
Syawal, Halalbihalal, dan Katup Pengaman Sosial
Agama | 2025-04-09 08:31:05Sebagai negeri muslim terbesar dunia, Indonesia memiliki corak keberislaman yang khas, dibandingkan misalnya dengan negeri-negeri muslim di Jazirah Arab. Banyak syariah agama yang diekspresikan secara kreatif dan menjelma menjadi budaya agama yang otentik dari Islam Indonesia. Salah satunya ditemui dalam tradisi di sekitar momen idulfitri, yakni Syawalan dan halalbihalal.
Dua tradisi keagamaan tersebut membuat suasana berlebaran di Indonesia terasa lebih lama. Di Kota Pekalongan dan sekitar misalnya, sebagian besar masyarakat eggan memulai aktivitas kerja normal sebelum tiba momentum Syawalan, yakni tanggal 8 Syawal dalam kalender hijriah atau sepekan setelah idulfitri.
Tradisi ini terutama popular bagi masyarakat Krapyak Kota Pekalongan, utamanya lagi karena adanya tradisi pemotongan lopis raksasa di momen tanggal 8 Syawal itu. Sejak dulu, masyarakat Krapyak membiasakan diri melaksanakan puasa Syawal selama 6 hari berturut-turut, yakni tanggal 2-7 Syawal, sehingga momen Syawalan di tanggal 8 itu serasa jadi lebaran kedua bagi mereka. Bahkan, tradisi saling berkunjung dan bersalam-salaman antar tetangga dan saudara di Krapyak ini baru dilaksanakan secara massal terhitung mulai Syawalan itu, demi menghormati masyarakat yang masih melaksanakan puasa sunah.
Tradisi Syawalan juga rupanya dikenal di banyak daerah, terutama di Jawa Tengah dengan bentuk yang beragam. Ada yang berwujud ziarah ke makam leluhur seperti di Kaliwungu Kendal, ada pula yang berkirim ketupat di 8 Syawal seperti di Tegal, sehingga tanggal 8 Syawal lazim dinamai bada kupat (lebaran ketupat). Tetapi semua itu semakin mengonfirmasi tradisi keagamaan berhari raya yang beragam dan panjang di Indonesia, yang dibingkai dengan semangat silaturahmi.
Dalam daftar tradisi keagamaan tersebut, muncul juga istilah halalbihalal yang kini telah menjadi budaya massal yang menaional. Halalbihalal diadakan di semua kalangan di segala lapisan masyarakat, dari entitas sosial terkecil keluaga lalu RT, sampai level istana negara. Dari instansi pemerintahan, swasta sampai organisasi kemasyarakatan dan politik.
Halalbihalal sendiri merupakan frasa khas muslim Indonesia, karena istilah ini juga tidak dikenal di teks agama (dalil) maupun praktik keberagamaan masyarakat Arab dan lainnya. Konon, istilah ini diperkenalkan oleh para kiai pesantren sebagai upaya mentradisikan sikap saling menghalalkan khilaf dan alpa dalam kaitan relasi haqul adami (hablumminannas). Tradisi halalbihalal setidaknya bertolak dari 2 aspek.
Pertama, adanya kesadaran sebagai manusia yang tak mungkin luput dari kesalahan. Kedua, ini terkait dengan keberlanjutan semangat Ramadan dan idulfitri. Bahwa puasa yang spesial dan personal itu bisa mengembalikan manusia pada kualitas kesucian diri di idulfitri. Bagaimana dengan mengembalikan kesucian manusia dalam statusnya sebagai makhluk sosial, maka itulah pentingnya sikap meminta dan memberi maaf.
Namun demikian, faktanya perkara meminta dan memberi maaf bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Kata orang, dibutuhkan keberanian ekstra untuk mengakui salah dan meminta maaf, dan butuh kelapangan hati untuk bisa memaafkan kesalahan orang lain. Ada potensi malu hingga gengsi yang membuat sikap meminta dan memberi maaf sulit untuk dibiasakan.
