimasukkan ke dalam daftar antagonis nasional tanpa ruang untuk dikaji lebih dalam. Kita tumbuh dengan narasi yang telah dikunci: bahwa yang satu pasti salah, dan yang lainnya pasti benar.

Namun, seiring berkembangnya wawasan dan kemampuan berpikir kritis, muncul satu pertanyaan penting: apakah semua kisah yang kita percayai itu benar? Atau jangan-jangan, ada bagian-bagian penting yang telah disembunyikan, disederhanakan, atau bahkan diputarbalikkan demi kepentingan ideologi, politik, atau pengaruh budaya.

Buto Ijo: Tokoh Antagonis yang Hanya Menagih Janji

Dongeng Timun Mas menjadi salah satu kisah anak-anak paling populer di Indonesia. Di dalamnya, Buto Ijo digambarkan sebagai raksasa menakutkan yang mengejar Timun Mas karena ingin memakannya. Namun, kalau kita tarik garis kisahnya dengan kritis, siapa sebenarnya yang berbuat salah? Buto Ijo hanya menagih janji yang sudah dibuat oleh seorang ibu yang berdoa memiliki anak. Ia tidak mencuri, tidak merampas, ia hanya ingin sesuatu yang telah disepakati.

Namun, narasi yang sampai ke anak-anak sejak kecil mengarahkan kita untuk membenci Buto Ijo tanpa pernah menelusuri alasannya. Kita tidak diajak memahami bahwa ia bisa saja juga memiliki sisi manusiawi seperti kekecewaan, amarah karena dikhianati, atau bahkan kesedihan karena dijebak. Dalam struktur kisah seperti ini, “yang tidak cantik, yang tidak manusia,” sering kali otomatis ditempatkan di sisi jahat.

Hal serupa juga terjadi dalam berbagai dongeng lain: Bawang Merah selalu jahat tanpa diberi alasan kenapa ia berperilaku demikian; Malin Kundang dikutuk tanpa ruang untuk menjelaskan alasannya meninggalkan ibunya. Semua cerita itu meninggalkan satu jejak yang menempel kuat: menutup ruang kritis dan empati terhadap tokoh yang dikalahkan.

Daendels dan Narasi Sejarah yang Dimenangkan

Hal yang sama terjadi dalam sejarah Indonesia. Nama Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda antara 1808–1811, selalu dikaitkan dengan pembangunan Jalan Raya Pos dari Anyer ke Panarukan yang penuh kerja paksa. Ia dianggap tokoh kolonial yang kejam, tidak manusiawi, dan tak berperikemanusiaan.

Namun, dari dokumen sejarah yang ada, Daendels diketahui memberikan upah bagi pekerja, meskipun banyak yang tidak sampai ke tangan mereka karena ulah pejabat lokal. Di balik citra otoriternya, Daendels juga membangun infrastruktur, rumah sakit militer, dan memperbaiki sistem hukum.

Lantas, mengapa sisi lain ini jarang masuk buku sejarah? Karena Indonesia pasca-kemerdekaan membutuhkan narasi hitam-putih: penjajah jahat, pribumi tertindas. Tidak ada ruang untuk menyelami kompleksitas zaman, struktur politik, atau konteks sosial saat itu. Sejarah akhirnya disederhanakan menjadi alat moral dan nasionalisme, bukan cermin pembelajaran.

Literasi yang Lemah, Narasi yang Tak Tergugat

Masalah utamanya terletak di literasi, bukan hanya kemampuan membaca, tapi kemampuan memahami, mengkritisi, dan menganalisis informasi secara mendalam. Masyarakat yang minim literasi kritis cenderung menerima kisah seperti Timun Mas atau sejarah seperti Daendels sebagai kebenaran absolut.

Dengan rendahnya literasi ini, generasi demi generasi diwarisi cerita yang memperkuat stereotip, menanamkan prasangka, dan melumpuhkan empati. Bisa jadi sifat-sifat yang kini melekat pada diri masyarakat, merupakan cerminan dari pemahaman tentang dongeng maupun sejarah yang kerap kita terima.

Menuju Sejarah dan Dongeng yang Adil

Merevisi kisah lama bukan berarti mengkhianati warisan budaya. Justru sebaliknya, kita menghargai warisan itu dengan menambahkan lapisan pemahaman, perspektif, dan keadilan. Dongeng bisa menjadi lebih manusiawi jika kita berani menuliskannya kembali. Sejarah bisa menjadi lebih mendidik jika kita tidak takut mengakui bahwa beberapa “penjahat” mungkin tidak sejahat itu, dan beberapa “pahlawan” mungkin tidak sepenuhnya suci. Kita juga dapat belajar dari kesalahan-kesalahan di masa lalu agar hal demikian tidak terulang lagi di masa kini.

Kini, tugas kita bukan untuk membenci kisah lama, tapi menyaringnya. Bukan untuk merobohkan warisan, tapi merekonstruksinya agar lebih utuh, adil, dan membebaskan. Karena masa depan yang jujur hanya bisa dibangun dari masa lalu yang kita lihat dengan mata terbuka.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image