Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sastawati putri laia

Insentif PPh 21 DTP 2025: Stimulus Ekonomi atau Beban Administratif?

Politik | 2025-04-25 15:17:52

Pemerintah Indonesia kembali menunjukkan peran aktifnya dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional melalui kebijakan fiskal yang strategis. Di awal tahun 2025, Kementerian Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 10 Tahun 2025, yang menetapkan kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) atas penghasilan tertentu. Kebijakan ini berlaku sepanjang tahun 2025 dan menyasar sektor industri padat karya yang dianggap mampu menciptakan banyak lapangan kerja dan berperan penting dalam pemulihan ekonomi pasca pandemi serta mengantisipasi perlambatan ekonomi global.

Peraturan ini mulai diundangkan pada 4 Februari 2025 dan berlaku untuk masa pajak Januari hingga Desember 2025

1. Tujuan dan Ruang Lingkup Kebijakan

PMK 10/2025 menyasar dua pihak utama pemberi kerja di sektor industri tertentu, dan pegawai dengan penghasilan terbatas. Pegawai tetap dengan penghasilan bruto maksimal Rp10 juta dan pegawai tidak tetap dengan upah maksimal Rp500 ribu per hari, dapat menikmati pembebasan PPh 21 yang seharusnya dipotong dari penghasilan mereka.

Pemerintah menanggung pajak tersebut, sehingga pegawai menerima gaji penuh tanpa potongan. Harapannya, skema ini dapat meningkatkan daya beli rumah tangga, mengurangi beban pengusaha, dan mendorong kelangsungan bisnis serta penciptaan lapangan kerja.

2. Manfaat bagi Dunia Usaha dan Tenaga Kerja

Dari sisi tenaga kerja, kebijakan ini memberikan keuntungan langsung berupa peningkatan take home pay. Tanpa potongan PPh 21, penghasilan bersih yang diterima pegawai menjadi lebih besar. Ini sangat relevan mengingat inflasi yang mempengaruhi harga kebutuhan pokok di tahun 2025.

Sementara itu, pemberi kerja di sektor padat karya yang sering menghadapi tekanan biaya produksi, dapat sedikit bernapas lega. Beban gaji menjadi lebih ringan karena potongan PPh ditanggung pemerintah. Insentif ini juga dapat meningkatkan loyalitas karyawan dan menurunkan turnover rate.

3. Tantangan Implementasi di Lapangan

Meski menawarkan manfaat, tidak sedikit pelaku usaha yang menghadapi tantangan administratif dalam memanfaatkan insentif ini. PMK 10/2025 mengatur bahwa pemberi kerja harus:

-Memiliki KLU sesuai lampiran PMK.

-Mendaftarkan pegawai yang memenuhi kriteria.

-Menyiapkan bukti pemotongan pajak khusus.

-Melaporkan insentif dalam SPT Masa PPh 21/26 setiap bulan.

Kewajiban pelaporan ini harus dipenuhi dengan akurat dan tepat waktu. Jika tidak, insentif batal dan pemberi kerja wajib menyetorkan pajak seperti biasa. Hal ini menjadi beban tambahan terutama bagi perusahaan kecil menengah (UMKM) yang tidak memiliki sistem akuntansi atau staf pajak yang memadai.

4. Keterbatasan Cakupan dan Aspek Keadilan

Hanya sektor dengan KLU tertentu yang mendapatkan fasilitas ini, sementara sektor lain yang juga terdampak ekonomi, seperti pariwisata, ritel kecil, atau logistik lokal, tidak termasuk dalam daftar. Ini menimbulkan pertanyaan mengenai keadilan kebijakan.

Di sisi lain, evaluasi berkala juga perlu dilakukan untuk memastikan bahwa insentif benar-benar memberi dampak ekonomi nyata, bukan sekadar angka di laporan pajak.

5. Perlu Ada Pendampingan dan Penyederhanaan

Agar kebijakan ini berhasil, pemerintah perlu menyediakan pendampingan teknis, edukasi, serta sistem pelaporan digital yang ramah pengguna. Peran DJP sangat penting dalam mengomunikasikan cara kerja kebijakan ini secara praktis, bukan hanya dalam bentuk regulasi.

Kesimpulan
Insentif PPh 21 DTP 2025 dapat menjadi instrumen fiskal yang efektif jika dilaksanakan dengan tepat sasaran. Di atas kertas, kebijakan ini mendorong konsumsi rumah tangga, menjaga daya beli, dan membantu dunia usaha mengelola biaya gaji. Namun, tantangan administratif dan keterbatasan sektor yang dilibatkan bisa menghambat efektivitasnya.


Agar kebijakan ini tidak berubah menjadi beban administratif, pemerintah perlu memastikan bahwa proses klaim dan pelaporan dibuat lebih sederhana dan akomodatif, terutama bagi pelaku usaha skala kecil dan menengah. Pendekatan partisipatif dan pengawasan yang proporsional juga diperlukan agar tujuan kebijakan tercapai tanpa menimbulkan tekanan baru bagi pelaku usaha.

Perhitungan PPH 21

PENULIS, SASTAWATI PUTRI LAIA, MAHASISWA PRODI AKUNTANSI PERPAJAKAN, UNIVERSITAS PAMULANG.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image