Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Maryam Sakinah

Pengemis Bisa Umrah, Kisah Inspiratif atau Ironis?

Agama | 2025-04-13 14:51:44
image credit: https://images.app.goo.gl/q1NMGUETb98UAeGs7

Fenomena unik terjadi di Bondowoso. Seorang pengemis berusia lanjut, sebut saja S (70), warga Desa Dawuhan Tenggarang, mengaku bisa berangkat umrah dari hasil mengemis setiap hari di sejumlah titik kota. Penghasilan harian yang ia kantongi tidak mainmain, berkisar 300 ribu rupiah hingga 600 ribu rupiah. Fakta ini terungkap saat razia Satpol PP yang menjaring sejumlah gepeng di sekitar lampu merah Kademangan, SPBU Tamansari, dan titik lainnya.

Apa yang terjadi tentu mencengangkan publik. Di tengah upaya pemerintah mengentaskan kemiskinan, justru seorang pengemis yang secara posisi sosial mestinya berada di lapisan bawah, malah bisa menabung dan menunaikan ibadah ke Tanah Suci. Lalu, apakah ini kisah inspiratif atau justru cermin buram dari sistem ekonomi yang cacat?

Kapitalisme dan Ilusi Kesejahteraan

Fenomena “pengemis bisa umrah” bukan pertanda sistem ekonomi berjalan baik. Sebaliknya, ini adalah ironi pahit yang muncul dari sistem kapitalisme yang menelantarkan rakyat. Sistem ini hanya memberikan ruang sejahtera bagi mereka yang punya akses modal dan jaringan. Sementara mereka yang tak memiliki daya saing, dibiarkan bertarung sendiri dalam kerasnya kehidupan.

Kapitalisme menempatkan negara hanya sebagai pengatur (regulator), bukan sebagai penjamin kesejahteraan. Negara lebih sibuk merazia dan menertibkan, daripada hadir sebagai pelayan publik yang menyejahterakan. Maka, tak heran jika sebagian rakyat “menemukan cara sendiri” untuk bertahan, termasuk menjadikan belas kasihan masyarakat sebagai sumber penghidupan.

Bukankah ini bukti bahwa negara gagal memastikan hak dasar rakyat untuk hidup layak, bekerja dengan martabat, dan terbebas dari kemiskinan?

Mengemis: Bukan Sekadar Masalah Sosial

Islam memandang aktivitas meminta-minta (mengemis) sebagai tindakan yang tidak terpuji, apalagi bila dilakukan tanpa kebutuhan mendesak, atau bahkan sebagai ladang pencaharian.

Islam menekankan kehormatan hidup dengan bekerja, bukan bergantung pada pemberian orang lain. Bahkan, mengangkat kayu bakar sendiri lebih mulia daripada sekadar meminta-minta sebagaimana sebuah kisah pada masa Rasulullah saw.

Suatu hari, ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. mengadu tentang kefakirannya. Ia meminta bantuan, berharap diberi sesuatu untuk mengatasi kesulitannya.

Namun, alih-alih langsung memberinya harta atau makanan, Rasulullah saw. melakukan sesuatu yang luar biasa. Beliau bertanya, “Apakah kamu memiliki sesuatu di rumahmu?”

Orang itu menjawab, “Ya, saya memiliki selembar kain yang bisa menutupi tubuh saya dan sebagian bisa saya jadikan alas tidur, dan saya juga punya mangkuk.”

Maka Rasulullah saw. berkata, “Bawalah keduanya kepadaku.”

Lelaki itu pun membawanya. Rasulullah saw. kemudian menjual barang-barang itu seharga dua dirham. Lalu beliau bersabda, “Gunakan satu dirham untuk membeli makanan bagi keluargamu, dan satu dirham lagi belikan kapak.”

Rasulullah saw. kemudian membuatkan gagang kapak itu dan memberikannya kepada lelaki tersebut, lalu bersabda, “Pergilah, carilah kayu bakar dan juallah. Jangan datang menemuiku selama lima belas hari.”

