Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Bulqaini

Tradisionalisme dalam Novel Belenggu

Sastra | 2025-05-12 09:15:46
Sebuah pemandangan di jalan yang diabadikan dalam mobil, sumber: pribadi.

Nilai Tradisionalisme

Wanita harus menjamu suaminya

“Apa katanya tadi? Tentang perempuan sekarang? Perempuan sekarang hendak sama haknya dengan kaum laki-laki. Apa yang hendak disamakan. Hak perempuan ialah mengurus anak suaminya, mengurus rumah tangga. Perempuan sekarang cuma meminta hak saja pandai. Kalau suaminya pulang dari kerja, benar dia suka menyambutnya, tetapi ia lupa mengajak suaminya duduk, biar ditanggalkannya sepatunya. Tak tahukah perempuan sekarang, kalau dia bersimpuh dihadapan suaminya akan menanggalkan sepatunya, bukankah itu tanda kasih, tanda setia? Apa lagi hak perempuan, lain dari memberi hati pada laki-laki?” (hal 16-17)

Sukartono mengharapkan seorang istri yang menjalankan tugasnya seperti, memberi perhatian, kehangatan, dan layanan rumah tangga. Hal ini mencerminkan nilai tradisional yang membatasi perempuan pada peran sebagai ibu rumah tangga.

Wanita yang aktif dalam bermaasyarakat dianggap melanggar norma

“Pertanyaan yang tersimpul dalarn kata bujangnya itu terasa kepada dokter Sukartono. Ya, apa perlunya ditanya. Dalam beberapa minggu ini isterinya sudah biasa pergi, tidak meninggalkan pesan apa-apa. Kalau dia baru pulang, air mukanya, sikapnya seolah-olah menentang, menanti dokter Sukartono bertanya, dia kemana tadi, tetapi dokter Sukartono diam saja.” (hal 17-18)

Sukartono merasa terganggu karena Sumartini terlalu sibuk di luar rumah. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan mandiri yang aktif di masyarakat masih dianggap melanggar norma peran sebagai ibu rumah tangga.

Perempuan hanya dapat memikirkan pekerjaan rumah, tidak memikirkan hal-hal seperti pekerjaan dan organisasi

“Dia melirik, diperhatikannya juga akan tingkah laku Tini dengan diam-diam, dengan perhatiannya mengendap-endap jangan tampak oleh perhatian Tini. Dia senang berbuat demikian, karena ingin tahu apa yang tersembunyi dalam hati Tini. Dia hendak tahu bagaimana jadinya. Tini baginya menjadi suatu soal.” (hlm.70)

Wanita tidak bebas pergi keluar rumah

“Kalau di mata kami, tiada baik kalau seorang isteri banyak-banyak keluar malam, tidak ditemani suamiya”. (hlm. 57)

Dari kutipan tersebut dapat dilihat bahwa ketidakpatutan seorang wanita ketika keluar dari rumah tanpa pendampingan seorang suami. Istri dianggap harus selalu berada di bawah penawasan suami ketika keluar rumah, terutama pada malam hari. Kutipan tersebut memperjelas pembagian peran antara laki-laki dan Perempuan, di mana laki-laki berperan sebagai pelindung dan Perempuan dibatasi ruang geraknya.

“Tidak, paman, paman hendak membawa ilmu ke padang gaib. Paman hendak menyembah dukun, yang lakunya seolah-olah mempunyai kekuatan gaib, tapi siapa tahu dia pembohong atau bukan?” (hal. 127)

Kutipan ini menunjukkan adat kepercayaan yang sering dianut oleh masyarakat Jawa pada zaman dahulu.

Nilai Modernisme

Menentang ketidaksetaraan gender

“Bukankah lakiku juga pergi sendirian? Mengapa aku tidak boleh? Apakah bedanya?” (hlm. 57)

Tini memprotes pandangan suaminya yang menganggap bahwa wanita tidak patut keluar rumah malam-malam apalagi tanpa pengawasan seorang suami.

“. . . Engkau boleh keluar-keluar, mengapa aku tidak? Apa bedanya engkau dan aku? Mestikah aku diam-diam duduk menjadi nona penjaga telpon dekat-dekat telpon? Aku kawin bukan hendak menjadi budak suruh-suruhanmu menjaga telepon.” (hlm. 62)

Kutipan tersebut menggambarkan rasa kesal dan kecewa Tini karena merasa diperlakukan tidak adil oleh suaminya, Tono, yang bebas pergi, sementara ia harus tinggal di rumah hanya untuk menjaga telepon, dan Tini menghindari diskriminasi atau ketidaksetaraan gender sehingga mereka dapat mewujudkan potensi diri sepenuhnya.

“Benarkah kita perempuan, baru boleh dikatakan benar-benar cinta, kalau kesenangannya saja yang kita ingat, kalau kita tiada ingat akan diri kita, kalau kesukaan kita cuma memelihara dia? Bukankah kita ada juga kemauan kita? Mestikah kita matikan kemauan kita itu?” (hlm. 71)

Kutipan tersebut mencerminkan bahwa Tini merasa bingung, apakah benar cinta yang sesungguhnya mengharuskan perempuan untuk hanya memikirkan kebahagiaan suami dan menempatkan kebutuhan serta keinginan pribadinya di belakang? Ia merasa ada yang salah ketika perempuan seolah-olah harus mengorbankan segalanya, bahkan dirinya sendiri, hanya untuk membahagiakan orang lain.

"Lagu piano dan biola mulai bergetar. tono menutup matanya. dibuka mata semangatnya nampak oleh jari-jari Tini, diturutinya dengan angan-angannya tiap-tiap jarinya dari tuts satu ke tuts satu lagi, sambil diangan-angankannya dia turut pula menggesek biola." (hlm. 87)

Kutipan ini mencerminkan nilai modernisme karena menggambarkan pengalaman yang sangat pribadi dan imajinatif. Tono tidak sekadar mendengar musik, tapi ia benar-benar larut, memejamkan mata, membayangkan gerak jari Tini di atas tuts piano, bahkan seolah ikut menggesek biola dalam pikirannya. Ini menunjukkan adanya kebebasan berpikir dan ekspresi diri, sesuatu yang sangat identik dengan semangat modernisme.

KESIMPULAN

Makalah ini mengkaji novel Belenggu karya Armijn Pane dengan pendekatan intrinsik dan teori oposisi binner, yang di mana mengungkapkan bahwa novel ini bukan sekadar kisah cinta segitiga, melainkan cerminan pertentangan antara nilai-nilai tradisional dan modern dalam masyarakat Indonesia era 1940-an. Melalui tokoh-tokohnya, diantaranya Sukartono, Sumartini, dan Rohayah. Novel ini menggambarkan konflik identitas, gender, dan peran sosial. Sukartono merepresentasikan sosok yang cenderung pada nilai tradisional, sedangkan Sumartini melambangkan perempuan modern yang memperjuangkan kesetaraan. Sebaliknya, Rohayah, meskipun dipandang negatif oleh masyarakat, justru tampil sebagai sosok yang lebih mampu memahami kebutuhan emosional. Dengan demikian, Belenggu berhasil menampilkan kompleksitas batin manusia serta konflik sosial budaya yang masih relevan hingga kini.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image