Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Khairunnisa Al-Araf

Kenapa Produk Wajib Pakai Label Halal, Tapi Jarang Ada Label Haram? Ini Penjelasan Lengkapnya

Kebijakan | 2025-04-07 13:04:49
Foto: CEphoto Uwe Aranas

Jakarta - Pernahkah Anda bertanya-tanya, kenapa di kemasan produk kita sering menjumpai label halal, tapi hampir tidak pernah melihat label haram? Padahal, di tengah meningkatnya kesadaran konsumen muslim akan pentingnya kehalalan sebuah produk, informasi ini sangat krusial.

Label halal sudah umum digunakan dan bahkan menjadi standar penting yang mendampingi keputusan pembelian masyarakat. Namun, label “tidak halal” atau “haram” masih sangat jarang terlihat, meskipun aturannya sudah jelas di dalam Undang-Undang.

Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) sebenarnya telah mengatur bahwa tidak hanya produk halal yang harus diberi label, produk yang tidak halal pun wajib mencantumkan keterangan “tidak halal”. Hal ini bertujuan untuk memberikan perlindungan menyeluruh bagi konsumen, khususnya umat Muslim, agar tidak mengonsumsi produk yang dilarang dalam ajaran agama.

Namun, mengapa yang diutamakan justru pelabelan halal dan bukan pelabelan haram? Salah satu alasannya adalah karena istilah “haram” masih dianggap memiliki konotasi negatif yang kuat di masyarakat. Menempelkan label “haram” pada produk dianggap bisa menurunkan citra produk tersebut secara drastis. Oleh karena itu, sebagai jalan tengah, muncul wacana untuk menggunakan istilah “tidak halal” sebagai alternatif yang lebih netral dan dapat diterima.

Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, Nur Syam, menegaskan bahwa memberikan label halal lebih penting untuk memastikan kepercayaan konsumen. Namun, bukan berarti label tidak halal dapat diabaikan. Justru, pelaku usaha yang memproduksi atau menjual produk mengandung unsur haram seperti babi atau alkohol, wajib mencantumkan keterangan tersebut sejak berlakunya UU JPH pada 17 Oktober 2014.

Sayangnya, aturan ini masih luput dari perhatian banyak pelaku usaha. Pemerintah pun dinilai terlalu fokus pada target sertifikasi halal, sementara kewajiban mencantumkan label tidak halal belum disosialisasikan secara maksimal. Akibatnya, konsumen Muslim bisa saja tanpa sadar mengonsumsi produk haram karena tidak ada peringatan yang jelas pada kemasan atau di lokasi penjualan.

Lebih ironis lagi, peraturan terkait sanksi atas pelanggaran pencantuman label tidak halal dianggap masih terlalu ringan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2021, pelanggaran ini hanya dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis. Padahal, jika pelaku usaha terus mengabaikan peringatan tersebut, belum ada ketentuan yang mengatur sanksi lanjutan yang lebih tegas.

Sebelum revisi UU melalui Omnibus Law, ketentuan pelanggaran ini bisa dikenakan denda. Namun, denda tersebut dihapus, dan kini sanksi administratif menjadi satu-satunya pilihan. Hal ini tentu saja membuat penegakan aturan menjadi kurang efektif dan tidak memberikan efek jera bagi pelanggar.

Padahal, prinsip perlindungan konsumen yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 menegaskan bahwa konsumen berhak mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur. Dalam konteks ini, informasi tentang ketidakhalalan suatu produk menjadi bagian penting yang tidak boleh diabaikan, terutama di negara dengan mayoritas penduduk Muslim seperti Indonesia.

Pelabelan yang jelas akan sangat membantu masyarakat. Konsumen dapat langsung mengetahui apakah produk yang akan mereka beli sesuai dengan prinsip keyakinan mereka atau tidak. Ini juga menjadi alat transparansi dan bentuk tanggung jawab pelaku usaha terhadap hak-hak konsumen.

Langkah mudah sebenarnya bisa dilakukan, misalnya restoran atau toko yang menjual produk tidak halal dapat mencantumkan keterangan “tidak halal” di depan pintu masuk, sebagaimana restoran halal memajang logo halal. Sayangnya, belum banyak yang melakukannya karena minimnya pengawasan dan edukasi dari pemerintah.

Perlu diingat, pencantuman label tidak halal tidak perlu proses yang rumit seperti sertifikasi halal. Ini hanya soal kesadaran dan kemauan untuk taat pada aturan. Pemerintah pun sebenarnya bisa mendorong ini tanpa beban besar, karena tidak memerlukan banyak sumber daya.

Revisi peraturan pemerintah yang tengah disusun saat ini merupakan momentum penting. Ini bisa menjadi pintu masuk untuk mengembalikan opsi denda administratif sebagai bentuk penegakan aturan yang lebih efektif bagi pelaku usaha yang lalai.

Dengan penguatan sosialisasi, edukasi, dan pengawasan, serta dukungan dari semua pihak, pelabelan halal dan tidak halal bisa berjalan beriringan. Konsumen pun akan semakin terlindungi, tidak hanya dari sisi kehalalan produk, tetapi juga dari risiko konsumsi produk yang tidak sesuai dengan prinsip agama mereka.

Langkah-langkah sederhana seperti ini pada akhirnya akan memperkuat sistem jaminan produk halal di Indonesia, sekaligus mempertegas komitmen negara dalam melindungi konsumen muslim secara adil dan menyeluruh. (AL)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Komentar

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image