Iklan Profesional, Etika Maksimal
Edukasi | 2025-05-05 20:39:29Di era informasi yang serba cepat dan digitalisasi yang masif, iklan bukan lagi sekadar alat promosi tetapi juga menjadi bagian dari lanskap budaya, sosial, bahkan politik. Namun, di tengah persaingan yang ketat dan tuntutan untuk tampil menonjol, muncul tantangan yang sering kali terabaikan: Etika Periklanan.
Etika dalam periklanan bukanlah sekadar aturan formal. Ia mencerminkan tanggung jawab moral perusahaan dan kreator iklan terhadap masyarakat luas. Profesionalisme dalam periklanan tidak akan lengkap tanpa pondasi etika yang kuat.
Kita pasti sering melihat iklan di berbagai tempat, mulai dari televisi, internet, hingga jalan raya. Semua iklan berusaha menarik perhatian kita dengan cara yang beragam dan kreatif. Namun, pernakah kamu merawa bahwa beberapa iklan terasa berlebihan, tidak pantas, atau bahkan membingungkan? Untuk mencegah hal-hal seperti itu, dunia periklanan menerapkan Etika Periklanan. Etika ini berfungsi sebagai panduan penting yang memastikan iklan tetap sopan, jujur, dan tidak merugikan siapapun. Mari kita eksplorasi lebih lanjut mengapa etika dalam periklanan sangat penting bagi kita semua.
Sebelum itu, iklan atau periklanan adalah bentuk komunikasi yang bertujuan menyampaikan ide, produk, atau layanan, yang dilakukan secara tidak langsung kepada orang tertentu (non-pribadi) dan dibayar oleh pihak yang jelas (sponsor). Sponsor iklan ini disebut pengiklan, dan mereka bukan berbicara langsung dengan satu orang atau kelompok kecil, melainkan berkomunikasi dengan banyak orang sekaligus.
Dengan kata lain, iklan adalah cara yang digunakan oleh perusahaan atau organisasi untuk menyampaikan pesan mereka kepada publik melalui media, dengan harapan dapat memengaruhi sikap atau perilaku konsumen terhadap suatu produk atau layanan.
Lalu, Apa itu Etika Periklanan? Dan Mengapa Etika Penting dalam Periklanan?
Dalam era digital yang bergerak sangat cepat, etika periklanan menjadi hal yang sangat penting. Informasi dapat tersebar dalam hitungan detik, sehingga iklan tidak hanya perlu kreatif dan menarik, tetapi juga harus bertanggung jawab. Etika dalam periklanan berfungsi sebagai pedoman moral bagi pengiklan, agensi, dan media untuk menghindari penyebaran informasi yang menyesatkan, memicu kebencian, atau merugikan pihak tertentu. Seperti aturan dalam sebuah permainan, etika berperan untuk memastikan proses komunikasi iklan berlangsung secara adil, menghormati norma sosial dan budaya yang ada. Dengan demikian, iklan tidak hanya berfokus pada efektivitas pesan tetapi juga menjaga integritas dan dampaknya bagi masyarakat.
Untuk memastikan praktik periklanan tetap berlandaskan etika, Indonesia mengadopsi Kode Etik Periklanan Indonesia serta berbagai regulasi, salah satunya adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang ini melarang perdagangan barang cacat atau bekas tanpa informasi yang jelas, serta penawaran hadiah yang tidak terealisasi. Dalam konteks iklan, Pasal 17 menegaskan larangan terhadap iklan yang menyesatkan atau mengelabui konsumen terkait kualitas, harga, manfaat, atau waktu penerimaan produk. Kepatuhan terhadap peraturan ini mencerminkan komitmen para pelaku usaha untuk menjalankan iklan secara profesional, jujur, dan sejalan dengan etika yang tinggi.
Etika sebagai Investasi Jangka Panjang
Dalam jangka pendek, iklan yang "nakal" mungkin bisa mencuri perhatian dan menjadi viral. Namun, seiring berjalannya waktu, masyarakat yang semakin cerdas akan mengevaluasi merek tidak hanya dari inovasi, tapi juga dari nilai-nilai yang mereka pegang. Etika seharusnya tidak dianggap sebagai batasan kreativitas; sebaliknya, etika dapat menjadi fondasi yang kuat untuk menciptakan pesan-pesan yang berarti dan berkelanjutan.
