RUU TNI: Jalan Reformasi atau Ancaman Kembalinya Dwifungsi?
Politik | 2025-04-16 12:21:22
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) kembali menuai sorotan. Pemerintah menyebutnya sebagai langkah modernisasi sistem pertahanan. Tapi publik punya kekhawatiran lain bahwa RUU ini justru bisa membuka jalan bagi militer kembali masuk ke ranah sipil, menghidupkan kembali praktik lama yang pernah membatasi ruang demokrasi Indonesia: dwifungsi ABRI.
RUU ini tak hanya mengatur penguatan militer secara teknis. Sejumlah pasalnya dianggap berbahaya karena memperluas kewenangan militer di luar tugas-tugas pertahanan. Pertanyaannya: apakah kita sedang mereformasi TNI, atau justru sedang mundur ke belakang?
Pasal-Pasal Kontroversial
1. Jabatan Sipil untuk Militer Aktif Pasal paling kontroversial adalah Pasal 47A ayat (1), yang menyatakan:
“Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dan lembaga negara lainnya di luar struktur TNI.”
Artinya, RUU ini membuka kembali peluang bagi militer aktif menduduki jabatan sipil, sesuatu yang dihapus sejak era reformasi. Tidak ada batasan rinci mengenai jenis jabatan atau kondisi darurat apa yang membolehkan hal ini terjadi. Ini sangat rentan disalahgunakan untuk mengisi pos strategis dengan orang-orang militer.
Pasal 47A ayat (2) menegaskan bahwa pengangkatan tersebut hanya membutuhkan pertimbangan Panglima TNI dan keputusan Presiden. Tanpa keterlibatan DPR atau lembaga pengawasan lainnya, praktik ini berpotensi lepas dari mekanisme checks and balances.
2. Perpanjangan Usia Pensiun Pasal 50 memperpanjang usia pensiun prajurit aktif menjadi 60 tahun. Kebijakan ini dapat memperpanjang pengaruh militer di sektor sipil, terutama jika dikombinasikan dengan peluang mereka menempati posisi non-militer.
3. Sistem Peradilan Militer Pasal 65 tetap mempertahankan sistem peradilan militer untuk anggota TNI, termasuk yang melakukan pelanggaran pidana umum. Padahal, banyak kalangan sipil menuntut agar anggota TNI yang melanggar hukum sipil diadili di pengadilan umum, bukan di institusi internal yang dinilai tertutup dan minim transparansi.
Modernisasi atau Dominasi?
RUU ini memang menambahkan tugas-tugas TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), seperti melawan ancaman siber dan melindungi WNI di luar negeri. Tapi ini menimbulkan pertanyaan: apakah semua tugas itu memang seharusnya dikerjakan militer? Apakah tidak tumpang tindih dengan kerja lembaga seperti BSSN, BIN, atau Kemenlu?
Modernisasi yang sejati bukan soal memperluas kekuasaan, tapi soal meningkatkan profesionalisme, kesejahteraan prajurit, dan kecanggihan alat utama sistem persenjataan (alutsista). Jika tugas militer makin luas tapi tanpa kontrol ketat, yang terjadi justru pembukaan ruang bagi dominasi.
Kurangnya Partisipasi Publik
Salah satu persoalan mendasar dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) adalah proses legislasi yang dinilai minim partisipasi publik dan dilakukan secara terburu-buru. Pelibatan masyarakat sipil, akademisi, dan praktisi hukum tampak tidak optimal, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang legitimasi dan transparansi proses legislasi tersebut. Seperti disampaikan oleh Wahyudi (2020), proses pembentukan kebijakan publik dalam sistem demokrasi seharusnya menjamin keterlibatan berbagai pemangku kepentingan untuk memastikan akuntabilitas dan representasi. Ketertutupan dalam pembahasan kebijakan strategis seperti ini justru berpotensi melemahkan prinsip demokrasi partisipatoris.
Demokrasi dan Kontrol Sipil
Dalam sistem demokrasi modern, kontrol sipil atas militer merupakan prinsip fundamental yang membedakan antara rezim demokratis dan otoriter. Teori klasik tentang hubungan sipil-militer yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington dalam bukunya The Soldier and the State menegaskan bahwa profesionalisme militer hanya dapat terjaga apabila militer berada di bawah kendali sipil, bukan sebaliknya (Huntington, 1957). Ketika militer diberi kewenangan untuk menduduki jabatan sipil tanpa mekanisme kontrol yang jelas, seperti yang tercantum dalam Pasal 47A RUU TNI, maka netralitas politik militer serta prinsip subordinasi terhadap otoritas sipil dapat terancam (Cottey, Edmunds, & Forster, 2002). Hal ini dapat menciptakan ruang bagi intervensi militer dalam kehidupan sipil yang bertentangan dengan semangat reformasi dan demokratisasi.
Rekomendasi untuk Perbaikan
1. Batasan Jabatan Sipil untuk Militer Aktif
· Tambahkan batasan rinci terkait jenis jabatan yang dapat diduduki oleh prajurit aktif.
· Tetapkan mekanisme pengawasan ketat melalui persetujuan DPR atau lembaga independen.
2. Evaluasi Usia Pensiun
· Perlu kajian mendalam terkait dampak usia pensiun terhadap regenerasi dan profesionalisme.
· Batasi keterlibatan militer senior di jabatan sipil menjelang usia pensiun.
3. Sistem Peradilan
· Alihkan yurisdiksi pelanggaran pidana umum oleh anggota TNI ke peradilan umum.
· Reformasi peradilan militer untuk meningkatkan transparansi.
4. Klarifikasi Tugas OMSP
· Hindari tumpang tindih tugas TNI dengan lembaga lain seperti BSSN dan BIN.
· Prioritaskan tugas utama pertahanan.
5. Partisipasi Publik
· Adakan diskusi publik secara transparan untuk mendapatkan masukan konstruktif.
· Publikasikan rancangan RUU secara terbuka untuk mengundang kritik dan saran.
Penutup
RUU TNI adalah momentum penting. Namun, apakah momentumnya menuju kemajuan atau kemunduran bergantung pada sejauh mana kita, sebagai warga negara, mampu mengawasi dan menuntut agar militer tetap profesional dan demokrasi tetap berdaulat. Reformasi sejati harus menjamin bahwa kekuatan militer berada dalam kendali hukum dan prinsip demokrasi
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
