Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image R Dani Medionovianto

Jejak Kenangan di Kota Pelajar: Pertemuan yang Membawa Pulang ke Goettingen

Humaniora | 2025-04-13 08:55:23
Ito Erika Pardede dan Bang Riston bersama saya, setelah 20 tahun kita bertemu lagi. Dok. Pribadi

Di tengah hangatnya kota Medan (ketika berkesempatan berkunjung ke kota Medan, 10/04/2025), saya kembali dipertemukan dengan sosok yang pernah begitu dekat dalam hidup saya. Adalah Bang Riston dan Ito Erika, keluarga asal Sumatera Utara yang saya temui pertama kali bukan di tanah air, tetapi di belahan dunia lain, tepatnya di Kota Goettingen, Jerman, hampir dua dekade silam. Waktu itu tahun 2004, kami sama-sama sedang menempuh pendidikan di negeri orang. Saya program master, sementara Ito Erika sedang menuntaskan program doktoralnya di Georg-August-Universitat Goettingen, salah satu universitas ternama di Jerman.

Temen - temen Group Program Master di Goettingen University, Tahun 2004. (Saya ada di belakang pojok kiri jaket coklat). Dok. Pribadi

Pertemuan itu bukan hanya reuni, tapi juga perjalanan nostalgia. Saya masih ingat bagaimana Bang Riston menjadi sosok abang sekaligus mentor hidup di awal-awal kedatangan saya. Dari urusan mencari sepeda bekas sebagai alat transportasi, hingga mengenalkan saya pada Flohmarkt, pasar barang bekas yang berpindah tempat tiap akhir pekan, tempat kami berburu perabot rumah tangga dan perlengkapan sehari-hari tanpa harus membeli baru.

Kami bahkan nyambi bekerja menjadi loper koran, pengalaman yang tak terlupakan. Bang Riston termasuk yang memberi jalan agar saya bisa mendapat penghasilan tambahan. Bos kami bernama "Berger", nama yang sangat legendaris dan dikenal di kalangan mahasiswa Indonesia dan Asia yang bekerja paruh waktu sebagai pengantar koran. Kami pernah dimarahi karena keterlambatan, atau karena koran kami diacak-acak oleh pemuda mabuk. Pernah juga kami jatuh tergelincir saat salju menumpuk dan jalanan membeku. Tapi semua itu menjadi kisah yang selalu mengundang tawa saat dikenang kembali. Kami juga senang berburu "buangan berharga", barang-barang yang masih bagus tapi dibuang pemiliknya, sebuah tradisi Jerman yang memungkinkan kami hidup lebih hemat.

Kami hidup mandiri kala itu, dari menambal ban sepeda sendiri hingga memasak dan mengatur keuangan ketat sebagai mahasiswa rantau. Namun kebersamaan kami, terutama dengan keluarga Bang Riston – dengan putri mereka, Aster – menjadikan hidup di Goettingen jauh dari kesepian. Pertemuan yang membuat saya seneng mendengar kabar bahwa Aster kini telah menikah dan tinggal di Semarang.

Saya dan Ito Erika serta Aster 20 tahun lalu berfoto di depan Ganseliesel, perayaan ritual setelah Ito Erika Lulus Program Doktoral nya. Dok. Pribadi.

Belum lengkap rasanya berbicara tentang kenangan tanpa menyebut Kota Goettingen itu sendiri. Kota ini memang istimewa. Letaknya di negara bagian Niedersachsen (Lower Saxony), Jerman bagian tengah. Goettingen dikenal sebagai kota universitas (Universitatsstadt), karena hampir seluruh denyut kehidupannya bertumpu pada Georg-August-Universität Goettingen yang diresmikan dan berdiri sejak 1737. Kota ini kecil, tenang, dan nyaman, dengan infrastruktur yang sangat ramah bagi pesepeda dan pejalan kaki sangat cocok untuk para pelajar dan peneliti dari seluruh dunia.

Universitas Goettingen memiliki sejarah panjang dan telah melahirkan banyak ilmuwan ternama dunia. Kota ini juga multikultural, dengan komunitas mahasiswa internasional yang kuat. Bagi siapa pun yang ingin melanjutkan studi di Jerman, Goettingen adalah pilihan yang sangat ideal, tepat, tak hanya dari sisi akademik, tapi juga kualitas hidup dan keramahan lingkungan. Dari pengalaman pribadi, tinggal dan belajar di Goettingen adalah sebuah anugerah.

Salah satu tempat ikonik yang tak bisa dilupakan adalah Gänseliesel, sebuah pancuran berbentuk gadis kecil dengan angsa di tengah kota, tepatnya di depan gedung lama universitas. Tradisinya, setiap mahasiswa yang berhasil menyelesaikan ujian doktoralnya akan diarak menuju Ganseliesel dengan gerobak, tractor atau truck, sambil membawa hasil pertaniannya, terutama teman-teman dari Indonesia yang banyak kuliah di bidang pertanian dan mencium patung gadis tersebut. Saya pernah menyaksikan langsung tradisi ini, dan ikut dalam keriuhannya.Tradisi ini menjadi simbol keberhasilan sekaligus solidaritas antar mahasiswa.

Ganseliesel Goettingen Centrum. Ikonik yang terkenal dikalangan mahasiswa Goettingen University. Dok. Pribadi.

Kami menutup pertemuan dengan harapan dan doa. Semoga silaturahmi ini terus terjaga, dan semoga pengalaman hidup di Goettingen yang pernah kami lalui bisa menjadi inspirasi bagi generasi muda yang akan menempuh jalan serupa. Jejak kenangan di kota kecil nan bersejarah itu telah membentuk kami menjadi pribadi yang lebih kuat, mandiri, dan penuh makna.

Goettingen bukan hanya tempat belajar, tapi juga tempat belajar hidup. Dan pertemuan di Medan, saya seolah kembali ke sana, pulang ke kenangan yang tak pernah benar-benar pergi.

Terima Kasih Untuk Keluarga Besar Riston Doloksaribu dan Erika Pardede, atas pertemuannya dan cerita yang tidak pernah saya lupakan dalam hidup saya, semoga menjadi penyemangat, menjadi tali silaturahmi yang berkelanjutan.

Dan semoga cerita-cerita masa lalu itu tak hanya jadi kenangan, tapi juga pengingat betapa indahnya perjalanan hidup ini.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Komentar

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image