Banyak merek besar yang berhasil mempertahankan reputasi mereka bukan karena kampanye sensasional, tetapi berkat konsistensi dalam menyampaikan pesan yang etis dan relevan. Konsumen modern tidak hanya membeli produk, tetapi juga mendukung nilai-nilai yang diusung oleh merek tersebut.
Siapa yang memantau Etika dalam Beriklan?
Di Indonesia, dunia periklanan nggak dibiarkan berjalan tanpa aturan. Ada pedoman khusus yang dirancang untuk memastikan setiap iklan yang tayang tetap sesuai noma dan etika. Pedoman ini dikenal dengan nama Etika Pariwara Indonesia (EPI). Dokumen ini disusun oleh Dewan Periklanan Indonesia, dan versi terabrunya diperbarui pada tahun 2020.
EPI berfungsi sebagai kompas moral bagi siapa saja yang terlibat dalam industri periklanan, mulai dari perusahaan, agensi kreatif, media, hingga lembaga pengawas. Intinya, semua pihak menggunakan EPI sebagai acuan agar iklan yang diproduksi dan ditayangkan tidak menyimpang dari standar yang telah ditetapkan. Dengan begitu, iklan tetap bisa menarik perhatian tanpa melanggar batas-batas yang dianggap tidak pantas atau merugikan masyarakat.
Seperti Apa Iklan yang Melanggar Etika?
Supaya lebih jelas, berikut beberapa contoh nyata pelanggaran etika dalam iklan yang sering terjadi di sekitar kita:
1. Iklan yang Menyesatkan
Contohnya, produk skincare yang mengklaim bisa memutihkan kulit hanya dalam semalam. Meskipun terdengar menarik, jika klaim ini tidak didukung fakta yang valid, maka itu tergolong sebagai penipuan.
2. Mengandung Unsur SARA
Kadang iklan memakai lelucon yang menyinggung suku, agama, ras, atau kelompok tertentu. Meskipun mungkin dimaksudkan untuk lucu, konten seperti ini bisa menyinggung perasaan orang lain dan menimbulkan masalah serius.
Contohnya seperti iklan Nivea yang diunggah pada tahun 2017 lampau, produk tersebut mengeluarkan slogan “White is Purity”. Iklan itu menyita perhatian publik karena dinilai mengandung unsur diskriminasi dan menyinggung kelompok etnis tertentu.
3. Eksploitasi Anak
Anak-anak memang sering muncul dalam iklan, tapi perlu kehati-hatian. Mereka tidak boleh dimanfaatkan untuk promosi yang tidak sesuai usia, apalagi jika isi iklannya tidak pantas atau bisa berdampak negatif bagi perkembangan mereka.
4. Iklan yang Vulgar atau Tidak Pantas
Iklan dengan unsur sensual berlebihan atau konten dewasa yang ditayangkan di waktu tayang umum (misalnya saat anak-anak menonton) jelas melanggar etika. Konten seperti ini tidak hanya tidak pantas, tapi juga bisa berdampak buruk bagi penonton yang belum cukup umur.
Salah satu contohnya adalah iklan lama Grabike dengan tagar #PilihAman, yang menampilkan gambaran seorang remaja perempuan dengan tubuh penuh luka dan darah, tampak seperti korban kecelakaan.
Dengan memahami pedoman seperti EPI dan contoh pelanggaran di atas, kita bisa lebih kritis terhadap iklan yang kita temui sehari-hari. Bagi para pelaku industri, mengikuti etika bukan hanya soal patuh aturan, tapi juga soal membangun kepercayaan dan menjaga citra merek di mata publik.
Etika bukan sekadar pelengkap dalam dunia iklan. Ia adalah inti dari komunikasi yang bertanggung jawab. Ketika dunia periklanan mengedepankan profesionalisme sekaligus menjunjung tinggi etika, maka yang dihasilkan bukan hanya penjualan—melainkan dampak positif bagi masyarakat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
