Saat Buruh Hanya Jadi Catatan Kaki ESG
CSR & TJSL | 2025-05-12 05:44:36Setiap 1 Mei, jalanan Indonesia kembali dipenuhi suara para pekerja yang menuntut upah layak, perlindungan kerja, dan kehidupan yang bermartabat. Di waktu yang sama, berbagai perusahaan merilis laporan keberlanjutan (Environmental, Social, and Governance/ESG) yang penuh pujian atas pencapaian sosial mereka. Namun, menurut laporan Fair Finance Guide Indonesia (2022), banyak perusahaan masih gagal menyajikan transparansi dan akuntabilitas dalam aspek perlindungan tenaga kerja. Suara buruh kerap tak tercermin — seolah mereka bukan bagian dari “S” dalam ESG.
Dalam bukunya Grow the Pie, ekonom Alex Edmans menyampaikan bahwa menciptakan nilai bersama seharusnya menjadi tujuan utama perusahaan. Ia menekankan bahwa perusahaan tidak perlu memilih antara keuntungan investor dan kesejahteraan pemangku kepentingan. Dalam kata-katanya: "The pie-growing mentality stresses that the pie is not fixed. By investing in stakeholders — employees, customers, the environment, and communities — companies don’t reduce investor returns. They increase the pie, ultimately benefiting both investors and stakeholders."
Dengan kata lain, ketika perusahaan berinvestasi pada kesejahteraan karyawan, keberlanjutan lingkungan, dan masyarakat sekitar, mereka justru memperbesar total nilai bisnis — bukan membaginya lebih tipis.
Edmans menguraikan sejumlah strategi konkret untuk membesarkan kue ini: meningkatkan kualitas pekerjaan dan keterampilan karyawan, menciptakan produk yang dibutuhkan masyarakat, membangun hubungan jangka panjang dengan komunitas, dan berinvestasi pada inovasi yang berdampak positif secara sosial dan lingkungan. Ini bukan sekadar filantropi, tetapi strategi bisnis jangka panjang yang memperkuat daya saing.
Sebaliknya, perusahaan yang hanya fokus pada margin jangka pendek justru berisiko gagal. Kisah Kodak menjadi contoh nyata: perusahaan ini menemukan kamera digital pertama, namun menolaknya karena dianggap mengancam bisnis film analognya. Keputusan mempertahankan status quo membuat Kodak kehilangan relevansi dan akhirnya bangkrut. Edmans menggunakan contoh ini untuk menegaskan bahwa mengabaikan inovasi dan keberlanjutan bisa menjadi keputusan fatal.
Di Indonesia, filosofi ini belum banyak diterapkan. Sebagian besar perusahaan masih memandang pekerja sebagai beban biaya, bukan mitra strategis. Kontradiksi ini tampak nyata dalam penerapan Undang-Undang Cipta Kerja. Dibungkus jargon peningkatan investasi dan produktivitas, regulasi ini justru mengikis sejumlah hak dasar pekerja. Upah minimum menjadi fleksibel dan tak lagi berbasis kebutuhan hidup layak. Sistem outsourcing diperluas, bahkan untuk pekerjaan inti. Status kerja pun makin rentan. Kritik terhadap UU ini telah disuarakan oleh serikat buruh, akademisi, dan bahkan Mahkamah Konstitusi. Contohnya, berdasarkan laporan Komnas HAM (2023), sejumlah buruh perempuan di sektor tekstil di Subang mengalami pemutusan hubungan kerja pasca alih status menjadi kontrak, tanpa perlindungan kesehatan dan jaminan sosial. Alih-alih meningkatkan produktivitas, fleksibilisasi kerja justru memperbesar kerentanan.
Padahal, dalam kerangka ESG yang dijalankan utuh, pekerja seharusnya menjadi indikator utama dalam dimensi sosial. Mereka bukan hanya pemangku kepentingan internal, tetapi cerminan komitmen perusahaan terhadap nilai kemanusiaan. Perhatian terhadap lingkungan penting, namun tidak boleh mengabaikan manusia yang menjadi tulang punggung operasional perusahaan.
Contoh konkret bisa dilihat di sektor transportasi berbasis aplikasi. Pengemudi ojek online disebut “mitra”, namun tanpa jaminan kerja, perlindungan sosial, atau kepastian pendapatan. Saat harga bahan bakar naik atau skema insentif berubah sepihak, beban justru dipikul para pengemudi. Ini bukan praktik membesarkan kue, tapi menyembunyikan manfaatnya hanya untuk satu sisi — perusahaan dan investornya.
Sebaliknya, untuk sungguh-sungguh membesarkan kue, perusahaan dapat mengambil langkah progresif. Misalnya, dengan menetapkan tarif dasar yang adil, memberi subsidi asuransi kesehatan dan kecelakaan, serta menyelenggarakan program literasi keuangan. Inisiatif ini memiliki potensi besar. Pengemudi yang melek finansial cenderung lebih stabil, mampu mengatur keuangan, dan tidak mudah terjebak utang konsumtif. Hasilnya: loyalitas meningkat, turnover menurun, dan reputasi perusahaan menguat.
Lebih jauh, ini membuka peluang transformasi bisnis. Perusahaan bisa menawarkan layanan keuangan berbasis ekosistem — seperti tabungan mikro, investasi berbasis platform, hingga dana pensiun — yang semuanya memberi manfaat ekonomi pada mitra sekaligus membuka aliran pendapatan baru. Ini menunjukkan bahwa ketika tujuan sosial menjadi strategi inti, profit justru bisa mengikuti. Sebaliknya, mengejar laba sambil mengabaikan nilai sosial justru menghasilkan relasi kerja rapuh, risiko reputasi tinggi, dan konflik yang merugikan.
Gagalnya sejumlah investasi asing di Indonesia juga menjadi pengingat penting. Apple batal membangun pabrik timah karena praktik pertambangan yang tak sesuai ESG. Bahkan BASF dan Eramet mengurungkan proyek smelter nikel senilai miliaran dolar karena pertimbangan keberlanjutan dan kondisi pasar. Ini menandakan bahwa tanpa kepastian regulasi dan komitmen ESG yang nyata, Indonesia bisa kehilangan investor berkualitas yang justru berorientasi pada nilai jangka panjang.
Sekali lagi, membesarkan kue berarti menciptakan pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan. Ini bukan soal bagi-bagi hasil di akhir, melainkan soal membangun pondasi yang lebih luas dan kuat sejak awal. Dengan memperbesar nilai bersama, perusahaan tidak sekadar menyalurkan keuntungan — mereka turut mengubah hidup para pemangku kepentingan menjadi lebih baik.
Hari Buruh seharusnya menjadi momentum evaluasi — bukan hanya bagi pemerintah, tetapi juga pelaku usaha. Apakah kita benar-benar menjadikan pekerja sebagai mitra strategis dalam menciptakan nilai? Ataukah kita masih terjebak dalam logika menekan biaya demi margin jangka pendek?
Jawaban terhadap pertanyaan ini tidak ada dalam laporan keberlanjutan. Ia hanya bisa ditemukan dalam praktik yang konsisten, dalam keputusan yang memperbesar bukan menyembunyikan kue, dan dalam keberanian untuk melihat bahwa bisnis bukan soal siapa yang menang paling cepat, tapi siapa yang tumbuh bersama paling lama. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil..." (QS Al-Baqarah: 188). Bisnis yang adil tidak hanya menguntungkan, tetapi juga mengangkat martabat manusia.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
