Tajassus di Era Digital
Agama | 2025-04-12 06:21:27
Fenomena tajassus atau mencari-cari kesalahan orang lain merupakan praktik yang merusak keharmonisan sosial dan bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji larangan terhadap tajassus dalam hadis Nabi Muhammad ﷺ secara tematik dan kritis, dengan menelusuri sanad, matan, dan kredibilitas para perawi hadis yang relevan. Melalui pendekatan kualitatif berbasis studi kepustakaan dan analisis sanad-matan, ditemukan bahwa larangan tajassus memiliki dasar yang kuat dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh perawi terpercaya. Hasil kajian menunjukkan bahwa Islam mendorong budaya husnuzan (berbaik sangka) dan pelestarian kehormatan individu, serta menolak praktik pengawasan sosial berbasis kecurigaan. Penelitian ini menegaskan pentingnya internalisasi nilai-nilai etika dalam interaksi sosial umat Islam, khususnya di era digital yang rawan pelanggaran privasi.
Islam sebagai agama yang komprehensif sangat menjunjung tinggi prinsip kehormatan, privasi, dan etika sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu larangan tegas yang terdapat dalam Al-Qur'an maupun hadis adalah praktik tajassus, yakni mencari-cari kesalahan atau aib orang lain secara tersembunyi. Dalam konteks sosial modern, perilaku ini kerap mewujud dalam bentuk pengintaian, peretasan privasi digital, hingga penyebaran aib atas nama dakwah atau kontrol moral.
Larangan tajassus bukan hanya soal etika, tetapi mencerminkan pandangan Islam yang menolak tatanan sosial berbasis kecurigaan. Hadis-hadis Nabi ﷺ menjadi rujukan utama untuk memahami sejauh mana larangan ini diberlakukan dan bagaimana seharusnya seorang Muslim bersikap dalam menghadapi kesalahan orang lain.
Penelitian tentang tajassus dalam perspektif hadis telah dilakukan oleh beberapa sarjana Muslim:
- Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin mengecam keras tajassus sebagai bagian dari penyakit hati.
- Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin mencantumkan hadis-hadis larangan tajassus dalam bab menjaga kehormatan.
- Yusuf al-Qaradawi (2002) dalam Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam menyoroti tajassus sebagai bagian dari pelanggaran HAM dalam sistem negara modern.
Salah satu hadis kunci terkait larangan tajassus:
"Wahai orang-orang yang telah beriman dengan lisannya namun keimanan belum masuk ke dalam hatinya! Janganlah kalian mengghibah kaum Muslimin dan jangan mencari-cari kesalahan mereka. Siapa yang mencari-cari kesalahan saudaranya, maka Allah akan mencari-cari kesalahannya. Dan barang siapa yang Allah cari kesalahannya, maka Allah akan mempermalukannya di rumahnya sendiri." (HR. Abu Dawud No. 4888; Hasan Shahih menurut al-Albani)
Hadis ini diriwayatkan dari:
- Abu Barzah al-Aslami → sahabat Nabi
- → Abu Dawud (Sulaiman bin al-Asy’ats) → penulis kitab Sunan Abu Dawud
Semua perawi dalam sanad ini tergolong tsiqah menurut ahli jarh wa ta’dil, dan hadis dinilai hasan shahih oleh Imam al-Albani.
Larangan tajassus berkaitan erat dengan larangan ghibah dan namimah, yang semuanya berpotensi menimbulkan fitnah dan rusaknya ukhuwah. Penafsiran hadis oleh ulama seperti Ibnu Hajar dan Imam an-Nawawi menekankan bahwa larangan ini berlaku universal, kecuali dalam konteks hukum pidana yang disahkan negara dengan adab syar’i.
Dalam konteks digital, tajassus mewujud dalam praktik peretasan data pribadi, penyebaran tangkapan layar percakapan pribadi, hingga konten yang membuka aib orang lain. Hal ini sangat bertentangan dengan maqashid syariah terkait hifzh al-‘irdh (menjaga kehormatan).
Larangan tajassus dalam hadis bersifat tegas dan komprehensif, dengan sanad kuat dan isi matan yang relevan sepanjang zaman. Islam memandang perlindungan kehormatan pribadi sebagai bagian dari integritas sosial dan kemanusiaan. Di era digital yang penuh eksploitasi privasi, larangan ini semakin aktual untuk dikaji dan diamalkan. Oleh karena itu, perlu disosialisasikan pemahaman tajassus bukan hanya sebagai dosa individu, tetapi sebagai tindakan sosial yang destruktif terhadap umat.
Daftar Pustaka
- Abu Dawud, Sunan Abu Dawud. Dar al-Fikr.
- Al-Albani, Muhammad Nasiruddin. (1985). Silsilat al-Ahadits al-Shahihah. Al-Maktab al-Islami.
- Al-Ghazali. Ihya’ Ulumuddin. Dar al-Minhaj.
- Imam Nawawi. Riyadhus Shalihin. Dar al-Ma’arif.
- Yusuf al-Qaradawi. (2002). Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam. Maktabah Wahbah.
- Ibn Hajar al-Asqalani. (n.d.). Fath al-Bari. Dar al-Ma’rifah.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
