
Pasar Besar Malang: Warisan yang Berjuang di Tengah Inflasi
Sejarah | 2025-04-15 19:50:46Pernahkah kalian berjalan-jalan di lorong Pasar Besar Malang? Menghirup aroma rempah-rempah yang khas, mendengar suara para pedagang yang menawarkan dagangannya kepada pelanggan, serta melihat warna-warni sayuran segar di kios-kios. Pasar Besar Malang bukan hanya ‘pasar’ namun jantung Malang yang ikonik di Jawa Timur yang sudah berdetak sejak zaman Belanda. Dulu, sekitar tahun 1800-an, Pasar Besar menjadi tempat para petani dan saudagar bertemu, menjual hasil bumi di tepi Sungai Brantas. Dari tempat sederhana, pasar ini tumbuh menjadi suatu legenda, mendukung hidup warga Malang selama berabad-abad. Namun sekarang, inflasi yang datang mulai mengguncang, dan yang mengkhawatirkan apakah warisan ini akan terus bertahan?
Bayangkan di tahun 1800-an, ketika Pasar Besar masih muda. Kereta kuda yang membawa beras dan rempah ke tepian sungai, sementara pedagang Jawa, Tionghoa, dan Belanda berdesakan di bawah pohon beringin, menukar barang dan cerita. Disini bukan hanya mengenai jual-beli namun menjadi salah satu panggung kehidupan. Pasar Besar bukan sembarang pasar, ia sudah melalui banyak zaman dari zaman penjajahan, revolusi, hingga krisis ekonomi 1998.Ketika beras yang dulu harganya cukup murah kini membuat dompet sesak, minyak goreng seperti halnya harta karun, dan harga telur yang kian naik. Di kios-kios para pedagang hanya bisa menggelengkan kepala. Tak hanya pedagang yang pusing namun pembeli pun ikut pusing dengan gaji yang tidak ada kenaikan, namun harga tak mau diam. Adanya inflasi ini seperti badai yang membuat perahu terombang-ambing.
Namun,terdapat hal yang membuat lebih hidup, ketika semangat Pasar Besar tak pernah padam.. Di tengah harga yang naik-turun bak roller coaster, pasar ini akan bangkit dengan kekuatan kebersamaan. Pedagang serta pembeli saling membantu. Tawar-menawar menjadi lebih seru dengan candaan bukan keluhan, namun tentunya ada yang beralih kejeroan karena daging yang terlalu mahal ataupun ke sayuran lokal demi menghemat pengeluaran. Ini bukan hanya mengenai belanja namun juga gotong royong, di sini kamu tidak hanya membeli cabai namun kamu menemukan cerita dan tawa yang tidak mungkin dapat ditemukan di supermarket ber-AC.
Jika dibandingkan dengan toko modern, sangat berbeda karena tidak memiliki cerita yang menghangatkan, disana terlalu dingin dan kaku semuanya serba cepat. Scan barcode, bayar, keluar tanpa adanya obrolan dan kenangan. Di Pasar Besar, pedagang tahu jika kamu suka ikan segar ataupun cabe yang pedas. Mereka juga mengingat nama anakmu, ini merupakan keajaiban yang hanya ada di pasar yang lahir dari sejarah yang panjang. Tempat banyak manusia saling terhubung, bukan hanya transaksi.
Jangan mengira bahwa pedagang di Pasar Besar ketinggalan zaman. Mereka juga beberapa ada yang menjual menggunakan digital. Dengan melakukan promosi lewat aplikasi, kemudian nanti dikirim menggunakan ojek online. Pasar Besar yang berusia ratusan tahun ini punya jiwa muda, beradaptasi dengan cara yang tidak pernah terduga. Namun meski telah melakukan berbagai cara, tetap saja inflasi masih menjadi ancaman yang besar. Jika harga masih terus naik. Pedagang kecil akan tidak memiliki tabungan besar untuk beli stok. Biaya bensin naik, ongkos kirim akan ikut melonjak, semua akan berujung pada harga yang lebih mahal di lapak. Pembeli akan mulai berpaling untuk membeli di minimarket atau di toko online yang harganya kadang lebih murah. Jika ini terus berlanjut apa yang akan terjadi di Pasar Besar? Ia bukan hanya pasar namun warisan, cerminan budaya Malang yang ramah dan penuh cerita. Hilangnya pasar besar akan sama saja dengan kehilangan sepotong hati kota Malang.
Pemerintah setempat juga tidak hanya diam, mereka sudah coba membantu. Ada “Pasar Murah” yang menjual beras dan minyak dengan harga miring. Ada juga subsidi yang diberikan kepada pedagang kecil. Namun itu semua tidak membantu secara signifikan. Para pedagang lebih perlu memperbaiki pasar yang bocor di tiap musim hujan, membantu pedagang dengan pinjaman yang murah, mengajari cara berjualan online agar tidak kalah saing. Coba bayangkan ketika Pasar Besar diberikan Wi-Fi gratis, kios yang rapi dan pedagang yang jago dalam konten TikTok, bukankan lebih membantu? Pasar Besar Malang ini merupakan simbol harapan. Ia sudah bertahan sangat lama dari masa penjajahan Belanda, perang kemerdekaan, hingga dimasa krisis moneter.
Inflasi harusnya bukanlah apa-apa, inflasi hanyalah cerita kecil untuk pasar yang memiliki sejarah yang sekuat ini, namun ia juga tidak bisa jika harus bertahan sendirian. Ia juga butuh kita semua. Ayo belanja di kios lokal, meski cuma 1 ikat bayam. Pasar Besar bukan hanya soal belanja ia merupakan kenangan, ingatan keseruan, tawa pedagang yang membuat pagi lebih cerah. Ia merupakan identitas kota Malang. Dari zaman kereta kuda hingga ojek online, Pasar Besar selalu ada untuk kita semua. Dan sekarang waktunya kita ada untuknya. Yuk, ke pasar! Jadilah bagian untuk cerita legendaris yang tidak pudar. Pasar Besar Malang bukan hanya warisan namun harapan untuk masa depan kita semua.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.