Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ahmad Muflihin

Ketika Pendidikan Kehilangan Jiwa

Pendidikan dan Literasi | 2025-05-02 10:42:52
Ilustrasi: Faza Muna Ubaidillah

Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional sebagai momen reflektif untuk meninjau arah dan tujuan pendidikan kita. Nama Ki Hadjar Dewantara selalu digaungkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional—sosok yang tak hanya berpikir tentang sekolah sebagai lembaga, tetapi juga tentang pendidikan sebagai jalan untuk membentuk manusia seutuhnya.

Namun hari ini, ketika sistem pendidikan telah dilengkapi dengan teknologi canggih, kurikulum yang dinamis, dan program digitalisasi sekolah, satu hal penting justru kerap terabaikan: jiwa pendidikan itu sendiri.

Pendidikan Bukan Sekadar Transfer Ilmu

Ki Hadjar menyebut pendidikan sebagai proses menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Kata “menuntun” menunjukkan pendekatan yang lembut, manusiawi, dan spiritual. Ini jauh dari model pendidikan yang hanya berorientasi pada nilai, ujian, dan capaian akademik.

Sayangnya, dalam praktik di lapangan, pendidikan sering kali terjebak dalam formalitas kurikulum dan administratif semata. Guru disibukkan dengan laporan, siswa dibebani target, dan sistem dipenuhi angka. Jiwa pendidikan yang seharusnya membebaskan, memberdayakan, dan memanusiakan—justru terpinggirkan.

Kurikulum Spiritual: Menyentuh Hati, Menghidupkan Jiwa

Di tengah kondisi tersebut, lahirlah gagasan tentang kurikulum spiritual, yakni pendekatan pendidikan yang tidak hanya berfokus pada kompetensi kognitif, tetapi juga afektif dan transendental. Dalam konteks Pendidikan Agama Islam (PAI), ini berarti mengembalikan ruh pembelajaran kepada pembentukan karakter, keteladanan, dan kesadaran ilahiyah.

Kurikulum spiritual bukanlah tambahan mata pelajaran baru, melainkan sebuah pendekatan—cara memaknai kurikulum yang ada agar lebih bermakna. Misalnya, ketika guru mengajarkan konsep akhlak kepada siswa, ia tidak hanya menyampaikan definisi, tetapi juga menyentuh hati siswa lewat kisah, keteladanan, dan refleksi spiritual.

Momentum Hardiknas: Pendidikan yang Membebaskan dan Membimbing Jiwa

Momentum Hardiknas tahun ini harus menjadi titik balik untuk menghidupkan kembali dimensi spiritual dalam pendidikan. Pendidikan yang bukan hanya membebaskan secara intelektual, tetapi juga membimbing secara ruhani. Kita butuh lebih banyak guru yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga ikhlas membimbing dengan hati. Kita juga perlu sistem kurikulum yang memberi ruang untuk kontemplasi, empati, dan keteladanan.

Di sinilah peran PAI menjadi sangat penting. PAI bukan hanya pelajaran wajib, tapi jiwa dari pendidikan nasional kita. PAI memiliki potensi besar untuk menjadi penggerak pendidikan yang tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga memanusiakan.

Penutup: Mewujudkan Pendidikan yang Menghidupkan

Mari kita warisi semangat Ki Hadjar Dewantara bukan hanya dengan slogan, tapi dengan aksi nyata. Mengembangkan pendidikan yang menyentuh hati, membangun spiritualitas, dan membimbing manusia menuju kesadaran diri dan Tuhannya. Karena pada akhirnya, pendidikan bukan hanya tentang “siapa yang pintar”, tetapi “siapa yang menjadi lebih bijak, lebih baik, dan lebih bermanfaat.”

Selamat Hari Pendidikan Nasional. Mari hidupkan kembali jiwa pendidikan kita.

Ahmad Muflihin, S.Pd.I., M.Pd.

Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam, UNISSULA

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image