Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ibnu Masri

Relokasi Warga Palestina ke Indonesia: Solusi Semu yang Berpeluang Menjadi Ancaman

Politik | 2025-04-11 15:47:47
Warga Gaza dipaksa melakukan relokasi dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Tak ada tempat aman di Gaza. (Sumber: https://banyuwangi.viva.co.id)

Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, baru-baru ini mengusulkan evakuasi korban luka dari Gaza ke Indonesia. Di atas kertas, langkah ini dikemas dalam bungkus kemanusiaan. Namun jika kita menyibak selapis demi selapis narasi ini, kita akan menemukan sesuatu yang jauh lebih kompleks—dan berbahaya. Apa yang terlihat sebagai upaya penyelamatan, bisa jadi adalah bagian dari agenda besar pengosongan Gaza, proyek diam-diam yang diamini Benjamin Netanyahu dan Donald Trump.

Tak bisa dimungkiri, warga Gaza yang ingin tetap tinggal di tanah kelahiran mereka adalah satu-satunya alasan kenapa Hamas, dan semangat perlawanan terhadap penjajahan, masih bertahan hingga hari ini. Tapi ketika relokasi dilakukan dengan dalih “evakuasi medis”, secara sadar atau tidak, kita sedang menjadi bagian dari mimpi buruk itu: membantu mengosongkan Gaza dari penghuninya sendiri.

Bayangkan, satu korban luka dari Gaza biasanya akan disertai minimal dua pendamping—anggota keluarga. Maka seribu korban bisa berarti tiga ribu orang. Dan itu baru tahap awal. Apakah ini akan berhenti di sana? Tidak. Ini baru pembuka.

Mengapa Negara Arab Menolak?

Menarik untuk dicermati, negara-negara Arab justru menolak menampung pengungsi Gaza. Mesir, Yordania, Arab Saudi—semuanya bersuara sama: tidak. Alasannya sederhana tapi dalam: mereka tahu bahwa warga Gaza dibesarkan dalam semangat perlawanan. Mereka adalah generasi yang hidup dan besar dalam ideologi penolakan terhadap dominasi Barat dan boneka-boneka rezim Arab.

Bagi para penguasa Arab, menerima warga Gaza berarti membuka pintu bagi kebangkitan gerakan Islam, dan itu mengancam kekuasaan mereka selama ini. Doktrin Ikhwanul Muslimin, semangat perjuangan, dan keberanian menolak tunduk kepada Amerika dan penjajah israel bisa menyebar ke dalam negeri mereka. Status mereka sebagai mitra strategis Amerika dan sekutunya pun terancam. Maka, ketika Indonesia muncul sebagai alternatif, mereka pun "bersyukur dalam diam". Biarlah negeri yang jauh itu memikul beban geopolitik yang mereka tolak.

Wacana relokasi warga Palestina, khususnya dari Jalur Gaza, ke negara-negara ketiga telah lama beredar dalam lingkup geopolitik internasional. Namun belakangan ini, isu tersebut mulai menyerempet ke kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Sebuah wacana berbahaya yang patut dicermati secara serius.

Gagasan ini sempat terdengar berasal dari kubu Perdana Menteri Penjajah israel, Benjamin Netanyahu. Walaupun sempat dibantah oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia, arah kebijakan itu semakin nyata ketika Netanyahu bertemu dengan Donald Trump di Washington, Senin (7/4). Dalam pertemuan tersebut, keduanya menyepakati bahwa solusi bagi Gaza adalah relokasi massal, atau dengan kata lain: mengosongkan Gaza dari penduduknya. Sebuah langkah strategis untuk membentuk ulang demografi kawasan, sekaligus “mengeliminasi” Hamas dengan cara melenyapkan masyarakat yang melindunginya.

Di sinilah letak persoalan mendasarnya: relokasi warga Gaza bukanlah solusi kemanusiaan, melainkan bagian dari skenario panjang penghapusan Palestina sebagai entitas geografis dan nasional. Maka jika Indonesia sampai terlibat dalam proyek ini, sama artinya kita mendukung apa yang terjadi di Gaza saat ini dengan agenda-agenda yang telah dipersipakan oleh penjajah israel dan sekutunya Amerika.

Dampak Sosial yang Nyata: Dari Empati Menjadi Beban

Namun anggaplah sejenak bahwa relokasi ini benar-benar terjadi. Ribuan, bahkan puluhan ribu warga Palestina dipindahkan ke Indonesia. Apa yang akan terjadi?

Pertama-tama, harus diakui bahwa Indonesia adalah bangsa yang memiliki empati tinggi terhadap perjuangan Palestina. Selama puluhan tahun, negeri ini konsisten mendukung kemerdekaan Palestina dan mengirimkan berbagai bantuan melalui NGO dan jalur diplomatik. Tapi empati bukan satu-satunya variabel dalam perhitungan sosial. Ketika pengungsi dalam jumlah besar masuk ke satu negara, dinamika sosial ekonomi berubah drastis.

Pengalaman dengan pengungsi Rohingya bisa dijadikan cermin. Di awal, masyarakat Indonesia—khususnya di Aceh—menyambut mereka dengan hangat. Namun seiring waktu, ketika tidak ada sistem yang jelas dalam pengelolaan, simpati publik menurun drastis. Pengungsi ditolak, diusir, bahkan menjadi objek penghinaan. Pemerintah daerah bingung, masyarakat lokal merasa terbebani, dan akhirnya, niat baik berubah menjadi luka sosial yang mendalam.