Maka melalui momentum idulfitri, Syawalan, dan halalbihalal, meminta dan memberi maaf ini justru ditradisikan menjadi perilaku massal, bahkan semisal diobral. Jadi melalui tradisi halalbihalal ini harapannya setiap orang semakin termotivasi untuk meminta dan memberi maaf.
Silaturahmi sebagai Katup Pengaman Sosial
Baik tradisi beridulfitri, Syawalan maupun halalbihalal, ketiganya sejatinya dibenangmerahi oleh titik temu bernama silaurahim atau silaturahmi. Ya, bagaimana antar tetangga saling berkunjung, keluarga dan saudara saling menyambangi, dan antar teman saling bertemu di momen Syawal, semuanya berangkat dari semangat bersilaturahmi. Semangat untuk saling menyambung simpul rahim, tidak hanya keluarga, lebih dari itu simpul rahim sebagai anak cucu Adam.
Bagi hubungan kekerabatan, tradisi silaturahim ini mutlak diperlukan, terutama dengan membawa serta anak-anak hingga cucu. Harapannya, ikatan ini bisa disosialisasikan secara terus menerus antar generasi, sehingga mereka tak ahistori, tidak alpa dengan asal usulnya. Betapa pentingnya merawat silaturahim ini sampai-sampai Rasulullah Saw menyebut siapapun yang memutus simpul ini sebagai tak akan kasih sayang. Sebab surga sendiri adalah wujud dari kasih saying (rahmat) Allah kepada hamba-Nya, sehingga hanya pantas dihuni mereka yang menebar kasih sayang selama di dunia.
Dari tradisi idulfitri, syawalan, dan halalbihalal ini setidaknya ada empat keutamaan yang berpeluang kita dapatkan ataupun perlu kita ikhtiarkan perwujudannya. Pertama, sikap meminta dan memberi maaf adalah sikap terpuji di mata Allah maupun di mata sesama manusia. Tetapi uniknya, karakter pemaaf ini seperti menempati kedudukan istimewa di mata Tuhan, bahkan termasuk dalam karakter takwa, sebuah karakter yang dituju dari ibadah puasa Ramadan.
Hal ini ditegaskan Allah dalam QS. Ali Imran ayat 133-134. Disebutkan, beberapa ciri orang bertakwa antara lain, suka berderma baik di masa lapang maupun sulit, lalu mereka yang mampu menahan amarahnya, serta mereka yang mau memaafkan kesalahan orang lain. Karakter-karakter positif ini amat disukai Allah, sehingga Allah menjanjikan surga bagi mereka.
Kenapa memaafkan itu lebih tinggi kedudukannya dari meminta maaf? Karena meminta maaf itu adalah kewajiban bagi siapapun yang melakukan kesalahan terhadap sesama. Sementara memaafkan sejatinya bersifat opsional, sehingga ketika seseorang memilih memaafkan, maka kualitasnya menjadi lebih berbobot dari melaksanakan kewajiban.
Kedua, dengan tradisi halalbihalal ini bulan Syawal bisa menjadi momentum rekonsiliasi sosial antar kita, baik dari level lingkup RT sampai kehidupan berbangsa. Sebab dalam konteks kehidupan sosial, satu perilaku negative (kesalahan) selalu berpotensi mengganggu keseimbangan tatanan atau ekosistem di mana kita berada. Bahkan konflik personal di antar anggota keluarga saja bisa mengganggu harmonisasi kehidupan tingkat RT kan, maka apalagi jika konflik itu ada di level kehidupan berbangsa, misal pasca hajat pemilu atau pilkada.
Maka tradisi seperti halalbihalal secara sosiologis menjadi salah satu katup pengaman sosial, karena ia secara alamiah bisa menghangatkan kembali ruang-ruang interaksi antar kita. Sebagai muslim, bukankah Al-Qur'an menuntut kita untuk terus memainkan peran sebagai juru damai, rekonsiliator yang menengahi dan mengislahkan ruang-ruang sosial kita?
Bertolak dari QS. Al-Hujurat: 10, seorang muslim dituntut selalu menjadi pendamai saat melihat saudaranya berkonflik, bukan justru mengipasi api, menebar provokasi di sana sini.
