Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ibnu Masri

Relokasi Gaza: Strategi Geopolitik untuk Melenyapkan Gaza

Politik | 2025-04-09 11:28:52
Warga Palestina berjalan melewati puing-puing rumah dan bangunan, saat gencatan senjata antara Israel dan Hamas, di Jabalia di Jalur Gaza utara, 19 Januari 2025. Tempo/REUTERS/Mahmoud Al-Basos

Dalam lanskap geopolitik Timur Tengah, Jalur Gaza selalu menjadi episentrum konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina. Namun, perkembangan terbaru menunjukkan bahwa konflik ini sedang memasuki babak baru yang jauh lebih sistematis dan mengkhawatirkan: skenario relokasi massal warga Gaza ke luar wilayah Palestina. Pertemuan antara Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu, dan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menyiratkan agenda besar yang kini tidak lagi disembunyikan—yakni pengosongan Jalur Gaza melalui tekanan multidimensi demi menciptakan “zona bebas” dari penduduk Palestina.

Relokasi sebagai Solusi atau Strategi Penghapusan?

Dalam pertemuan tersebut, Trump secara eksplisit menyebut Gaza sebagai "zona kematian" yang akan membutuhkan waktu puluhan tahun untuk dibangun kembali. Berdasarkan asumsi itu, ia mengusulkan solusi relokasi warga Gaza ke negara-negara lain, dengan klaim bahwa beberapa negara telah menyatakan kesiapannya untuk menampung. Alasan yang digunakan adalah isu kemanusiaan: menyelamatkan warga Gaza dari kelaparan, pembunuhan, dan penderitaan. Namun, ketika hal ini dibaca dalam kerangka geopolitik yang lebih luas, tampak jelas bahwa yang sedang diupayakan bukan sekadar penyelamatan, melainkan perpindahan paksa yang terselubung.

Netanyahu pun mengamini rencana tersebut, dan menambahkan bahwa relokasi harus didukung dengan tekanan militer dan ekonomi yang intens: agresi tanpa henti, blokade total, dan pelarangan terhadap semua bentuk bantuan kemanusiaan. Semua ini dilakukan untuk memaksa warga Gaza sampai pada satu titik: merasa tidak memiliki pilihan lain selain meninggalkan tanah air mereka secara "sukarela."

Desain Relokasi: Diplomasi Tekanan dan Aliansi Politik

Dalam perspektif realpolitik, skenario relokasi ini membutuhkan legitimasi internasional. Oleh karena itu, Amerika Serikat dan Israel berusaha membangun koalisi negara-negara yang bersedia menampung warga Gaza. Negara-negara ini, tentu saja, adalah entitas yang memiliki ketergantungan ekonomi atau politik terhadap Amerika atau berada di bawah pengaruh lobi Israel. Pertanyaannya adalah: tekanan diplomatik seperti apa yang digunakan agar negara-negara tersebut menerima agenda ini? Dan sejauh mana mereka mampu menahan arus narasi kemanusiaan yang disusupi kepentingan geopolitik?

Relokasi ini bukan sekadar upaya memindahkan penduduk. Ia adalah bagian dari strategi besar untuk menghapus entitas Gaza dari peta, dan pada akhirnya menghilangkan isu Palestina secara keseluruhan. Dalam benak para perancangnya, Gaza harus menjadi ruang kosong yang steril dari perlawanan bersenjata maupun ideologi perjuangan.

Gaza sebagai Hambatan Geostrategis

Dari sudut pandang Israel, keberadaan Gaza dalam status seperti sekarang merupakan ancaman langsung terhadap stabilitas internal dan posisi mereka dalam tatanan keamanan regional. Berbeda dengan Tepi Barat yang telah didemiliterisasi dan dikontrol ketat, Jalur Gaza masih menjadi simbol perlawanan—terutama karena kehadiran Hamas yang menolak tunduk pada dominasi Israel dan menolak skenario perdamaian sepihak.

Bagi Israel, satu-satunya cara untuk mematahkan perlawanan ini adalah dengan membuang sumber perlawanan tersebut dari akarnya: yakni dengan mengusir rakyatnya. Maka digunakanlah strategi klasik kolonialisme: membuat hidup tidak tertahankan bagi penduduk lokal, hingga mereka “memilih” untuk pergi. Di sini, kelaparan, kehausan, keterisolasian, dan kematian menjadi instrumen strategi, bukan efek samping semata.

Relokasi dalam Cermin Sejarah Palestina

Relokasi bukan fenomena baru dalam sejarah Palestina. Pada tahun 1948, sekitar 750.000 warga Palestina diungsikan ke Lebanon, Suriah, dan Yordania atas nama “keselamatan sementara.” Namun, mereka tidak pernah kembali. Rumah-rumah mereka diduduki oleh pendatang Yahudi, dan mereka tetap hidup di kamp-kamp pengungsian hingga hari ini. Sejak saat itu, strategi relokasi digunakan bukan untuk penyelesaian konflik, melainkan untuk menghapus identitas dan hak kembali warga Palestina.

Pengalaman sejarah ini menjadikan rakyat Gaza sangat skeptis terhadap narasi relokasi yang diklaim bersifat "manusiawi." Mereka memahami bahwa setiap pengusiran, betapapun dibungkus dalam bahasa kemanusiaan, pada hakikatnya adalah bagian dari agenda penghapusan Palestina dari memori geopolitik global.

Penutup: Relokasi sebagai Upaya Penghilangan

Jika kita memaknai relokasi saat ini dalam konteks sejarah, politik, dan dinamika internasional, maka sulit untuk menyebutnya sebagai solusi. Ia lebih menyerupai sebuah operasi geopolitik terencana yang bertujuan menghilangkan eksistensi Gaza sebagai entitas teritorial, sosial, dan politik. Dengan demikian, isu Palestina dapat ditenggelamkan, dan Israel dapat memperluas pengaruhnya tanpa menghadapi perlawanan berarti.

Relokasi bukan hanya perpindahan fisik, tetapi penghapusan eksistensial. Dan dunia internasional, jika masih mengaku menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, tidak boleh memalingkan wajah dari kenyataan ini.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Komentar

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image