Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Umar Wachid B. Sudirjo

Mengembalikan Arah Pendidikan Nasional: Dari Komersialisasi ke Integrasi Bermutu

Sekolah | 2025-05-09 21:46:25

Oleh: Umar Wachid B Sudirjo

Pendidikan di Indonesia telah berkembang pesat dalam hal jumlah lembaga, baik negeri maupun swasta. Data dari Kemendikbudristek pada 2023 mencatat lebih dari 300 ribu satuan pendidikan formal aktif di seluruh Indonesia, dengan sekitar 55% di antaranya merupakan lembaga swasta. Angka ini menunjukkan keterlibatan besar sektor non-negara dalam pendidikan, yang di satu sisi memperluas akses, namun di sisi lain menimbulkan tantangan dalam hal pemerataan mutu dan pengawasan.

Namun di balik pertumbuhan ini, tersembunyi kegelisahan kolektif tentang arah dan esensi pendidikan kita. Pendidikan yang seharusnya menjadi hak dan jalan bagi mencerdaskan kehidupan bangsa, kini juga menjadi lahan bisnis jangka panjang yang dikomodifikasi.
Atas nama "kualitas", banyak lembaga pendidikan mematok biaya tinggi tanpa ukuran mutu yang terstandar. Label "unggulan" dan "internasional" menjadi alat branding yang menjebak publik untuk membayar lebih mahal, padahal kurikulum dan hasil pembelajaran belum tentu sesuai harapan. Bahkan, yang lebih ironis, sistem pendidikan kita justru kehilangan keseragaman kurikulum sebagai alat pemersatu bangsa.

Kebebasan yang Tanpa Arah Kurikulum Merdeka hadir dengan semangat memberikan ruang kepada guru dan sekolah untuk menyesuaikan pembelajaran dengan kebutuhan murid. Namun kebebasan ini, tanpa pengawasan dan kerangka kontrol yang kuat, justru membuka peluang penyimpangan. Banyak guru kebingungan, sekolah hanya mengganti format dokumen, dan proses belajar tetap berjalan seperti biasa tanpa substansi baru. Murid menjadi korban dari eksperimen kebijakan yang belum matang.

Tanpa kerangka evaluasi dan standar nasional yang kuat, Kurikulum Merdeka berisiko menjadi kebijakan setengah matang. Dalam praktiknya, ia bukan mendekatkan pendidikan pada tujuan, melainkan menjauhkan dari arah yang pasti.

Tantangan Akses dan Kualitas di Daerah 3T Pendidikan di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T) masih menghadapi masalah mendasar: kurangnya tenaga pendidik, minimnya fasilitas, dan ketimpangan akses teknologi. Menurut laporan BPS 2022, lebih dari 17.000 desa belum memiliki akses ke jenjang SMA, dan sekitar 6 juta anak usia sekolah masih belum mendapatkan pendidikan yang layak. Kurikulum yang terlalu fleksibel justru semakin menyulitkan daerah-daerah ini yang butuh panduan baku dan dukungan terstruktur.

Solusi: Kurikulum Stabil dan Integrasi Lembaga Pendidikan Sebagai alternatif, kurikulum nasional semestinya disusun secara statis untuk jangka 5–10 tahun, berdasarkan proyeksi kebutuhan nasional. Kurikulum ini wajib dijalankan oleh seluruh lembaga pendidikan tanpa kecuali. Inovasi dapat tetap dilakukan, namun dialihkan melalui jalur ekstrakurikuler, bukan dengan mengubah kurikulum inti.

Selain itu, sistem pendidikan kita membutuhkan integrasi lembaga dari prasekolah hingga tingkat atas dalam satu atap. Artinya, satu lembaga wajib menyelenggarakan pendidikan berjenjang—dari PAUD, SD, SMP, hingga SMA/SMK. Dengan demikian, tidak akan ada lagi antrean dan rebutan kursi setiap kali siswa naik jenjang. Orientasi siswa yang sering kali seremonial bisa dihilangkan, dan biaya transisi sekolah dapat ditekan.

Model integratif ini akan menekan praktik jual beli kursi dan kecurangan dalam penerimaan peserta didik baru. Siswa akan memiliki jalur pendidikan berkesinambungan. Data akademik pun lebih mudah ditelusuri, dan karakter siswa bisa dibina dalam jangka panjang.

Mengatur Izin dan Menjaga Persaingan Sehat Pemerintah juga perlu membatasi bahkan menghentikan sementara pemberian izin pendirian lembaga pendidikan baru di daerah yang sudah jenuh. Izin hanya diberikan jika benar-benar ada kebutuhan berdasarkan jumlah penduduk dan pertumbuhannya. Langkah ini akan menjaga ekosistem pendidikan tetap sehat, mencegah pembukaan lembaga semata demi bisnis, serta memastikan keberlanjutan mutu.

Mengangkat Martabat Guru Dengan sistem sekolah menyatu, peran guru bisa lebih dimaksimalkan. Mereka tidak lagi berpindah-pindah jenjang atau terjebak dalam sistem kontrak yang tidak pasti. Efisiensi biaya operasional sekolah juga memungkinkan lembaga untuk lebih fokus meningkatkan kesejahteraan guru—dengan honor yang layak, pelatihan berkelanjutan, dan kepastian karier.

Menurut survei World Bank (2020), lebih dari 60% guru di Indonesia merasa tidak memiliki otonomi dalam mengembangkan pembelajaran, dan 40% lainnya mengalami kelelahan kerja karena beban administratif. Solusi struktural harus dimulai dari sistem lembaga itu sendiri.
Digitalisasi sebagai Pendukung, Bukan Pengganti Transformasi digital di dunia pendidikan harus menjadi alat bantu, bukan pengganti proses tatap muka.

Banyak siswa di daerah pelosok belum memiliki akses internet stabil. Oleh karena itu, pengembangan konten daring harus disertai distribusi sarana penunjang seperti perangkat, pelatihan guru, dan pengawasan konten agar tetap sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan.
Pendidikan adalah Urusan Bangsa, Bukan Komoditas Pasar Sudah saatnya pemerintah bersama rakyat mengembalikan fungsi pendidikan sebagai sarana mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan sebagai ladang usaha. Lembaga pendidikan harus tunduk pada regulasi, tidak lagi merasa paling unggul, dan harus memastikan tidak ada kesenjangan akibat branding semu. Pendidikan harus adil, merata, dan manusiawi.
Kita semua bertanggung jawab. Jika sistem tidak diperbaiki sekarang, maka anak-anak kita yang akan menanggung akibatnya di masa depan. -ufa

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image