Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nur Aini

Rakyat Harus Pintar, Tapi Biaya Pendidikan Mahal

Politik | 2025-05-09 09:44:14

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, mengungkapkan bahwa berdasarkan data tahun 2024, rata-rata lama sekolah untuk penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas hanya mencapai 9,22 tahun. “Secara nasional, rata-rata penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas telah menempuh pendidikan selama 9,22 tahun atau lulus kelas 9 SMP atau sederajat,” ujar Amalia dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi X DPR, Selasa (4/3/2025).(Kompas.com).

Memang angka rata-rata tidak mewakili seluruh fakta, namun setidaknya menjadi bukti bahwa kesempatan sekolah untuk seluruh rakyat Indonesia tidaklah sama.

Sekolah sebagai tempat untuk mendapatkan pendidikan formal tidak bisa dinikmati oleh seluruh warga negara. Dan ini belum berbicara tentang pemerataan fasilitas, kesenjangan fasilitas pendidikan juga nyata menjadi permasalahan tersendiri. Artinya, yang sekolah pun belum semuanya terjamin menikmati fasilitas terbaik.

Salah satu penyebab banyaknya rakyat yang tidak melanjutkan pendidikan adalah karena faktor biaya. Meskipun ada BOS tetap saja pembiayaan pendidikan terbaik belum tercukupi, karena fakta di lapangan berbicara orang tua masih harus merogoh kocek yang tak sedikit demi biaya sekolah anaknya. Semakin tinggi dan semakin lama mengenyam pendidikan maka semakin banyak biaya yang dikeluarkan. Untuk bertahan hingga pendidikan tinggi rakyat harus membayar mahal, ironi memang.

Rakyat dituntut pintar agar bisa bersaing dalam dunia kerja dan membawa bangsa menuju masa depan yang lebih baik namun akses belajar hingga perguruan tinggi harus dibayar mahal. Maka hanya orang-orang berduit saja pada akhirnya yang bisa bertahan mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Yang tidak punya dana lebih memilih putus sekolah, mencari pekerjaan yang jelas penghasilannya berbanding lurus dengan rendahnya pendidikan. Tak banyak yang bisa sukses hanya dengan bermodal pendidikan SMP.

Mahalnya biaya pendidikan merupakan konsekuensi logis dari penerapan sistem kapitalis. Pendidikan dianggap sebagai bidang pemboros anggaran, bukan lahan basah, malah menghabiskan anggaran. Dalam sistem kapitalis, penguasa lebih mementingkan angka pertumbuhan ekonomi yang salah satu indikasinya ditandai dengan masifnya pembangunan fasilitas publik meski dengan utang maupun investasi swasta, meskipun realitasnya rakyat kecil tidak sangat membutuhkan.

Pemerintah juga lebih memilih menyerahkan pengelola berbagai sektor dan SDA kepada swasta dan asing, Akibatnya banyak pemasukan yang seharusnya masuk kas negara hanya dinikmati segelintir pemilik modal. Belum lagi dengan tingginya angka korupsi, menunjukkan negeri ini sangat bermasalah dengan pengelolaan anggaran. Sudahlah mengalokasikan dana sedikit, dikorupsi pula.

Berbanding terbalik dengan sistem islam, khilafah. Dalam khilafah, pendidikan adalah hak setiap warga, miskin ataupun kaya. Negara wajib menyediakannya secara gratis dan merata untuk membentuk manusia berilmu dan bertakwa dan berketrampilan tinggi. Khilafah memiliki sumber dana yang mumpuni untuk mewujudkannya. Dana pendidikan diambil dari Baitul Mal, khususnya pos fai', kharaj, dan kepemilikan umum. Negara mengelola langsung pendidikan tanpa campur tangan swasta.

Dalam islam pemenuhan pendidikan terbaik adalah bagian dari pemenuhan kewajiban menuntut ilmu, negara wajib mengusahakan agar semua warga negara mendapatkan pendidikan dengan gratis atau murah. Pendidikan juga pendukung terwujudnya peradaban gemilang maka tidak boleh main-main dengan pendidikan. Oleh karena itu, perubahan pandangan tentang pentingnya pendidikan mutlak diperlukan, bukan sekadar mencetak generasi pekerja seperti yang terjadi di negeri ini, namun pendidikan sebagai sarana pencetak generasi mulia. Maka juga dibutuhkan perubahan sistemik agar permasalahan pendidikan terselesaikan dengan tuntas, umat butuh sistem Islam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image