Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Umar Wachid B. Sudirjo

Teknologi dan Generasi yang Terjebak dalam Kehebatan Semu

Teknologi | 2025-05-11 10:34:59

Saya bukan tipe orang yang mudah berpindah dari satu versi ke versi lain hanya karena disebut “terbaru” atau “terbaik.” Bagi saya, memahami dan memaksimalkan versi yang ada jauh lebih penting ketimbang terus mengejar versi baru yang belum tentu benar-benar dibutuhkan. Dalam banyak hal, termasuk dalam menggunakan ChatGPT, saya meyakini bahwa yang terpenting bukanlah sejauh mana teknologi itu berkembang, melainkan seberapa dalam kita memahaminya dan memanfaatkannya secara bertanggung jawab.

Namun, saya melihat masyarakat kita — terutama di Indonesia — sangat mudah terpikat oleh kehebatan semu. Kita sering terjebak dalam ilusi kemajuan: merasa lebih modern hanya karena memegang teknologi baru, padahal tidak benar-benar tahu cara menggunakannya dengan bijak. Kita bangga membeli ponsel terbaru, tetapi hanya untuk membuka media sosial, bermain game, atau membaca novel digital yang bersifat hiburan semata.

Contoh kecil tapi nyata saya temukan di rumah sendiri. Istri saya menggunakan Android dengan spesifikasi tinggi, tapi hanya untuk membaca novel yang seirama dengan suasana hatinya, atau bermain game tanpa arah yang jelas. Ketika saya tawarkan alternatif, seperti menggunakan ChatGPT untuk menggali pengetahuan baru, ia menolak. Katanya, “Saya sudah tahu.” Entah memang benar tahu, atau hanya sok tahu. Tapi dari situ saya sadar, ini bukan hanya tentang teknologi — ini tentang kebiasaan, tentang cara berpikir yang enggan berubah.

Lebih mengejutkan lagi, anak saya yang masih pelajar justru menyalahgunakan ChatGPT untuk menjawab soal ujian. Tanpa berpikir panjang, ia menyalin jawaban secara mutlak dari AI. Ini bukan kemajuan. Ini adalah bentuk baru dari kemalasan, bahkan kebodohan yang tidak terasa. Ketika teknologi menggantikan proses berpikir, maka bukan kecerdasan yang lahir, melainkan ketergantungan yang mematikan daya nalar.

Inilah kegelisahan saya terhadap generasi muda. Saya tidak menyalahkan alatnya. Saya menyayangkan cara berpikir mereka — dan juga kita, para orang tua dan pendidik — yang terlalu permisif terhadap teknologi, tanpa panduan yang cukup. Kita membiarkan anak-anak menjelajah dunia digital tanpa kompas, lalu terkejut saat mereka tersesat.

Sudah saatnya kita berpikir lebih serius: bagaimana seharusnya teknologi seperti ChatGPT digunakan oleh pelajar? Saya percaya, sebelum menggunakan AI semacam ini, harus ada sistem pendaftaran yang benar dan terverifikasi. Jika seorang pelajar ingin mengakses ChatGPT, sistem harus tahu bahwa ia adalah pelajar — dan mampu menolak memberikan jawaban eksplisit terhadap soal ujian saat jam sekolah berlangsung. AI bukan sekadar mesin jawaban; ia harus diarahkan menjadi pemandu pembelajaran, bukan pengganti berpikir.

Harapan saya sederhana namun mendalam: generasi muda, terutama para pelajar, harus dibekali pemahaman yang cukup tentang teknologi — jenisnya, cara penggunaannya, dan manfaat nyatanya. Jangan biarkan mereka masuk ke hutan digital tanpa peta. Jangan pula orang tua merasa bangga karena sudah membelikan anaknya alat canggih, jika akhirnya justru kecewa karena alat itu disalahgunakan.

Marilah kita terus belajar. Menciptakan dari apa yang ada. Bukan diam, bukan hanya memakai — tapi mengendalikan. Sebab jika tidak, kita akan mati bukan karena zaman yang kejam, tapi karena kita sendiri yang tak mampu menyesuaikan diri dengan zamannya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image