Lelaki itu pun pergi. Ia bekerja mencari kayu bakar, lalu menjualnya di pasar. Setelah dua minggu, ia datang kembali kepada Nabi Muhammad saw. dengan wajah berseri. Dia telah memperoleh sepuluh dirham. Uang itu ia gunakan untuk membeli pakaian dan makanan.

Melihat hasil kerja kerasnya, Rasulullah saw. bersabda, “Ini lebih baik bagimu daripada datang meminta-minta yang akan menjadi noda pada wajahmu di Hari Kiamat. Meminta-minta itu tidak diperbolehkan kecuali bagi tiga golongan: orang yang sangat fakir, orang yang terlilit utang, atau orang yang terkena musibah dahsyat.” (HR. Abu Dawud, no. 1641; dinilai hasan oleh Al Albani)

Dalam hadis lainnya, Rasulullah saw. bersabda, "Barang siapa meminta-minta kepada manusia dengan tujuan memperbanyak hartanya, maka ia sedang meminta bara api. Maka hendaklah ia meminta sedikit atau banyak." (HR. Muslim no. 1041)

Rasulullah Saw. juga bersabda, “Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain hingga ia datang pada hari kiamat dengan wajah tanpa daging.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam kisah di atas, tatkala Rasulullah saw. melarang perbuatan meminta-minta, disertakan juga solusinya, yakni memberi alternatif modal dan ide pekerjaan. Ternyata, laki-laki itu berhasil membuktikan bahwa selama berusaha, akan selalu ada jalan keluar untuk mengatasi kesulitan ekonominya.

Solusi Tuntas Islam: Sistemis dan Manusiawi

Berbeda dengan kapitalisme yang hanya memperbolehkan rakyat “bertarung bebas” di pasar kerja dan hanya turun tangan lewat program tambal sulam, Islam hadir dengan solusi sistemis yang mengakar.

1. Negara sebagai penanggung jawab kesejahteraan rakyat. Negara wajib memenuhi kebutuhan dasar rakyat baik pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Ini bukan sekadar slogan, tapi kewajiban syar’i. Selama 13 abad sejarah panjang peradaban Islam, negara tidak pernah gagal dalam menyejahterakan rakyatnya.

2. Distribusi kekayaan secara adil. Islam mencegah penumpukan harta pada segelintir elite. Zakat, infaq, sedekah, wakaf, dan ghanimah adalah mekanisme distribusi yang menjamin hak fakir miskin terpenuhi secara terstruktur.

3. Larangan eksploitasi rakyat. Sistem Islam melarang menjadikan kebutuhan dasar sebagai komoditas dan pengelolaannya diserahkan pada swasta. Negara akan mengelolanya dengan prinsip memberikan layanan terbaiknya bagi umat, seperti di sektor pendidikan, layanan kesehatan, air, energi, dan transportasi umum dikelola negara untuk kesejahteraan, bukan keuntungan.

4. Harta milik umum dikelola negara. Pengelolaan barang tambang, air, hutan, dan sumber energi sepenuhnya dikelola negara dengan tujuan mewujudkan kemaslahatan umat.

Saatnya Kembali pada Aturan Ilahi

Fenomena gepeng bisa umrah adalah cermin dari dua kegagalan besar, yaitu kegagalan sistem kapitalisme dalam menjamin kesejahteraan dan kegagalan masyarakat dalam menakar secara adil siapa yang patut dibantu. Memberi pada pengemis tidak selalu bermakna kebaikan, jika sistem yang membuatnya mengemis tak juga diperbaiki.

Kini saatnya umat Islam tidak hanya prihatin, tetapi juga berpikir sistemis. Kesejahteraan bukan utopia, bila Islam dijadikan sebagai sistem hidup yang mengatur negara, ekonomi, dan sosial secara menyeluruh. Saatnya kita kembali meyakini bahwa solusi hakiki hanya datang dari aturan Ilahi. Jangan biarkan sistem rusak ini terus melanggengkan kemiskinan terselubung.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Komentar

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image