Hal serupa bisa terjadi dengan pengungsi Palestina. Mereka yang selama ini kita bela dan doakan, justru bisa menjadi sosok yang kita jauhi jika realitas di lapangan tak dikelola dengan baik. Bukan karena kita berubah jahat, tapi karena sistem sosial kita belum siap.

Kapasitas Negara dan Beban Ekonomi Tambahan

Masalah kedua yang krusial adalah soal kapasitas. Di tengah tekanan ekonomi global, subsidi yang terus dipangkas, dan angka pengangguran yang masih tinggi, Indonesia menghadapi tantangan internal yang tidak ringan. Menambah ribuan orang ke dalam sistem sosial yang sudah rapuh hanya akan memperburuk situasi.

Dari mana kebutuhan hidup mereka akan dipenuhi? Apakah negara sanggup menjamin pendidikan, kesehatan, tempat tinggal, dan pekerjaan bagi mereka? Jika tidak, maka beban ini akan berpindah ke masyarakat dan lembaga-lembaga kemanusiaan yang selama ini justru berfungsi untuk mengirim bantuan ke Palestina.

NGO yang selama ini bekerja keras di Gaza, Tepi Barat, atau kamp-kamp pengungsian di Lebanon dan Yordania, akan dialihkan fungsinya menjadi pengelola pengungsi di dalam negeri. Fokus mereka akan pecah. Dana yang seharusnya digunakan untuk memperkuat rakyat Palestina dengan identitasnya, mempertahankan tumpa darahnya, kini habis untuk menyambung hidup mereka di tanah asing. Dan ketika mereka tidak lagi terlihat berjuang, simpati publik pun akan perlahan surut.

Stigma, Polarisasi, dan Potensi Diskriminasi

Dampak lain yang lebih halus namun sangat berbahaya adalah munculnya stigma. Ketika pengungsi mulai dianggap sebagai beban, maka perlahan-lahan muncul citra negatif terhadap Palestina. "Ngapain bantu Palestina? Palestina saja di sini jadi benalu,"—narasi ini sangat mungkin tumbuh, terutama di media sosial, tempat opini mudah dibentuk dan digiring.

Yang lebih tragis, relokasi ini bisa menciptakan jarak antara rakyat Indonesia dan rakyat Palestina. Bukan lagi karena kita tidak peduli, tetapi karena mereka ditempatkan dalam posisi yang memancing resistensi sosial. Inilah titik di mana proyek relokasi menjadi senjata balik yang menghancurkan solidaritas internasional terhadap Palestina.

Lambat laun, akan timbul penolakan terhadap NGO-NGO Palestina, tuduhan pengelolaan dana yang tidak transparan, bahkan kriminalisasi aktivitas kemanusiaan. Semua ini bisa berujung pada delegitimasi perjuangan Palestina dari dalam negeri Indonesia. Ini adalah skenario yang menguntungkan musuh-musuh Palestina, dan jelas merugikan perjuangan jangka panjang.

Solusi Alternatif: Memperkuat dari Dalam

Daripada terlibat dalam skenario relokasi massal, Indonesia seharusnya memperkuat peran sebagai pendukung perjuangan di tanah Palestina. Ini bisa dilakukan dengan memperbesar bantuan kemanusiaan, mendukung diplomasi internasional yang menekan penjajah israel, serta memfasilitasi pendidikan dan pelatihan bagi warga Palestina agar mereka bisa kembali membangun tanah airnya.

Relokasi bukan solusi. Ini hanya pengalihan masalah, bahkan dalam jangka panjang bisa menjadi pemusnahan identitas nasional Palestina. Tidak ada bangsa yang bisa merdeka di tanah orang lain. Seperti halnya bangsa Indonesia yang berjuang di tanahnya sendiri melawan penjajahan, maka bangsa Palestina pun harus bertahan di Gaza, di Al-Quds, di tanah-tanah yang diwariskan oleh sejarah dan agama mereka.

Relokasi juga bukan pengurangan penderitaan, melainkan pengaburan realitas. Dunia akan melihat Gaza yang "kosong", dan mengira masalah telah selesai. Padahal yang terjadi justru lebih parah: bangsa yang tercerabut dari akarnya, kehilangan sejarah, kehilangan tanah, dan akhirnya kehilangan identitas.

Logika sederhananya, ketika rakyat Palestina bertahan di atas tanah dan rumahnya saja dihancurkan, diratakan dengan tanah lalu dirampas. Apalagi ketika dalam kondisi Gaza tak lagi berpenghuni, mustahil penjajah israel membiarkannya begitu saja. Sudah pasti mereka duduki dan mendirikan bangunan di atas tanah tak berpenghuni itu. Selanjutnya, pupuslah harapan warga Gaza untuk kembali pulang. Mereka akan terlunta-lunta tak memiliki identitas. Jejak hidup mereka di Gaza tak lagi tersisa. Mereka diposisikan sebagai manusia tanpa tempat tinggal.

Penutup

Relokasi warga Palestina ke Indonesia adalah solusi semu yang berpotensi menjadi musibah sosial. Ia bukan hanya gagal menyelesaikan masalah, tetapi justru membuka pintu bagi masalah-masalah baru: beban ekonomi, konflik sosial, delegitimasi perjuangan, dan hilangnya simpati publik. Indonesia harus tetap berdiri bersama Palestina, tapi bukan dengan memindahkan rakyatnya ke sini. Kita harus bantu mereka bertahan di tanah mereka sendiri—karena di sanalah tempat perjuangan sejati itu berada.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Komentar

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image