Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image HALO MUSAFIR

Quo Vadis Pendidikan Kita?

Gaya Hidup | 2025-04-30 09:54:05

*Taufik sentana. Praktisi pendidikan Islam. penyusun Buku 77 Inspirasi Pendidikan Islam. Penulis Buku Inspirasi 1000 Bulan dan 99 Inspirasi Bahagia.Konsultan di Nuruttaufiq Aceh.

======

Setiap tanggal 2 Mei, gaung Hari Pendidikan Nasional mengingatkan kita pada amanat luhur mencerdaskan bangsa. Kita bicara tentang harapan besar, potensi anak negeri, dan mimpi Indonesia Emas 2045.

Namun, di tengah perayaan dan retorika itu mari sejenak kita berhenti. Dengan jujur, tanyakan pada diri kita: Mau dibawa kemana pendidikan kita? Apakah kapal besar ini berlayar menuju tujuan yang jelas, atau sekadar terombang-ambing gelombang politik dan tren sesaat?

Selama bertahun-tahun, kita menyaksikan fenomena yang melelahkan: "gonta ganti kurikulum". Setiap menteri baru, seolah membawa resep baru, mengubah-ubah sistem yang belum sempat berakar dan dievaluasi secara mendalam.

Niatnya mungkin baik, tapi eksekusinya seringkali sporadis, tanpa cetak biru jangka panjang yang kokoh dan disepakati lintas sektoral. Akibatnya, sekolah kebingungan, guru kewalahan, dan anak didik menjadi kelinci percobaan yang terus-menerus beradaptasi dengan sistem yang berubah. Ini bukan membangun fondasi kuat, ini seperti menggali lubang dan menimbunnya lagi, berulang kali.

Ironisnya, di depan kita ada target megah: Generasi Emas 2045. Generasi yang katanya akan membawa Indonesia ke puncak kejayaan, 100 tahun Indonesia!

Tapi bagaimana kita bisa menyiapkan mereka secara taktis dan reable jika arah pendidikan kita sendiri sering berubah? Visi 2045 rentan hanya menjadi slogan kosong jika tidak diterjemahkan menjadi langkah konkret, konsisten, dan berkelanjutan dalam sistem pendidikan dari Sabang sampai Merauke.

Misi Kolektif dan Blueprint

Kita butuh blueprint pendidikan nasional yang stabil, yang tidak berganti hanya karena pergantian rezim, fokus pada kompetensi esensial dan pembentukan karakter yang tahan uji zaman.

Lebih dari sekadar tumpukan mata pelajaran, pendidikan kita seolah lupa atau abai mengintegrasikan nilai spiritualitas (nilai universal islam, misalnya) dan moral sebagai nafas dalam setiap proses belajar.

Spiritualitas bukan hanya pelajaran agama di kelas, tetapi tentang penanaman empati, integritas, rasa tanggung jawab, dan kesadaran akan relasi dengan Tuhan (Allah swt) relasi sesama, dan dengan alam.

Ketika pendidikan gagal menanamkan fondasi moral-emapati yang kuat, jangan heran jika kita melihat tingkat kriminalitas yang meresahkan, korupsi yang membudaya, atau intoleransi yang meningkat.

Pendidikan yang dangkal spiritualitasnya hanya akan mencetak individu cerdas yang rapuh karakternya, pandai secara intelektual namun miskin empati dan kompas moral. Pendidikan harus menjadi benteng pertama pembentukan karakter bangsa.

Di saat yang sama, dunia berpacu dengan kecerdasan buatan (AI) yang akan mengubah lanskap pekerjaan secara drastis. Jika pendidikan kita masih terjebak dalam paradigma usang, berorientasi pada hafalan dan kemampuan yang mudah direplikasi AI, kita hanya akan mencetak calon pengangguran atau "angkatan kerja" yang relevansinya cepat pudar.

Pendidikan harus bergeser drastis: fokus pada kemampuan berpikir kritis, kreativitas, pemecahan masalah kompleks, kolaborasi antar-manusia, dan kecerdasan emosional—kemampuan yang sulit atau bahkan mustahil digantikan AI.

Kita perlu mengajarkan cara berpikir dan belajar, bukan hanya apa yang harus dipikirkan.

Bukan sekadar untuk Kerja

Paradigma "pendidikan adalah terminal untuk mendapatkan pekerjaan" sudah kadaluwarsa. Di era disrupsi, kita semua harus menjadi pembelajar seumur hidup. Pendidikan kita saat ini belum sepenuhnya membekali anak didik dengan mentalitas dan keterampilan untuk terus belajar secara mandiri, beradaptasi dengan perubahan, dan terus relevan.

Kita melahirkan "lulusan" bukan "pembelajar". Pendidikan seharusnya menanamkan rasa ingin tahu yang membara, kemampuan mencari dan memverifikasi informasi, serta kelincahan untuk terus meng-upgrade diri. Bukan hanya untuk tuntutan pekerjaan, tetapi sebagai bekal untuk menjalani kehidupan yang penuh ketidakpastian.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Di Hardiknas 2025 ini, sudah saatnya kita menuntut aksi nyata dan konstruktif. Di antara tawarannya adalah:

Pertama, Hentikan Politik Ganti Kurikulum: Bangun Cetak Biru Pendidikan Nasional yang kokoh, hasil konsensus semua pihak (pendidik, akademisi, praktisi, orang tua, industri, masyarakat). Visi ini harus stabil, menjadi panduan strategis lintas generasi menteri..

Kedua, Terjemahkan Visi 2045 secara Taktis: Definisikan dengan jelas kompetensi dan karakter kunci Generasi Emas, lalu susun peta jalan implementasi yang terukur, didukung anggaran yang memadai, dan evaluasi mendalam.

Keriga, Integrasikan Nilai secara Utuh: Jadikan penanaman spiritualitas, moral, dan karakter sebagai inti dari seluruh proses belajar, bukan sekadar mata pelajaran tambahan. Latih guru untuk menjadi teladan dan fasilitator pembentukan karakter. Libatkan orang tua dan masyarakat secara aktif.

Keempat, Adaptasi Realistis-kritis terhadap AI: Reformasi metode pembelajaran agar fokus pada skill unik manusia. Tinggalkan hafalan yang tidak relevan, dorong kreativitas, berpikir kritis, kolaborasi, dan kemampuan digital yang relevan. Ajarkan cara memanfaatkan AI sebagai alat, bukan takut padanya.

Kelima, Budayakan Pembelajar Seumur Hidup: Bekali anak didik dengan keterampilan "belajar cara belajar" ( learning how to learn ).

Tanamkan rasa ingin tahu, kemandirian, dan kesadaran bahwa pendidikan formal hanyalah awal. Dorong kebijakan dan ekosistem yang mendukung pembelajaran berkelanjutan bagi semua usia.

Mau dibawa kemana pendidikan kita? Jawabannya bukan pada perubahan kurikulum baru lagi, melainkan pada penguatan visi, konsistensi implementasi, pengintegrasian nilai yang mendasar, adaptasi terhadap masa depan, dan penanaman budaya belajar sepanjang hayat.

Di Hardiknas 2025 ini, mari kita jadikan momen untuk berkomitmen dan bersama-sama membangun pendidikan yang benar-benar menyiapkan Generasi Emas 2045: Generasi yang cerdas, berkarakter, tangguh menghadapi AI, dan tak pernah berhenti belajar. Ini bukan ilusi, ini kerja nyata yang harus dimulai sekarang.

dokpri.ilustrasi

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image