Pajak Karbon: Masa Depan Ekonomi Hijau Indonesia
Eduaksi | 2025-04-27 19:52:20Tak perlu dipungkiri lagi, anomali iklim telah kita rasakan hingga saat ini. Hujan di musim kemarau dan panas di musim hujan sudah menjadi fenomena umum pada beberapa tahun terakhir. Istilah anomali iklim mulai bermunculan di berbagai kalangan media, yang bisa kita maknai sebagai pergeseran musim dari musim normalnya. Mungkin telah kita sadari bersama bahwa peristiwa ini disebabkan oleh pemanasan global akibat peningkatan suhu di bumi tiap tahunnya. Puncaknya, untuk pertama kalinya dalam sejarah, pemanasan global menembus ambang batas 1,5 derajat celsius pada tahun 2024.
Awal Mula
Pembangunan rendah karbon berkembang sebagai respon terhadap meningkatnya kesadaran global tentang perubahan iklim dan pentingnya mengurangi emisi gas rumah kaca. Konsep ini mulai mendapat perhatian luas sejak akhir abad ke-20, terutama setelah berbagai pertemuan internasional membahas isu lingkungan dan keberlanjutan.
Beberapa pertemuan internasional penting yang membahas agenda pembangunan rendah karbon diantaranya:
- Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) Tahun 1992. Konverensi ini menjadi landasan bagi berbagai kebijakan global dalam mengurangi emisi karbon.
- Protokol Kyoto Tahun 1997. Protokol Kyoto merupakan perjanjian internasional yang bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mengatasi perubahan iklim. Protokol ini diadopsi pada 11 Desember 1997 di Kyoto, Jepang, dan mulai berlaku pada 16 Februari 2005 setelah proses ratifikasi yang cukup kompleks. Protokol ini mengikat negara-negara maju untuk berkomitmen dalam pengurangan emisi melalui berbagai mekanisme, termasuk perdagangan karbon.
- Perjanjian Paris Tahun 2015. Perjanjian Paris merupakan kesepakatan internasional yang bertujuan untuk mengatasi perubahan iklim dengan membatasi kenaikan suhu global
Lantas Bagaimana Dengan Indonesia?
Pada tahun 2021, Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), yang memberikan dasar hukum bagi penerapan pajak karbon di Indonesia. Pajak karbon sendiri adalah pungutan yang dikenakan pada aktivitas yang menghasilkan emisi karbon, seperti penggunaan bahan bakar fosil. Pajak ini bertujuan untuk mengurangi dampak lingkungan yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca. Indonesia berencana untuk mulai menerapkan pajak karbon pada April 2021 yang dikenakan secara terbatas pada sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara. Rencana tersebut kemudian sempat ditunda hingga Juli 2022, sebelum kemudian batal dan direncanakan baru akan diterapkan di tahun 2025 ini.
Dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) terbaru, Indonesia menaikkan target pengurangan emisi menjadi 31,89% di tahun 2030 mendatang dengan target dukungan internasional sebesar 43,20%. Kemudian, Indonesia memiliki komitmen untuk mencapai net zero emissions pada tahun 2060. Penerapan pajak karbon merupakan salah satu upaya yang diharapkan dapat membantu negara ini mengurangi emisi gas rumah kaca dan memenuhi komitmen internasional tersebut.
Apakah Sudah Diterapkan di Tahun 2025 ini?
Hingga April 2025, rencana penerapan pajak karbon di Indonesia masih belum menunjukkan kejelasan yang pasti. Meskipun pemerintah telah menetapkan target implementasi pada tahun ini, hingga kini belum ada langkah konkret yang diambil untuk merealisasikan kebijakan tersebut. Padahal, pajak karbon dianggap sebagai instrumen penting dalam transformasi menuju ekonomi hijau dan upaya penurunan emisi gas rumah kaca.
Sebelumnya, pemerintah telah menunda penerapan pajak karbon hingga tahun 2025 dengan alasan untuk mempersiapkan infrastruktur dan regulasi yang diperlukan. Namun, dengan minimnya perkembangan terbaru, muncul kekhawatiran bahwa target implementasi pada tahun ini mungkin kembali mengalami penundaan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai komitmen Indonesia dalam mencapai target net zero emissions pada tahun 2060 mendatang.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