Ketiga, silaturahim dan halalbihalal adalah sebuah ikhtiar kita terhindar dari situasi pailit saat di akhirat nanti. Ada salah satu hadis populer tentang ini yang semestinya membuat para kiai dan ustadz, para pengimbau kebaikan, lebih takut melebihi seorang awam.
Dalam hadis ini, gambaran tentang orang yang bangkrut (muflis) tersebut adalah seolah-olah kita yang membacanya. Membayangkan kita datang menghadap Allah di hari kiamat dengan bekal kebaikan (ibadah) yang banyak, optimis dan bangga bakal masuk surga, tetiba saja langkah kita disurga dihentikan oleh serangkaian interupsi bertubi-tubi dari orang-orang yang pernah kita sakiti, kita zalimi. Mereka menuntut keadilan di hadapan Allah.
Maka sejurus kemudian, setelah tuntutan tersebut terkonfirmasi benar, bekal pahala kita yang banyak itu harus terus menyusut untuk membayar orang-orang yang telah kita sakiti. Lal, sampai tahap di mana pahala kebaikan kita habis, tetapi masih ada orang-orang yang menuntut pertanggungjawaban perilaku buruk kita di dunia, akhirnya dosa-dosa orang yang kita zalimi itu dilimpahkan untuk kita.
Alhasil, alih-alih masuk surga karena bekal kebaikan yang banyak, kita akhirnya dilemparkan ke neraka oleh sebab pahala kita yang habis, dan timbangan dosa yang mendadak bertambah. Maka penting untuk salig menghalalkan khilaf selama di dunia agar kelak kita tak bernasib sebagai seorang yang pailit di akhirat.
Terakhir, dalam semangat bersilaturahim dan berhalalbihalal, juga ada jalan rezeki yang semakin lapang. Nabi Saw mengabarkan, siapapun yang senang dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.
Panjang umur di sini mungkin bisa dipahami secara kualitatif sebagai usia yang efektif dan produktif, optimal manfaatnya. Mekanismenya juga bisa sama dengan diluaskan rezeki, karena secara sosial silaturahmi bisa bermakna sebagai kerja-kerja investatif atas sumberdaya sosial. Setiap kali kita bersilaturahim sejatinya kita sedang merawat relasi dan jejaring sosial, yang entah kapan saatnya akan kita peroleh dampak kemanfaatannya.
Bisa jadi, suatu waktu saat Anda sedang kesulitan mencari kerja, ada teman atau saudara yang memberikan informasi lowongan, hingga kita akhirnya mendapatkan pekerjaan. Atau saat kita sedang ingin berbagi project yang menguntungkan, tiba-tiba teringat dengan kawan lama yang mungkin setiap tahun rajin bersilaturahmi.
Suatu Waktu Anda sedang terburu-buru berperjalanan, karena harus menghadiri undangan menjadi narasumber misalnya. Dengan mengendarai mobil, estimasi taktu yang dibutuhkan untuk sampai lokasi acara adalah 3 jam, misal. Tetapi di separuh perjalanan mendadak ban mobil bocor, dan Anda pusing pastinya. Karena untuk mencari bengkel dan mengganti ban, butuh waktu kurang lebih satu jam, bisa telat dong tiba di acara.
Tanpa diduga, seorang teman yang memang tinggal di wilayah itu lewat dan membantu Anda. Sementara mobil Anda masuk bengkel, dia rela pinjamkan mobilnya agar Anda bisa tiba di acara tepat waktu. Saat itu, waktu satu jam yang semestinya habis tak sesuai tujuan berhasil dicegah, sehinggga Anda bisa tetap melanjutkan agenda untuk mengisi acara. Saat itulah usia Anda efektif dan produktif, tidak "terbuang" sia-sia. Dan itu semua terkait dengan aktivitas silaturahmi yang mungkin sebelumnya Anda rawat dengan teman Anda itu.
Ya, begitulah keutamaan dari aktivitas silaturahmi dan termasuk berhalalbihalal, disadari atau tidak akan memberikan juga dampak manfaat untuk kita, besok ataupun nanti. Di dunia maupun nanti di akhirat. Wallahu a'lam. (*)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.