
Anak Muda Bengkulu, Mau Jadi Penonton atau Pemain di Tanah Sendiri?
Gaya Hidup | 2025-04-14 11:52:10Haili Sentari- Penulis

Di tengah cepatnya arus globalisasi dan kemajuan teknologi, daerah-daerah di Indonesia berlomba-lomba menunjukkan eksistensi dan potensinya. Sayangnya, Bengkulu masih sering berada di belakang layar. Potensi yang besar tidak selalu sejalan dengan perhatian yang diterima. Namun, pertanyaan yang lebih penting sekarang adalah: Bagaimana peran anak muda Bengkulu dalam menghadapi kenyataan ini? Apakah kita hanya akan menjadi penonton, atau mulai berani tampil sebagai pemain utama di tanah sendiri?
Generasi muda adalah penggerak perubahan. Di tangan merekalah masa depan daerah ditentukan. Bengkulu, dengan segala kekayaan alam, sejarah, dan budayanya, sejatinya tidak kekurangan bahan untuk dikembangkan. Dari Pantai Panjang yang memesona, sejarah kehadiran Bung Karno yang sarat makna, hingga tradisi Tabot yang unik dan sakral—semua itu adalah aset luar biasa yang dapat diolah menjadi kekuatan ekonomi, pariwisata, maupun identitas kebudayaan.
Namun, potensi sebesar itu tidak akan berarti apa-apa jika anak mudanya memilih diam. Banyak pemuda Bengkulu yang justru memilih keluar daerah demi mencari kesempatan yang lebih besar, dan itu sah-sah saja. Tetapi, alangkah lebih hebatnya jika mereka membawa perubahan dari dalam, membuktikan bahwa Bengkulu tidak kalah saing dibanding daerah lain. Bukankah perubahan sejati datang dari mereka yang mengenal tanahnya sendiri?
Saat ini, kita sudah berada di era digital. Internet, media sosial, dan teknologi memberi peluang besar untuk membangun personal branding, promosi budaya lokal, dan bahkan membuka lapangan pekerjaan sendiri. Tapi ironisnya, tidak sedikit pemuda yang hanya menggunakan media sosial untuk konsumsi hiburan semata, bukan sebagai alat pemberdayaan diri atau daerah.
Mari kita bandingkan dengan daerah lain yang sudah berhasil mengangkat potensi lokal mereka ke kancah nasional bahkan internasional. Ambil contoh Yogyakarta, Bandung, atau Malang. Di sana, anak mudanya bergerak aktif—baik di bidang kreatif, kewirausahaan, pendidikan, hingga teknologi. Mereka tidak menunggu pemerintah sepenuhnya, tetapi menciptakan ruang-ruang alternatif untuk berkarya. Apa kita, sebagai anak muda Bengkulu, tidak bisa melakukan hal serupa?
Permasalahan utama yang sering muncul adalah rasa minder dan kurangnya kepercayaan diri. Banyak yang berpikir, “Ah, aku hanya dari Bengkulu, mana mungkin bisa sejauh itu.” Padahal, yang membatasi hanya pola pikir kita sendiri. Bengkulu bukan daerah kecil. Ini adalah tanah yang kaya sejarah dan nilai. Yang kurang adalah keberanian untuk tampil dan membawa nama daerah ke panggung yang lebih luas.
Kita juga harus jujur bahwa sistem pendidikan dan dukungan infrastruktur belum seideal daerah maju. Tapi justru di sinilah letak tantangannya. Anak muda yang kuat adalah mereka yang tidak hanya menuntut perubahan, tetapi juga mau menjadi bagian dari perubahan itu sendiri. Menjadi penggerak komunitas, memulai usaha kreatif, terlibat dalam isu sosial, serta terus belajar dan berjejaring adalah langkah awal menjadi pemain sejati.
Mari kita ubah cara pandang. Menjadi pemain bukan berarti harus tampil di layar kaca atau menjadi selebritas. Menjadi pemain artinya terlibat aktif dalam proses pembangunan, berani membawa gagasan, dan konsisten dalam berkarya. Menjadi pemain adalah tentang keberanian untuk tidak hanya menonton perubahan, tetapi menciptakannya.
Bengkulu tidak akan maju jika anak mudanya memilih untuk terus menunggu. Perubahan tidak datang dari luar, tetapi dari dalam dari kita sendiri. Kalau bukan kita yang peduli dan bergerak, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?
Akhir kata, artikel ini bukan untuk menggurui, tetapi untuk mengajak berpikir dan bertindak. Setiap anak muda Bengkulu punya pilihan: tetap duduk nyaman sebagai penonton, atau bangkit, melangkah, dan memainkan peran penting di tanah kelahirannya sendiri.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.